Terjebak dalam “Glimpse Of Us”, Seharusnya Masyarakat Mulai “Mengadili Persepsi”

Media sosial lagi-lagi dibanjiri air mata dengan adanya perilisan lagu “Glimpse Of Us” oleh Joji. Kehadiran “Glimpse of Us” mendapatkan respon yang baik karena memberikan perasaan nostalgia dengan seseorang. Sehingga lagu ini mampu membanjiri Spotify dan Tiktok saya, kecuali Instagram dan Twitter yang masih membahas mengenai Pororo dan adik barunya.  

 Menanggapi kehadiran lagu ini sangatlah merepresentasikan generasi masa kini yang begitu melankolis dan impulsif. Hal ini dikarenakan “Glimpse of Us” melibatkan perasaan Joji yang terjebak pada masa lalunya sehingga kita pun yang harus bertanggung jawab atas kepiluan lagu ini. Dengan kata lain, Joji pun masih belum move on dengan masa lalunya, akan tetapi masyarakat kita pun juga masih belum move on dengan permasalahannya. Kira-kira apa sih permasalahannya?

Sulit dipercaya bahwa kita masih diperhadapkan dengan adanya perbedaan persepsi dalam suatu ajaran sehingga menimbulkan permasalahan. Dengan kemajuan informasi, peran media sosial tidak memberikan pengaruh yang besar dalam mengatasi permasalahan ini. Manusia bisa berbeda persepsi dalam suatu ajaran dan prinsip, akan tetapi bisa dipersatukan oleh Mobile Legend, cewek Tiktok, dan sepak bola. 

Sebelumnya, kebudayaan Indonesia yang begitu erat dengan unsur agama membuat kebebasan seringkali menjadi terkebiri. Hambatan ini membuat masyarakat Indonesia sulit bergerak sesuai dengan prinsipnya. Membicarakan soal kebebasan di Indonesia, saat ini kebebasan semakin dikekang dengan adanya media sosial. Sebut saja, kemarin sempat ada informasi mengenai kemarahan masyarakat di media sosial akan sebuah hidangan masakan yang menggunakan bahan non-halal dari sebuah restoran.

Gemparnya sebuah hidangan khas suku Minang dengan daging babi turut mengundang emosi masyarakat. Restoran Babiambo menjadi sorotan dan pemiliknya pun dilaporkan kepada Polda Metro Jaya. Kemarahan yang menyulut setiap golongan masyarakat dilandasi dengan adanya penistaan terhadap kebudayaan suku. Konon katanya, kebudayaan suku tersebut sangat berkaitan erat dengan ajaran-ajaran agama.

Perspektif budaya dalam permasalahan ini hanya ditujukan pada satu golongan sehingga terjadi miskomunikasi. Minimnya riset yang dilakukan oleh pemilik mengundang ketersinggungan, akan tetapi hal ini sudah diatasi dengan adanya permintaan maaf secara langsung. Selain itu, dari pihak Polda Metro Jaya juga memberikan pernyataan bahwa tidak ada unsur pidana dalam kasus ini.

Miris sekali melihat beberapa masyarakat masih menggunakan ajaran agama untuk menghakimi sesamanya. Permasalahan ini sudah ada sejak krisis moneter hingga saat ini belum ada solusi yang tepat. Apakah manusia hanya menuhankan manusia dibandingkan Tuhan itu sendiri? Jujur, saya pun tidak tahu. 

Memang peran media sosial juga digunakan untuk mentransmisi paham dan ideologi keagamaan yang terjadi ditengah fenomena keagamaan online, misalnya menyebarkan paham konservatif hingga ekstrimisme (Bräuchler, 2003, 2004; O’Hara & Stevens, 2015). Akan tetapi, tidak semuanya harus disangkut pautkan sepenuhnya dengan agama, melainkan dengan logika atau nalar. 

Bagi mereka yang suka menghakimi, menjadi manusia yang tidak terlalu vertikal itu sangatlah susah karena mereka membutuhkan pahala yang besar untuk menutupi kesalahan mereka di masa lalu. Sehingga tidak asing lagi mendengarkan mereka berkoar-koar sambil mengatakan “babi itu haram”, sedangkan terus melakukan zina. 

 Terjadinya perubahan persepsi mengenai kritik itu disebabkan oleh kehadiran media sosial, salah satunya dalam topik agama. Menurut Harvard (2013), internet telah merubah simbol dan pemahaman keagamaan dan konteks aslinya saat mereka di manipulasi, ditafsirkan kembali, dan dibagikan ke seluruh jaringan digital. 

Adanya perubahan tersebut membuat beberapa masyarakat berkoar-koar tanpa ada fundamental yang kuat dan jelas dalam menyampaikan aspirasi. Peran dari internet telah mencuci otak pemahaman manusia mengenai ajaran agama. Sehingga saya rasa grup band Seringai telah memiliki visi atas permasalahan ini dalam rilisannya yang berjudul “Mengadili Persepsi” (2007). 

“Mengadili Persepsi” menggambarkan adanya golongan yang tidak menerima adanya perbedaan prinsip dan kemajuan media sosial atas sebuah kepercayaan yang dinilai mempertahankan kebodohan dan belum merdeka. Narasi yang dilakukan oleh Seringai pun mampu mengajak para pendengarnya untuk membenahi ulang prinsipnya agar tidak merugikan orang lain.

Mempercayai adanya Tuhan bukanlah menghakimi layaknya Tuhan, melainkan bersikap seadanya dan adil menerima perbedaan itu.Di dalam media sosial, setiap permasalahan yang berkaitan dengan agama pun disimbolkan sebagai efek echo-chamber. Efek ini melahirkan ekstrimisme pada titik ideologi tertentu dan berpotensi besar memunculkan polarisasi sosial dan politik (Conover, 2012). Bisa dikatakan, efek ini pun terjadi dalam skala yang terkecil hingga terbesar.

“Menghakimi sepihak, sebar ketakutan” 

Penggalan lirik yang diciptakan oleh band hardcore ini ditujukan untuk menanggapi bentuk lain dari menghakimi, yakni mengancam yang berbeda pendapat. Manusia pun dapat bertindak secara aktif dan kritis dalam menentukan prinsip mereka sehingga membutuhkan cara untuk menjadi individu yang merdeka, merdeka dari masalah, merdeka dari perbedaan, merdeka dari penghakiman, dan merdeka dari Jokowi tiga periode. 

“Merasa benar, menjajah nalar. Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya.”

Makna yang ingin disampaikan oleh Seringai dalam lagu ini adalah Perkembangan tidak selamanya berbicara soal kemajuan, melainkan adanya kemunduran yang tidak bisa dilepaskan. Kita tumbuh dalam asas pancasila, akan tetapi yang dilakukan hanyalah sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam media sosial, masyarakat hanya menghakimi secara sepihak sambil mengumbar privasi. 

Beberapa ahli justru melihat bahwa media sosial digunakan untuk menguatkan pandangan yang dimiliki seseorang dan mendiskriminasi pandangan orang lain yang berbeda (Lee dkk., 2014; Spohr, 2017). Pandangan ini justru membuktikan juga bahwa dalam permasalahan ini terjadi adanya kesepakatan bersama atas ketersinggungan.

Inilah yang membuat kemunduran di tengah kehidupan masyarakat dan perlunya “Mengadili Persepsi” dalam mengatasi permasalahan ini. Di masa yang seperti ini, kita pun dipaksa harus bisa memaknai arti menasihatkan dan menghakimi, karena seringkali dua kata ini disangkut pautkan oleh beberapa orang. Selain itu, kita harus menjadi pribadi yang kritis, bukan menjadi impulsif dan melankolis. Hal ini dikarenakan kita tidak selamanya harus depresi atas kesedihan, kita harus bangkit untuk melawan dan mencerdaskan lingkungan sekitar.  

Penulis: Ivanodei Patrick
Editor: Nur Aini
Designer: M. Bintang R.

Diluncurkan pada 26 Juni 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *