Saya suka badminton. Saking sukanya, saya main badminton tiap Senin malam, meskipun akhir-akhir ini tiap Senin malam, saya dan teman-teman badminton saya lebih suka nongkrong di depan GOR-nya saja sambil judge stelan bapak-bapak PNS yang masuk ke GOR. Saya juga suka merokok. Saking sukanya, setelah selesai satu match saya pasti sebat dulu baru lanjut main lagi.
Badminton buat saya bukan Cuma olahraga, tapi budaya kearifan lokal yang perlu dijaga habis-habisan harga mati oleh pemerintah. Waktu saya kecil, Piala Thomas-Uber, Sudirman, dan Indonesian Open tidak pernah saya lewatkan. Smash tipu daya Taufik Hidayat tidak pernah saya lupakan. Rally-rally panjang Markis Kido – Hendra Setiawan selalu menghibur untuk ditonton, serta wajah memelas Sony Dwi Kuncoro pun selalu menghantui tidur saya di malam hari. Tiap ‘musim’ badminton tiba, halaman rumah saya selalu dijadikan tempat bermain bagi anak-anak dan warga sekitar di malam hari.
Saya pun pernah ikut Perkumpulan Bulutangkis yang dikepalai oleh legenda badminton dunia Atik Jauhari waktu saya kelas satu SD. Sayangnya, saya lebih cinta gundu dan petak umpet sehingga saya beralih ke cabor tersebut. Kalau saya lanjut berlatih badminton mungkin saya sudah setara dengan Saina Nehwal hehe.
Rokok pun bagian integral dalam kehidupan remaja saya. Saya mulai merokok kelas satu SMA saat acara babakaran tahun baru 2013 ulah bisikan dan ajakan setan-setan dajjal berbentuk manusia yaitu teman saya. Selama kelas dua SMA, saya lepas dari pengaruh rokok tetapi lanjut kembali di bangku kelas tiga. Buat saya, budaya merokok bukanlah hal yang harus dihilangkan karena merokok itu bisa buat orang marah jadi santai. Cocok lah jadi solusi perdamaian dunia, gak ada orang marah-marah yang sedang merokok, gimana mau marah, orang lagi ngisep rokok kan, setelah asapnya diisep dan dibuang baru lanjut lagi marahnya heuheu. Makanya orang Indonesia dengan budaya merokoknya dinobatkan sebagai bangsa paling syelow sedunia-akhirat.
Meskipun begitu, penggunaan anak-anak sebagai subjek dari pemasaran rokok bukan hal yang patut untuk dilakukan. Kalau saya punya anak, saya tidak mau anak saya mengenal jenis-jenis dan merk-merk rokok apalagi menghisap asap rokok. Saya lebih suka anak saya menonton gamer-gamer lokal di Youtube sembari merencanakan konten Tiktok yang akan direkamnya.
Setelah mendengar kabar yang tidak enak didengar mengenai tidak dilanjutkannya beasiswa PB Djarum karena teguran dari KPAI dan Yayasan Lentera Anak, saya sedikit tidak kaget. Saya tahu sebenarnya olahraga dan rokok tidak bisa disatukan, apalagi olahraga sambil merokok, sangat tidak nyaman untuk dilakukan, bayangkan mau netting silang tapi narik sesut dulu, pasti lah tidak disarankan oleh atlet sekelas Chen Long atau perokok sekelas Justin Andi (Jurnal 16, perokok berat). Saya coba menyikapi permasalahan ini dengan berdiri pada kubu netral, senetral TNI dan Polri. Saya tidak mendukung warganet yang menghujat habis-habisan KPAI dan Yayasan Lentera Anak, saya pun tidak setuju dengan penggunaan logo produk rokok pada kaus anak-anak, terutama logo Djarum, kalau logo Sampoerna atau Marlboro baru saya terima-terima saja.
Maka daripada itu, saya coba memberi usul kepada semua pihak agar kita semua berdamai demi NKRI harga mati. Semoga usulan saya dapat memberikan win-win solution. I win, you win, we all gonna die anyway~.
Ganti Logo Djarum menjadi Jarum
Salah satu poin yang dipermasalahkan oleh KPAI dan Yayasan Lentera Anak adalah penggunaan logo merk Djarum pada kaus anak-anak yang mengikuti audisi beasiswa. Logo yang digunakan oleh PB Djarum memang mirip dengan logo merk rokok Djarum karena memang PB Djarum ini berada di bawah yayasan yang dibiayai oleh perusahaan Djarum. KPAI dan Yayasan Lentera Anak menganggap bahwa hal tersebut merupakan upaya meningkatkan brand awareness produk rokok Djarum kepada anak-anak calon penerima beasiswa meskipun saya tahu, ada aturan di PB Djarum yang menyatakan kalau anak ketawan merokok maka beasiswa dicabut dan si anak ditendang dari PB Djarum. Aturan ini saya ketahui dari teman saya yang mengundurkan diri dari PB Djarum karena ingin sekolah di SMA biasa. Bukan karena dia ketawan merokok, sekarang teman saya melanjutkan studi S2 di ITB, betapa anehnya hidup ini.
Kalau cuma penggunaan logo yang dipermasalahkan kenapa gak diubah saja logonya menjadi gambar jarum? Toh image yang terlihat lebih terasa homey karena mengingatkan calon penerima beasiswa akan perjuangan orangtuanya yang harus menjahit lubang-lubang di baju dan celana yang sering dipakai berlatih. Dengan digantinya logo Djarum dengan jarum saya rasa tidak akan membuat orang bingung atau pangling dengan brand PB Djarum sendiri. Teman saya pernah berniat membeli Djarum Super di sebuah warung tapi malah diberi jarum pentul oleh si pemilik warung, pengalaman menarik ini membuktikan bahwa image jarum dan Djarum tidak jauh beda kok.
KPAI dan Lentera Anak buat PB sendiri
Apabila PB Djarum pamit dari kegiatan berbadminton, maka KPAI dan Yayasan Lentera Anak harus mencari pengganti yang sepadan. Salah satunya bisa dengan membuat perkumpulan bulutangkis sendiri yang ramah anak dan dibiayai tuntas dari mulai biaya sehari-hari sampai biaya pendidikan seperti yang dilakukan PB Djarum. Saya rasa hal ini mudah dilakukan kok oleh KPAI dan Yayasan Lentera Anak apalagi backing finansial yang kuat dari NGO anti-rokok asing, ups.
Lagian membuat PB sendiri apa susahnya sih? Modal yang diperlukan cuma lapangan, mess atlet, pelatih, sistem kurikulum pelatihan, dan shuttlecock yang bisa dibeli di toko fotocopy terdekat. Soal lapangan gampang lah, studi banding bisa dilakukan ke lapangan-lapangan balai warga di RW-RW terdekat yang maintenance-nya hanya disiram air hujan atau air got dan penggantian net setiap tahunnya dari iuran warga. Untuk mess atlet bisa lah mencontoh barak-barak di Dodik Bela Negara Rindam Siliwangi di Lembang yang toiletnya susah air dan ayam gorengnya sekeras batu black opal. Mencari pelatih yang berkualitas pun tidak sulit, Pak Didi dan Pak Giman yang selalu jadi jawara kejuaraan badminton tiap tujuhbelasan RW 01 Gang Kosambi, Poris Plawad sudah cukup qualified untuk melatih bibit-bibit penerus Kevin Sanjaya dan Lilyana Natsir. Pak Didi sendiri juga seorang guru olahraga SD yang pastinya tahu bagaimana mengolah fisik dan teknik anak-anak usia dini untuk mencapai kondisi prima di pentas dunia. Pak Didi pun rokoknya bukan Djarum tapi Dji Sam Soe kretek non-filter, lumayan jadi nilai plus lah ya. Pak Didi juga sering pergi mancing di laut utara Jawa tiap akhir pekan meskipun fakta ini tidak relevan.
Buat saya dua usulan tersebut sudah bisa mewakili keluh-kesah warganet Indonesia khususnya Twitter yang dikenal sok asik. Saya harap ke depannya tidak ada lagi ramai-ramai tidak penting semacam ini yang menutup isu-isu lebih penting seperti kekerasan terhadap petani dan krisis kemanusiaan di Papua. Semoga pihak KPAI feat Yayasan Lentera Anak dan pihak KPAI dapat berdamai tanpa membuat video klarifikasi di Youtube (dibaca Yu Cub yaa). Saya rasa anak-anak Indonesia harus dilindungi dari segala kemudharatan duniawi tanpa harus menyakiti perasaan pihak-pihak lain.
Kurang lebihnya mohon maaf, mari kita berdoa supaya badminton Indonesia selalu menjadi nomor satu di dunia, jangan kayak sepakbola yang orientasinya ke duit terooos.
Catatan: penulis menulis tulisan ini sambil menghisap dua batang Marlboro Filter Black. Fu## Djarum Super, baunya kayak kecoa gosong.