Siapa Ayahku, Bu?

Ranjang reyot itu berdenyit lagi malam ini, sudah terlampau rapuh untuk mendapat entakan yang lebih keras. Mungkin, esok lusa akan roboh. Namun, sudah bertahun ranjang itu tak roboh juga. Tangisan bayi mulai terdengar di rumah petak dalam lorong yang minim penerangan, sebab cahaya matahari selalu datang ogah-ogahan. Seorang lelaki yang beranjak dewasa menghampiri bayi itu, bayi gemuk berkulit gelap dengan rambut keriting. Berbeda dengan sang kakak yang tinggi kurus dengan rambut lurus yang mulai panjang, jatuh melewati telinganya.

Albi, lelaki itu, entah berapa usianya—mungkin hanya Tuhan yang tahu pasti kapan ia terlahir. Namun, dilihat dari wajah dan tinggi tegap tubuhnya, ia seperti anak berusia 18 sampai 20 tahun. Rumah gelap itu selalu ramai sepanjang hari, suara dua anak perempuan dan empat anak laki-laki seringkali terdengar bersahutan dari sana. Kadang terdengar suara teriakan sang kakak mengomel kepada adiknya yang ngompol, suara tangisan bayi, suara piring plastik yang terjatuh dari atas meja, suara ribut untuk menguasai remot televisi, teriakan senang tak terkira setelah menang dalam permainan, atau suara ranjang reyot yang membuat sakit kepala.

Tak ada yang tahu siapa pria di dalam kamar ibunya malam itu, mungkin pria gemuk dengan rambut keriting yang selalu memarkirkan motornya di dekat portal, atau pria kurus berkulit sawo matang pemilik rahang tegas yang lebih sering mengenakan baju berwarna oranye. Entahlah, Albi terlalu sibuk untuk memikirkan hal-hal semacam itu, sebab adik-adiknya masih butuh makan.

Albi tahu dengan baik bahwa ibunya bukan seorang pekerja seks, ia akan marah setiap kali bisik-bisik tentang ibunya mulai sampai ke telinga.

“Ibuku bukan pelacur. Ibuku hanya mencintai lelaki itu. Apa salahnya bercinta?”

“Kalau seperti itu terus, kamu tidak akan punya kartu keluarga.”

“Apa gunanya kartu keluarga?”

“Sebagai bukti bahwa kamu memiliki keluarga.”

“Itu saja?”

“Mungkin, aku tidak tahu. Sekolah kita tidak pernah membahas itu, ‘kan? Atau mungkin aku lupa? Kita sudah lulus terlalu lama.”

“Lebih tepatnya, kita tidak melanjutkan sekolah kita.”

“Aku tidak pintar, tidak ada biaya, dan kamu tidak punya kartu keluarga. Kita memang tidak bisa sekolah.”

Keluarga tanpa Kartu Keluarga melahirkan anak-anak mereka tanpa Akta. Hal ini menjadi salah satu alasan bagi Albi dan lima adiknya tak bisa melanjutkan pendidikan. Ia sempat bersekolah di madrasah kecil dekat tempat pembuangan sampah di dalam gang. Tentunya sekolah yang tidak mewajibkan kartu keluarga dan akta kelahiran dalam pendaftarannya. Namun, saat ini madrasahnya telah rata dengan tanah dan tidak ada lagi sekolah yang bisa menerima murid seperti Albi dan adik-adiknya.

Jakarta, seberapa luas kegelapan di balik gedung-gedung tinggi itu? Seberapa banyak luka dan cerita kelam pada tempat-tempat itu? Pada rumah-rumah di sepanjang rel kereta, pada setiap manusia di pinggir jalan, pada kardus yang tersusun di kolong jembatan, pada bangunan kumuh di dekat sungai yang airnya hampir tiris berwarna kecoklatan, juga pada suara-suara teriakan di terminal. Duh, Jakarta, apakah kamu tidak menawarkan sisi kelembutan? Kenapa segala sisi tampak keras atau gelap? Bahkan, kulihat gedung-gedung tinggi di dekat jalan besar itu selalu dipenuhi oleh manusia-manusia dengan kantung mata gemuk yang mulai menghitam, dengan keringat yang bercucuran, juga dengan plester luka pada beberapa kaki wanita.

“Kali ini, siapa ayahnya?”

“Kurang tau. Sebut saja Bram.”

“Bram? Saya baru dengar.”

Bramai-ramai, maksudnya.”

Istighfar, Bu, nanti anaknya dengar.”

Ah, padahal mereka tahu aku berada tepat di belakang mereka, mengangkat kardus berisi minuman kemasan di toko Bu Tami. Sungguh, ingin sekali aku merobek mulut yang tak berhenti bicara itu. Sayangnya, aku tak punya bukti untuk mematahkan omong kosong menyebalkan seperti tadi.

“Permisi, Bu.”

“Eh, nak Albi, adiknya sehat?”

“Sehat, Bu, hamdalah

Bisik-bisik itu masih terdengar, seolah menyampaikan penyesalan atas apa yang dikatakan sebelumnya, padahal aku yakin ungkapan penyesalan itu hanyalah kepura-puraan.

Ponsel butut milik Albi berdering di kantong celananya.

“Halo, Kak? Bagus nangis, sepertinya lapar”

“Sebentar lagi Kakak pulang.”

“Oke, Kak.”

Terkadang keinginan Albi untuk memprotes ibunya muncul di permukaan bersama amarah dan kesedihan. Terutama di saat seperti ini, saat ketika Albi harus membanting tulang demi rupiah, harus segera pulang untuk mengisi perut adiknya, sedangkan ibunya entah di mana. Memang benar bahwa sesekali ibunya datang dengan beberapa bungkus nasi goreng atau sekotak martabak, terkadang dengan lipstik dan rambut yang berantakan. Namun, tatapan matanya lebih sering tampak kosong dibanding bersinar. Kemudian, dapat dipastikan ranjang itu berdenyit lagi dengan suara-suara menggelikan.

“Cinta itu lahir dari hati, Nak,” ucap Ibu saat adiknya masih tiga.

“Lalu?”

“Tidak ada yang salah dalam percintaan, bahkan ketika mereka memutuskan untuk bercinta.”

“Aku ingin Kartu Keluarga, Bu.”

“Omong kosong soal cinta suci dalam pernikahan, bukankah terlalu banyak pernikahan tanpa dasar cinta? Lebih baik Ibu dicinta, mencinta, dan bercinta.”

“Apa arti keluarga menurut Ibu?”

“Kita. Kita adalah keluarga.”

“Walau tak punya kartu?”

“Kartu bisa hilang, keluarga tidak bisa. Bahkan, kalaupun nanti di antara kita ada yang mati, mereka akan tetap hidup di dalam hati.”

“Lalu, siapa..”

Belum tuntas kalimat itu, Ibu sudah berdiri dari tempatnya.

“Tidak ada pertanyaan lagi ya, Ibu pergi dulu. Tolong jaga adik-adikmu.”

Malam ini, rumah dalam lorong itu tampak berantakan. Butiran nasi terlihat jelas di lantai tanpa keramik seperti rumah kebanyakan. Bau pesing tercium dari kasur tipis di sudut ruang. Satu porsi bubur nasi yang dibeli Albi, telah berpindah pada tangan adik perempuannya dan mulai dicerna oleh tubuh mungil milik Bagus.

Seperti kemarin, ranjang reyot di kamar ibu kembali berdenyit. Bedanya, tidak lama seperti biasanya, bahkan cenderung terlalu sebentar. Suaranya telah berhenti tatkala Albi hendak memejamkan matanya. Esok lusa, Albi tak akan mendengar suara itu lagi. Suara yang walaupun menjijikan di telinganya, tapi selalu menjadikan rumah itu benar-benar seperti rumah.

Rupanya, malam tadi bukan karena cinta. Sebab ketika suara ayam mulai terdengar nyaring sebagai tanda pagi datang, tubuh pucat ibunya masih berbaring dengan tangan terikat di kepala ranjang itu. Dan seperti biasanya, tidak ada yang tahu siapa lelaki di kamar ibunya semalam.

“Siapa ayahku, Bu?”
Pertanyaan itu akhirnya lolos dari mulut Albi.
Namun, Albi  tak akan pernah mendapatkan jawabannya.
Kali ini, hidup  terasa benar-benar tidak adil.

Penulis: Ririn Ariana
Editor: Lydia Tesa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *