Mulai dari IPDN, IKOPIN, ITB hingga Unpad merupakan rentetan nama perguruan tinggi yang dibangun di atas kawasan bernama Jatinangor. Dari sini muncul perbincangan bahwa Jatinangor pantas disematkan sebagai salah satu kawasan pendidikan yang ada di Indonesia. Jika membaca kalimat sebelumnya tanpa pernah berkunjung langsung ke kawasan ini, mungkin terlintas dalam pikiran Anda bahwa Jatinangor adalah kota metropolis dengan fasilitas lengkap untuk mendukung aktivitas penduduknya. Namun, tidak semua yang Anda bayangkan itu benar.
Jatinangor adalah nama sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Sumedang dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bandung. Adapun saat ini Jatinangor membawahi dua belas desa. Memiliki luas wilayah mencapai 262 km2 dengan total populasi sebanyak 113.913 jiwa. Lebih lanjut populasi Jatinangor kebanyakan diisi oleh pendatang ketimbang pribumi, khususnya mahasiswa dari berbagai daerah.
Menilik sejarah Jatinangor dari berbagai sumber sejarah, tercatat bahwa di tahun 1840-an Jatinangor adalah nama lahan perkebunan milik seorang tuan tanah asal Belanda. Tuan tanah itu bernama Baron van Baud yang memiliki perkebunan dari daerah Ciumbuleuit, Jatinangor, hingga Parakanmuncang. Sebelumnya kawasan Jatinangor lebih dulu dijadikan sebagai wilayah penanaman teh.
Namun dengan berbagai alasan, salah satunya kurang berkembangnya teh di tanah Jatinangor membuat perkebunan beralih fungsi menjadi perkebunan karet. Hal ini dituturkan langsung oleh sejarawan sekaligus dosen program studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Nyai Kartika, S.S., M.Hum. dalam wawancara bersama Media Sibiru.
Berbagai Versi Asal Nama Jatinangor
Bagaimana dengan toponimi nama “Jatinangor”? Banyak versi tradisi lisan yang berkembang di masyarakat menyebutkan tentang hal ini. Salah satu versi yang paling terkenal adalah kata “Jatinangor” itu berasal dari Bahasa Sunda yakni “Jatina ngora” atau jika diterjemahkan menjadi “jatinya muda” (merujuk pada deretan pohon jati yang memang ada di sekitar lahan perkebunan Jatinangor kala itu).
Versi lain mengatakan bahwa nama Jatinangor itu berasal dari nama bunga atau nama pohon yang tumbuh di perkebunan sekitar Jatinangor. Walaupun saat ini bunga atau tumbuhannya tidak lagi ditemukan. Namun versi ini juga didapat dari tradisi lisan masyarakat setempat.
Sementara versi sejarah yang tercatat dalam salah satu arsip Belanda menyebutkan menyebut bahwa Jatinangor bukan nama sebuah distrik atau kecamatan melainkan nama perkebunan (pada masa pemerintahan kolonial Belanda). Adapun secara geografis wilayah yang saat ini disebut sebagai kawasan Jatinangor dulunya adalah wilayah bernama Cikeruh. Sejak tahun 2001 barulah Jatinangor resmi menjadi nama sebuah kecamatan. Adapun nama Cikeruh sendiri kini tetap dipakai menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Jatinangor.
Transformasi Jatinangor Dulu, Kini dan Nanti
Jatinangor kian berubah signifikan setelah kawasannya sengaja dipilih menjadi lokasi pendidikan. Perjalanan ini dimulai tahun 1980-an. Pembangunan diawali dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), kemudian Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Winaya Mukti (Unwim), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan terakhir disusul oleh Institut Teknologi Bandung (ITB). Adapun saat ini kampus Unwim sudah pindah dari Jatinangor ke wilayah Tanjungsari.
Pada tahun 1983-an pemerintah provinsi melakukan tukar guling (Tukar guling, Ruislag atau asset swapmerupakan tindakan hukum yang kerap dilakukan Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan pengelolaan Barang Milik Daerah, salah satunya dengan cara tukar-menukar) dengan pemerintah pusat untuk menetapkan Jatinangor sebagai salah satu pusat kawasan pendidikan di Jawa Barat.
Kartika berpendapat bahwa dipilihnya Jatinangor sebagai salah satu kawasan pendidikan tidak lain adalah untuk meningkatkan kenyamanan pelajar agar berkonsentrasi dan jauh dari hingar bingar perkotaan. Dirinya memberikan contoh pembangunan kampus Unpad Jatinangor dan kampus IPB Dramaga. Tidak aneh jika melihat kawasan kampus yang ditempatkan di daerah kecil dan cenderung masuk ke dalam kategori wilayah pedesaan dan bukan kota.
Namun, konsep desa di tatanan wilayah Jatinangor juga tidak luput dari perkembangan dan modernisasi. Perlahan, sawah dan perkebunan warga mulai berubah menjadi pusat perbelanjaan, deretan ruko, apartemen, hingga yang terbaru adalah penempatan salah satu kedai makanan siap saji yang turut meramaikan wilayah Jatinangor yang dulunya sepi.
Masifnya beragam pembangunan infrastruktur juga sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan penduduk Jatinangor. Munculnya fasilitas pendukung di Jatinangor seperti coffee shop, tempat hiburan, hingga deretan rumah makan ini juga menunjukan peluang usaha dan bisnis baru bagi investor yang ingin menanamkan modal di wilayah Jatinangor.
Dampak Transformasi Jatinangor
Masifnya perkembangan Jatinangor setelah ditetapkan sebagai kawasan pendidikan juga memberikan dampak, khususnya kondisi sosial dan masyarakat Jatinangor dan sekitarnya. Mayoritas penduduk Jatinangor saat ini kebanyakan diisi oleh pendatang. Tidak aneh pada musim-musim liburan panjang, jalanan Jatinangor nampak sangat lengang berkat sebagian besar penduduknya yang menghilang karena kembali ke kota asalnya. Heterogenitas penduduk yang terjadi di Jatinangor tidak lepas meninggalkan bias-bias ekonomi yang terlihat lewat berbagai hal.
Contohnya saja jika Anda berkunjung langsung ke Jatinangor dan berjalan di kawasan sekitar kampus ITB dan Unpad, dengan jelas Anda bisa melihat deretan bangunan tinggi menjulang yang berdiri tidak jauh dari perumahan kumuh dan tempat sampah umum. Hal ini menjadi kontras dari segi situasi sosial yang dialami oleh masyarakat setempat.
Hal yang sama juga berlaku dalam konteks indekos, tempat makan, tempat hiburan dan lain sebagainya. Semuanya terbagi dalam kelas-kelas mulai dari kelas kecil dan menengah hingga kelas elit bisa dengan mudah ditemukan.
Masih berhubungan dengan dampak sosial pertama, heterogenitas yang dimiliki masyarakat Jatinangor, terkadang menjadi jurang kriminalitas bagi penduduknya sendiri. Berbagai jenis kriminalitas seperti aksi pencurian, perdagangan narkotika, balapan liar, hingga aksi prostitusi yang menjadi bagian dari sisi gelap Jatinangor sudah lama menjadi bagian dari realitas sosial yang harus dihadapi baik oleh mahasiswa, penduduk asli, hingga pendatang di kawasan Jatinangor.
Selain dua jenis dampak sosial di atas dampak lain yang turut menjadi akibat transformasi Jatinangor adalah dampak lingkungan yang terabaikan. Masifnya pembangunan apartemen, gedung, indekos, rumah makan dan berbagai fasilitas publik lain yang dibangun di atas lahan hijau membuat berbagai bencana lingkungan kerap kali terjadi di Jatinangor. Satu yang beberapa bulan terakhir sangat menjadi sorotan adalah masalah banjir yang semakin parah di kawasan Jatinangor. Bencana ini terjadi setelah terjadi pembangunan jalan tol yang melintasi kawasan ini.
Pembangunan yang baik seharusnya memperhatikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk meminimalisasi potensi bencana yang bisa terjadi di kemudian hari. Adapun 10 tahun ke belakang sekitar tahun 2010, kawasan Jatinangor tidak pernah diterpa banjir karena belum banyak lahan hijau yang dijadikan bangunan serta jumlah penduduknya tidak sebanyak saat ini. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab?
Objek Bersejarah di Jatinangor
Melihat sejarah panjang Jatinangor sejak zaman kolonial Belanda hingga beragam fenomena transformasi yang dihadapi tidak membuat Jatinangor kehilangan nilai otentiknya. Pertama, ada Menara Loji yang terletak di lahan perbatasan antara ITB dan Unpad. Bangunan ini berbentuk seperti mercusuar dan dulunya memiliki lonceng yang berfungsi sebagai alarm atau penanda waktu untuk masyarakat Jatinangor saat itu.
Dulunya, lonceng di Menara Loji akan dibunyikan ketika memasuki waktu-waktu tertentu seperti pagi hari sekitar pukul 8 pagi sebagai penanda waktu kerja masyarakat (bertani atau berkebun), siang dibunyikan sekitar pukul 12 untuk penanda waktu istirahat, dan sore akan dibunyikan lagi menjelang malam hari atau pukul 4 sore sebagai penanda waktu pulang kerja. Sayangnya, di tahun 1980-an santer beredar kabar bahwa lonceng Menara Loji tersebut dicuri dan hanya meninggalkan menaranya saja. Selain itu, di daerah Menara Loji juga terdapat makam keluarga Baron van Baud.
Objek bersejarah kedua yang mungkin sudah tidak asing di telinga masyarakat adalah Jembatan Cincin. Menilik sejarah Jembatan Cincin melalui ensiklopedia milik Belanda menyebutkan bahwa tahun 1930-an jembatan ini adalah bagian dari jalur rel kereta lori. Kereta ini difungsikan untuk mengangkut pasokan kebutuhan perkebunan dari berbagai wilayah. Jembatan Cincin sendiri dibangun oleh Belanda. Hal paling seru soal jembatan ini adalah tradisi lisan yang berkembang di masyarakat sekitar lokasi Jembatan Cincin.
Beberapa di antaranya meliputi: pantangan untuk lewat di atas jembatan setelah waktu magrib (petang hari) karena kerap kali muncul sosok nenek tua berjalan di atasnya atau kemungkinan bertemu wanita cantik yang sedang “uncang-uncang angge” atau mengayun-ayunkan kakinya sembari duduk di pinggir jembatan. Sementara itu para buhun yang memang warga asli Jatinangor memiliki semacam pantangan untuk tidak memanggil nama tuan tanahnya yakni Baron van Baud menggunakan nama asli sehingga mereka memanggilnya dengan sebutan lain yakni Tuan Jangkung (tuan tinggi) atau panggilan lainnya. Menurut Kartika, kemungkinan semua mitos tadi digunakan untuk berbagai alasan.
Contohnya pada zaman dahulu ketika penerangan belum ada dan masyarakat hanya memanfaatkan pencahayaan dari obor ataupun lilin, mitos-mitos tadi sengaja dibuat untuk membuat warga menjadi was-was dan lebih hati-hati. Adapun di sisi lain mitos juga bisa dibuat untuk dijadikan daya jual salah satunya daya jual objek wisata. Terbukti dengan beragam tradisi lisan yang berkembang dan tersebar membuat Jembatan Cincin bisa dikenal oleh masyarakat di luar Jatinangor dan justru penasaran untuk datang langsung ke Jembatan Cincin.
Penulis: Aldehead Marinda
Editor: Aliya Ramadhani Putri
Desain: Clarissa Zaimatun R