Selamat Hari Tani Nasional!

(Omong-omong, penyusutan lahan pertanian dan masalah lainnya semakin banyak, nih!)

24 September 1960 merupakan hari disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sehingga tanggal 24 September kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169 tahun 1963.  UUPA sendiri menjadi titik balik perubahan sistem pertanian Indonesia yang saat itu masih sarat kepentingan akibat turunan penjajah.

Sebagai negara agraris, sektor pertanian tentu mengambil peran besar dalam membangun Indonesia di banyak sektor. Hal tersebut tentunya disadari oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Sejak masa kepemimpinannya yang pertama, Presiden Joko Widodo telah mencantumkan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai salah satu Nawa Cita (sembilan program prioritas).

Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), reforma agraria sendiri merupakan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan dengan disertai penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Sayangnya, dalam realita perjalanannya, program ini dikritik beberapa pihak sebagai aksi bagi-bagi sertifikat semata.

Sementara itu, dilansir dari situs resmi Serikat Petani Indonesia (SPI), kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Konsep ini terkait pemenuhan hak atas pangan serta penentuan sistem pertanian dan pangan secara mandiri, tanpa adanya pengaruh kuasa dari pasar internasional.

Namun, di luar tujuan program yang telah dicanangkan, kenyataan lapangan agaknya lebih pahit. Dilansir dari PotensiBandung.com, alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman dan akomodasi pariwisata di Bandung, Jawa Barat, meningkat bahkan di masa pandemi seperti sekarang. Berdasarkan data yang diterima dari Dinas Pertanian dan Pangan Bandung, alih fungsi lahan pada tahun 2020 telah mencapai 26 hektar. Hal ini, menurut Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Bandung, I Wayan Wijana, terjadi di desa yang mulai padat penduduk. Sebagian besar warga menjual lahannya untuk kepentingan ekonomi.

Tak jauh berbeda, dilansir dari Antaranews, penyusutan lahan juga terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, akibat alih fungsi lahan untuk pengembangan infrastruktur. Dengan alasan yang sama, yakni kebutuhan ekonomi, banyak warga akhirnya memutuskan untuk menjual lahannya ke pihak pengembang. Selain itu, pengurangan 99,5 hektar sawah dari tahun 2019 ke 2020 juga disebabkan oleh kekeringan pada saluran irigasi akibat gempa, tsunami, dan likuefaksi.

Dilansir dari Lokadata.id, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengaku tidak kuasa mencegah alih fungsi lahan yang menjadi salah satu penyebab penyusutan lahan pertanian. Hal ini, menurutnya, lantaran pemerintah daerahlah yang memegang kendali terkait alih fungsi lahan.

Meski demikian peliknya masalah penyusutan lahan, pertanian Indonesia juga memiliki masalah lain. Di antaranya adalah luas panen dan produktivitas lahan yang menurun.

Dalam satu tahun, lahan pertanian bisa ditanami lebih dari satu kali, yang kemudian menjadi perhitungan luas panen. Penyusutan luas panen ini tidak hanya disebabkan oleh penyusutan lahan, tetapi juga faktor-faktor lain yang mengganggu proses penanaman sawah. Entah itu faktor cuaca, serangan hama, atau yang lainnya.

Masalah pertanian, sebagai salah satu penopang ekonomi negara, patutnya dijadikan catatan bagi semua pihak. Faktanya, permasalahan-permasalahan tersebut datang dari banyak pihak yang harusnya turut bertanggung jawab atas pertanian Indonesia. Kesadaran akan pentingnya menjaga produktivitas pertanian Indonesia perlu dimiliki seluruh lapisan masyarakat—petani, pihak swasta, sampai pemerintah, bahkan masyarakat umum.

Penulis: Lydia Tesa
Editor: Azzahra Firdaus
Desainer: Salma Asti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *