Rokok mengandung ribuan macam zat yang dapat menimbulkan adiksi, hingga mengundang berbagai penyakit kronis bagi para penikmatnya. Pernyataan tersebut sudah jelas, dan merupakan informasi yang lazim kita terima sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun, mengapa sampai saat ini permasalahan rokok di Indonesia kerap memicu perdebatan yang tak kunjung usai?
Dalam rangka peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, mari mencari tahu lebih dalam soal fenomena rokok di Indonesia!
Seiring berjalannya masa, geliat masyarakat yang tergoda akan candunya rokok terus melaju pesat. Bisa dikatakan, masifnya konsumsi rokok di Indonesia kini tidak hanya dianggap sebagai suatu fenomena yang sederhana. Tak hanya sebatas barang berisikan tembakau dan nikotin yang dibakar begitu saja, rokok telah melekat dalam budaya kita menjadi gaya hidup, bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai suatu kebutuhan.
Kemudian, besarnya jumlah penduduk membuat Indonesia menjadi pasar yang potensial bagi industri rokok. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, saat ini jumlah perokok aktif usia dewasa mencapai sekitar 70 juta orang, alias sepertiga dari total keseluruhan penduduk. Jelas bukan sebuah angka yang main-main.
Melalui angka tersebut, Indonesia saat ini menduduki peringkat ketiga jumlah perokok aktif terbanyak di dunia, setelah China dan India. Pemeringkatan ini didasari oleh rilis data dari Tobacco Atlas, sebuah lembaga survei terkait fenomena rokok dan tembakau di dunia.
Seringnya kita mendengar ungkapan “Mendingan nggak makan, daripada nggak ngerokok,” adalah cerminan seberapa melekatnya budaya merokok di negeri kita, bahkan sampai ada di titik yang bisa dibilang ekstrem.
Ungkapan tersebut bahkan benar-benar tergambarkan lewat Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2021, dimana rata-rata pengeluaran rumah tangga dari keluarga miskin untuk membeli rokok berjumlah tiga kali lipat dibanding pembelian bahan makanan protein, seperti telur hingga daging ayam.
Kebutuhan utama berupa gizi seimbang yang tidak terpenuhi dan lebih memprioritaskan pembelian rokok, jelas menjadi masalah besar, utamanya bagi tumbuh kembang anak. Belum lagi, pertumbuhan anak yang terpapar asap rokok sejak balita juga dinilai memiliki potensi lebih besar terkena stunting.
Meski demikian, kita tidak bisa melihat fenomena rokok hanya dari dimensi kesehatan, terlebih secara luas di Indonesia, perlu juga kita melihatnya dari dimensi sosial, budaya, hingga ekonomi.
Sampai saat ini, industri rokok masih menjadi salah satu penopang ekonomi Indonesia dengan bea cukai dan pajaknya. Besarnya industri hasil olahan tembakau juga tentu menyerap tenaga kerja lokal. Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada 2019 menunjukkan industri hasil tembakau menyerap hingga 6 juta tenaga kerja.
Belum lagi, bagi para pekerja agraria di Nusantara, jumlah lahan perkebunan cengkeh dan tembakau, lengkap dengan para petani nya yang sangat besar juga perlu diperhitungkan.
Lepas dari Candu Nikotin
Ketika sudah candu dengan adiksi yang ditimbulkan dari rokok, tentu hal ini menjadi tantangan berat bagi para perokok aktif untuk mampu keluar dari lubang hitam tersebut. Meski tak sedikit juga yang akhirnya berhasil untuk berhenti menjadi seorang perokok aktif.
Seperti Dzaky, salah satu mahasiswa Universitas Padjadjaran berhasil untuk berhenti dari kebiasaan merokok yang telah Ia tekuni sejak duduk di bangku SMA. Persisnya di tahun 2021 lalu, Dzaky mulai mencoba secara serius untuk berhenti merokok, dengan alasan ingin mencoba keluar dari kebiasaan buruknya yang harus selalu merokok saat beraktivitas.
“Dulu tuh, kalau lagi diem aja, atau lagi ngobrol sama orang, kalau nggak ada rokok tuh aneh gitu,” ucapnya.
Menurutnya, berhenti merokok cukup sulit untuk dilakukan, bahkan lebih sulit lagi untuk menahan diri tetap tidak merokok ketika lingkungannya dikelilingi oleh perokok. Akan tetapi, Dzaky pun mengaku tidak menyesal memutuskan untuk berhenti merokok karena memiliki banyak manfaat baik yang dirasakan setelahnya.
“Banyak sih perbedaannya. Dari kesehatan, badan terasa lebih enteng, kalau makan lidah lebih berasa ngerasain makanan, pedes, asin, asem, gitu. Terus, muka juga jadi lebih sehat, lebih bersih,” ujarnya.
Kita Juga Bisa
Melawan candu nikotin dan lepas dari jeratan rokok jelas bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak cerita orang yang gagal di tengah perjuangan, tapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Setidaknya, tak ada salahnya mencoba untuk berhenti dan mencoba melakukan hal-hal kecil yang bisa merubah kebiasaan lepas dari merokok. Sudah banyak testimoni dari orang-orang mantan perokok aktif yang merasakan berbagai manfaat positif.
Lagipula, kalau para pengguna narkoba disebut sebagai “pecandu narkoba”, lantas mengapa para pengguna rokok yang sama-sama kecanduan hanya disebut sebagai “perokok”, bukan “pecandu rokok”?
Petulis : Ridho Danu Prasetyo
Editor : David Kristian
Desainer : Widi Naufal