Sudah jangan ke Jatinangor, masih banyak kota lainnya ~
Itulah sepenggal lirik lagu “Sudah Jangan Ke Jatinangor” karya Pidi Baiq yang dinyanyikan The Panasdalam Bank bersama Jason Ranti dan menjadi salah satu soundtrack film Koboi Kampus pada tahun 2019 lalu. Lagu andalan para Nangorian ini, mengisahkan tentang pahitnya kisah asmara seseorang setelah sang pujaan hati yang berkuliah di Jatinangor telah memiliki tempat lain untuk bersandar. Akan tetapi, entah mengapa daerah ini masih menjadi incaran mahasiswa dalam menggapai impian, walau ada banyak ‘kekhilafan’ yang tercipta di dalamnya.
Seperti kata pepatah, tak ada asap jika tak ada api, mustahil rasanya jika seseorang memutuskan untuk hidup merantau tanpa ada tujuan yang pasti. Apakah telah lama mendambakan jurusan atau kampus impian? Ingin membahagiakan orang tersayang? Atau ingin bebas dari jangkauan ‘bapak-ibu negara’? Namun, ada pula yang mendapat ‘durian runtuh’, alias tidak menyangka jika dirinya akan hidup di perantauan.
“Jujur nggak ada, bahkan nggak pernah kepikiran buat ngerantau (dan) tinggal di luar kota karena dulu penginnya masuk UI. Soalnya dekat dari rumah,” ujar Sekar Cintya, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unpad angkatan 2021 asal Tangerang Selatan.
“Gue nggak pernah expect (bakal kuliah di) Jatinangor sih, (terlebih) gue tinggal di Garut dan (secara jarak) Garut itu sama Jatinangor (cuma) sejam lah, kayak dari Bandung ke Nangor,” ujar Muhammad Harrel Atthariq, alumni Jurnalistik Unpad angkatan 2018 asal Garut.

Kiri-kanan: Griselda (Jurnal 2019), Harrel (Jurnal 2018), dan Abid (Sibiru)
Tak pernah absen setiap tahunnya, Jatinangor kerap menjadi incaran banyak anak muda yang terpesona dalam sekali lirikan. Menjalani empat tahun perkuliahan sambil dimanjakan oleh suasana sejuk dan damai ala-ala Bandung, mungkin adalah salah satu hal yang paling dicari mahasiswa rantau dari Jatinangor. Namun apalah daya, kenyataannya justru ditampar oleh ‘kisah manis’ yang dibuatnya sendiri, dan harus menghadapi serangkaian jackpot di depan mata.
“Lebih (kaget) pas awal-awal maba karena tahunya Unpad tuh di Bandung, eh ternyata gue kuliah di Nangor dan juga lebih nggak nyangka kalau disini tuh bener-bener cuma kampus, kos-kosan, tempat makan, udah gitu doang,” ungkap Sekar.
“Ekspektasinya Nangor itu kayak (di) Bandung, banyak mal sana-sini, banyak tempat main, rupanya nggak(sesuai). Apalagi, salah satu yang bikin gue kaget adalah harga makanannya yang lebih mahal,” ungkap Mhd. Devvit Amdani, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unpad angkatan 2021 asal Padang.
Tak hanya Sekar maupun Devvit, Harrel juga sempat mengira Jatinangor betul-betul serupa dengan novel Ranah 3 Warna. Meski akhirnya, Harrel tersadar bahwa Jatinangor tidak seindah apa yang digambarkan dalam salah satu trilogi novel karya Ahmad Fuadi itu.
“Tapi, it makes no difference. Soalnya dulu pemikiran awal gue begini, dimana aku ditempatkan (maka) disitu aku harus melakukan persiapan,” tambah Harrel.
Terlalu banyak berharap hanya akan membuatmu kecewa, begitu juga ketika terlalu berharap lebih akan kota kecil di ujung barat daya Kabupaten Sumedang ini. Berbagai jackpot pun mau-tidak-mau harus diterima. Mulai dari perbedaan budaya, lingkungan, masalah sinyal, hingga yang tak kalah penting adalah persoalan duit. Untungnya, Jatinangor masih cukup friendly bagi ‘anak kosan’ maupun bagi kaum hedon sekalipun.
“Menurut gue (untuk berhemat di Jatinangor) masih bisa, soalnya nggak banyak tempat hiburan jadi nggak kepikiran buat hambur-hamburin duit,” ujar Sekar.
“Di sini gue ngekos dan temen-temen gue pun juga demikian, (terus kalau) makan pun juga tetep makan ala ‘anak kosan.’ Intinya, mau sekaya apapun harta yang elu miliki (pada akhirnya) elu tetep aja hidup alakadarnya sebagai ‘anak kosan’, ujar Devvit.
“Gue nggak pernah hemat dan bisa dikatakan duit jajan gue di antara temen-temen yang lain tuh (gue) paling kecil. Makanya waktu dulu, aku setiap hari sempet jualan (keripik) Moring keliling-keliling Fikom dan fakultas lain. Ya, alhamdulillah ada pendapatan yang bisa mencukupi expense gue selama di Nangor,” ungkap Harrel.
Bukan hanya masalah duit yang bikin pusing, mahasiswa rantau di Jatinangor juga dibuat warning dengan makin menggilanya tindak kriminalitas. Mengincar kalangan mahasiswa, para pelaku begitu lihai merampas harta maupun nyawa dengan segala macam skenarionya. Alhasil, Jatinangor kerap dinobatkan sebagai “wilayah rawan kriminalitas” oleh para penghuninya.
Meski begitu, Jatinangor sejatinya adalah tempat perantauan yang mampu memberikan rasa tenang, bahagia, dan belajar untuk menjunjung keberadaban sebagai insan manusia. Sikap sopan santun serta ramah tamah yang menjadi ciri khas masyarakat Tanah Pasundan, nyatanya begitu terasa oleh para pendatang dari luar wilayah Jawa Barat dan menjadi suatu pengalaman yang tak dapat dilupakan.
“Orang-orangnya ramah banget kayak sering nyapa satu sama lain dan mungkin karena gue ngekos di Ciseke yang secara lingkungan tuh deket sama warga lokal (warlok). Jadi kayak ngerasa welcomed aja sama orang-orang di sekitar,” ungkap Sekar.
“Di Sukawening warlok-nya baik-baik semua dan waktu gue lagi jalan sendiri kadang suka ada orang-orang yang nyapa. Bahkan, waktu dulu gue masih cari kosan, dia tuh welcome banget bahkan sampai dijelasin plus–minus nya. Nggak cuma ramah doang, disini gue seneng bisa ketemu sama temen-temen baru dan bikin seneng (betah tinggal) di Nangor,” ungkap Devvit.
Sementara itu, Harrel mengungkapkan bahwa hal yang menyenangkan dari Jatinangor adalah kehadiran teman-teman baru. Bukan tanpa alasan, dirinya mengakui bahwa banyak dari teman-temannya tidak sanggup untuk hidup merantau dan membuat kesehatan psikisnya terganggu. Meski sempat ragu, Harrel pun mempraktikkan saran dari seniornya untuk membuka diri dan hal tersebut terbukti ampuh bagi dirinya.
“Apa yang berharga (di Jatinangor) adalah teman-teman, karena berkat mereka lu bisa survive,” tambah Harrel.
Lebih dari sekadar keramah-tamahan masyarakat lokal dan keberadaan teman, Jatinangor juga mendukung mereka untuk bisa memuaskan keinginan – tetapi tetap terasa friendly di kantong anak mahasiswa. Apalagi berbicara urusan perut, mulai dari Pujasera Ciseke, Warung Prapatan a.k.a Warpat dan Pancong di Jalan Sayang, hingga McDonalds pun semuanya hadir memanjakan hasrat dan menciptakan memori yang begitu berharga untuk Nangorian, khususnya bagi mahasiswa rantau.
“Warpat. Soalnya gue sering pergi keluar malam dan enaknya di Warpat tuh bisa sambil lesehan dan ngobrol bareng sama temen. Walaupun banyak tempat yang mirip kayak Warpat, tapi experience nongkrong di sana tuh nggak bakal bisa tergantikan,” ujar Devvit.
“Kantin FKG! Sumpah, makanan di kantin sana tuh enak-enak banget dan (entah kenapa) jadi yang paling terenak (selama) di Nangor,” ujar Sekar.

Kiri-kanan: Devvit (Ilkom 2021), Sekar (Ilkom 2021), dan Abid (Sibiru)
Bukan hanya urusan perut saja, setiap sudut maupun hal-hal unik di Jatinangor juga memiliki kisah bagi penghuninya, terlepas dari segala keluh-kesah dan tantangan yang dihadapi tatkala menjalani hidup seorang diri. Sebagai alumni Nangorian, Harrel merasa bahwa Fikom menjadi salah satu tempat yang akan dirindukan dari Jatinangor, meski ada banyak lika-liku perjuangan dalam menghadapi kerasnya hidup dan tak sebanding dengan ekspektasi.
“Semenjak pandemi dan melihat Fikom nggak berubah, gue (seketika) merasakan gejolak nostalgia dan (mulai) ngerasa kenapa sih gue harus merasakan kespesialan ini? Hingga (pada) akhirnya gue nemu jawaban kalau apa yang gue rindukan, pasti Fikom,” ungkap Harrel.
Hingga pada akhirnya, Jatinangor akan senantiasa menjadi incaran para mahasiswa rantau bukan karena suatu keterpaksaan atau hanya sekadar meraih impian belaka, melainkan karena ada arti dari kerasnya hidup di tanah rantau yang berhasil mereka petik. Lebih dari sekadar “rumah singgah”, Jatinangor akan menjadi kenangan yang tak terlupakan bersama setiap sudut keindahan di dalamnya, serta menjadi ruang kebersamaan yang memberi kehangatan bagi setiap penghuninya.
“Gue selalu mengingat Jatinangor sebagai salah satu “tempat singgah” dan gue mulai belajar sebagai survivor tuh dimulai dari sini,” pungkas Harrel.
Penulis : David Kristian
Editor : Aliya R. Putri
Designer : Rinaya Triananda