Binar panggung meredup begitu sang pemeran utama meninggalkan panggung pagelaran. Membuat penonton menanti-nanti aksi selanjutnya. Namun, binar panggung tak kunjung kembali. Penonton kompak mengernyitkan dahi. Sang sutradara kelimpungan. Apa yang bisa dilakukan agar gelap kembali terang? Pertunjukkan mana lagi yang harus ditampilkan, agar penonton kembali terenyuh? Tak disangka-sangka, sang sutradara justru menampakkan dirinya. Berdendang bergoyang bak raja Jawa bersama dengan si kakek gemoy dan anjing-anjing setianya. Mereka menyeruak masuk ke kursi-kursi penonton. Menyebarkan kabar burung, bahwa dalam hitungan detik, pagelaran akan kembali dimulai.
Gelap tak menjadi terang. Mereka yang berada di balik layar, juga sama kacaunya. Membuat kebijakan tanpa perhitungan. Menghabiskan 100 hari untuk keputusan-keputusan dungu. Efisiensi, demi investasi. Multifungsi Abri, demi sebuah represi. Tunjangan kinerja dosen tak terealisasi. Mengintimidasi karya seni, demi “keamanan” bangsa ini. Bahkan, mereka menghasut kampus-kampus dan akademisi untuk menutup mulut, lewat revisi Undang-Undang Minerba. Di tengah kekacauan itu, sekelompok orang di sisi tengah kursi pagelaran membuka suara. Menyanyikan sebuah mahakarya dengan lantang. Memecah kegelapan yang tak berujung.
“Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi”
Tak tahan berdiam diri dalam gelap, penonton berbondong-bondong menyerbu panggung utama. Mengikuti alunan lagu, membuat seisi pagelaran kembali berirama. Menyingkirkan keberadaan sang pemeran utama––yang entah untuk apa ia berlakon. Menuntut keadilan, akar dari janji-janji yang diingkari. Melawan kegelapan. Oh, Indonesiaku!
Bukannya lebih baik, apabila kabur dari pagelaran gelap gulita dan penuh kekacauan itu, ya? Media massa saja tak berkutik bak air tenang. Peduli setan!
Sedang kami menggantikan pertunjukan spektakuler di panggung pagelaran, mereka sibuk bergunjing di balik layar. Ndasmu, katanya. Anjing-anjing setianya pun ikut bergunjing. Menuruti kata para tuannya. Mereka diam tak berdaya. Kehilangan kecakapan menjadi anjing pengawas (the watchdog), yang sudah seharusnya berpihak pada rakyat. Seperti habis digigit “kepiting”. Mereka hanya berani main di dalam kandang. Bahkan, tak sedikit yang blak-blakan menindas rakyat, berpihak pada kepentingan penguasa. Ah, memang sedari dulu mereka lebih pantas disebut the caged dog dibanding the watchdog. Idealismenya dikurung dalam-dalam, saling memberi makan dengan tuannya. Benar saja, pada hari itu, tak satupun kemegahan pertunjukan kami terdengar dalam hiruk pikuk dunia.
Dalam kandangnya, mereka sejahtera. Bahkan, diberi akses untuk terus berkunjung ke ruang istimewa istana. Makan-makan dan bercengkrama, mereka anjing yang terus menunggu diberi makan oleh tuannya. Sedangkan kami? Terus berirama, berharap pada yang tak pasti. Lambat laun, mungkin kami terkapar dalam kehancuran bangsa ini. Mungkin juga, kami sudah menyandang nama sebagai warga negara asing. Untuk sekarang, kabur belum menjadi pilihan karena kami tak sendirian. Entah dari mana datangnya kabar burung, ramai wajah-wajah tak dikenal menyerbu seisi pagelaran. Menggantikan peran sang fajar. Setidaknya kami berhasil memunculkan secercah cahaya di sudut-sudut pagelaran.
Mungkin, sang sutradara berpikir kami adalah budak yang bisa diperalat. Oh tentu tidak! Kami terus bersuara, bahkan hingga ke dunia maya. Ketika media acuh tak acuh, kami yang menjadi medianya. Kami berkecamuk, menyampaikan suara yang tak pernah didengar. Masih berharap agar suara kami akhirnya didengar, tentu dengan naifnya. Pada akhirnya, suara kami memang didengar. Didengar oleh bangsa dan khalayak asing. Bayangkan, betapa gelisahnya (mungkin saja tidak) sang sutradara ketika mengetahui pertunjukan kami akhirnya dijangkau dunia! Tak ada lagi yang bisa membungkam kami, tak ada satupun yang berhak menggunjing kami. Ketika para anjing terkurung dan tak lagi berpihak pada kami, di sanalah kami hadir. Berdiri di atas asas dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Oh ini yang digadang-gadang negara demokrasi? Keempat pilarnya saja, sudah runtuh sejak beribu abad yang lalu. Pers yang seharusnya mewakilkan suara rakyat, tak hadir untuk kami! Untuk apa bersikukuh mempertahankan nama demokrasi, jika rakyat tak digubris. Kami diinjak-injak dengan kebijakan penuh kepentingan belaka. Kebijakan yang semakin menyempitkan ruang gerak di akar rumput. Wonderful Indonesia.
Inikah jawaban atas pengabdian kami terhadap bangsa ini? Perjuangan mempertahankan demokrasi (atau yang selama ini menyamar sebagai nama lain Orde Baru). Bahkan, ketika diinjak-injak, kami masih melawan. Kami belum kabur dari panggung perjuangan (mungkin nanti iya). Harus berharap kepada siapa, ketika tak ada yang memihak kami lagi? Sepertinya, kami memang harus bertumpu di atas kaki sendiri. Oh, Ibu pertiwi pun tertawa miris mendengar ini. Namun, Ibu pertiwi harus tau, kami masih ingin hidup. Hidup 1000 tahun lamanya, demi melihat Indonesia yang merdeka dari penindasan pemimpin dan rakyatnya sendiri.
Penulis : Maulida Hasna Haniifa
Editor : Raismawati Alifah Sanda
Desainer : Naraya Raissa Aqila
Kereeen banget!!! Keep it up!!