Kritik terhadap Media Indonesia: Jurnalis Perempuan di Tengah Bias dan Kekerasan

Data dari Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mencatat sebanyak tujuh jurnalis perempuan menjadi korban dari total 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Sementara itu, dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2025, tercatat lima jurnalis perempuan menjadi korban dari 23 kasus yang terjadi. Data ini menunjukkan bahwa di balik profesi yang menjunjung kebebasan dan keberanian, dunia jurnalistik masih menyisakan ruang yang tidak aman bagi perempuan.

Perempuan dalam dunia kerja, termasuk jurnalistik, sering kali harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan mereka. Seperti yang disampaikan oleh Megan Two Hey, jurnalis investigasi yang turut mengungkap skandal Harvey Weinstein, “Being a woman in journalism often means fighting harder to gain recognition for our abilities, but every step toward equality is a step toward progress for all.” 

Selain perjuangan mendapatkan pengakuan, jurnalis perempuan juga dihadapkan pada berbagai tantangan seperti bias gender, kekerasan seksual, hingga ancaman berupa fisik dan psikologis. Ironisnya, media yang seharusnya menjadi ruang untuk menyuarakan keadilan dan kesetaraan justru kerap menampilkan bias terhadap isu-isu gender. Perempuan masih sering dijadikan objek seksual dalam pemberitaan, seperti narasi yang berfokus pada penampilan fisik: “Penampilan menggoda di red carpet membuat dirinya menjadi pusat perhatian” atau “Mayat perempuan cantik ditemukan di got.” Ungkapan-ungkapan semacam ini tidak hanya merendahkan martabat perempuan, tetapi juga menciptakan narasi yang menyalahkan korban dan memperkuat stereotip seksis di masyarakat.

Walaupun kerap menghadapi berbagai tantangan serta ancaman, semangat para jurnalis perempuan untuk terus menciptakan karya yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas, tidak pernah padam. Namun, perlu langkah konkret yang di ambil media untuk menciptakan ruang yang aman dan setara. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan memberikan pelatihan kepada jurnalis mengenai kesadaran gender, termasuk penggunaan bahasa yang tidak bias serta cara pemberitaan yang menghormati martabat perempuan. Di samping itu, media juga harus memperkuat kebijakan internal terkait perlindungan jurnalis perempuan, baik dalam peliputan di lapangan maupun di ruang redaksi. Perlindungan ini mencakup pencegahan kekerasan seksual, intimidasi, dan bentuk kekerasan berbasis gender lainnya. Melalui komitmen yang kuat terhadap kesetaraan, media tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang menjunjung keadilan bagi semua, termasuk perempuan di dunia jurnalistik.

Penulis: Devita Shifa Sahri

Editor: Raismawati Alifah Sanda

Desainer: Kendra Luvena Cintanayla

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *