Krisis Identitas dan Realitas Pahitnya: Sebab Kamu Tidak Mengenal Diri Kamu Sendiri

“Dua puluh tahun, gue hidup ‘beragama’ ga pernah sekalipun gue menemukan ketenangan di jiwa gue,” keluh Paul Andre Partohap dalam sebuah adegan film drama, Rentang Kisah, sebuah film yang menceritakan kisah hidup seorang influencer, Gita Savitri Devi. 

Kala mendengar perkataan Paul dalam adegan tersebut, saya jadi teringat pada beberapa minggu lalu ketika saya mengalami fase yang mungkin sama sulitnya seperti apa yang Paul alami. Bedanya, bukan perihal agama, melainkan hubungan sosial, karier, dan kehidupan saya secara pribadi. 

Hari ke hari, hingga minggu ke sekian, saya tak jua dapatkan jawaban. Beberapa kali saya mengeluhkan dan mempertanyakan banyak hal pada diri saya. Seperti, “Untuk apa saya hidup?” “Kehidupan ini ada karena apa dan untuk apa?” “Lalu siapa sebenarnya saya ini?” Singkatnya, pertanyaan demi pernyataan random yang secara garis besar mempertanyakan eksistensi saya di dunia yang bahkan saya sendiri tidak mengerti apa maksudnya.

Setelah cukup lama mengurung di dalam kamar dan berdebat dengan diri sendiri, terkadang saya juga merasa heran mengapa bisa saya mempertanyakan hal tersebut. Apalagi, setelah saya sudah menjalani hidup selama sembilan belas tahun lamanya. “Mungkin ini bagian dari krisis,” pikir saya dengan pasrah. 

Karena tak mau lagi mengisolasi diri secara berlebihan, akhirnya saya membuka peramban Google diiringi perasaan cemas tapi penasaran. Lalu, dengan hati-hati saya memasukkan keyword, “krisis mempertanyakan diri”. Muncullah dua suku kata di setiap baris, Krisis Identitas. 

Istilah krisis identitas pertama kali dipopulerkan oleh psikolog dan psikoanalisis berkebangsaan Jerman, Erik Erikson. Menurutnya, krisis identitas merupakan suatu kondisi di mana seseorang mempertanyakan jati diri atau identitas dirinya. Pada beberapa literatur, krisis ini sering dialami oleh remaja. Kendati demikian, Erikson menyebut bahwa konflik dalam diri ini dapat terjadi pada semua umur. Jadi, untuk kamu yang pernah, sedang, atau mungkin akan mengalami krisis semacam ini, kamu tidak perlu khawatir. 

Sebenarnya, tidak ada diagnosis sendiri untuk seseorang yang mengalami krisis identitas. Saya pun tak semata-mata mendiagnosis diri sendiri bahwa saya mengalami itu. Namun, ada beberapa gejala yang bisa kita kenali dan menjadi tanda bahwa kita mungkin sedang mengalami krisis identitas. 

Jika kamu kerap kali mempertanyakan siapa kamu, apa peran kamu, atau mempertanyakan aspek spiritual, nilai, dan minat diri kamu, kamu perlu berhati-hati. Singkatnya, saat kamu mempertanyakan  perihal diri kamu secara menyeluruh, baik  itu berkaitan dengan usia, karier, atau hubungan sosial. 

Kemudian, jika kamu merasa “kehilangan arah” lalu mulai mencari referensi yang dapat menjawab alasan, gairah, dan makna hidupmu, kamu sudah perlu waspada.

Terakhir, jika kamu berpikir bahwa kamu bukan lagi diri kamu yang sebenarnya, ini dapat dikatakan hal yang gawat. Hal tersebut ditandai dengan perilaku, gaya, dan pola pikir kamu yang sering berubah-ubah dan tidak mencerminkan diri kamu, alhasil kamu juga akan mudah dipengaruhi. 

Tidak ada urutan pasti dengan tanda itu, hanya saja itu berdasar pengalaman saya sendiri. 

Tanda dan gejala tersebut pada dasarnya terjadi karena adanya perubahan besar yang kamu alami atau karena kamu memiliki rekam jejak stres yang buruk dan belum membaik. Adapun, perubahan besar yang dimaksud diantaranya ialah ketika kamu kehilangan seseorang atau pekerjaan, menjalani hubungan baru termasuk pernikahan atau perceraian, perpindahan ke lingkungan yang baru, dan atau memiliki suatu penyakit atau traumatis tertentu. 

Riset terbaru bahkan menyebutkan bahwa Pandemi Covid-19 juga dapat menjadi penyebab seseorang mengalami krisis identitas. Seperti yang dikutip dari Tempo.co, seorang psikolog Universitas Arts London, Dr. Paul Marsden, menyebut bahwa lockdown dapat mengakibatkan seseorang mengalami krisis identitas. Ia meneruskan, identitas yang positif itu didorong oleh ARC kebahagiaan yang terdiri dari tiga hal, rasa keterkaitan, rasa otonomi, dan rasa kompetensi. 

Rasa keterkaitan misalnya, adanya jarak sosial membuat kita stres sebab ada koneksi dan afiliasi yang ingin kita tuju tetapi tidak bisa terlaksana. Kita juga mungkin bisa mengalami frustasi karena rasa kebebasan atau otonomi kita diambil dengan adanya pembatasan untuk tetap diam di rumah saja. Rasa kompetensi yang sulit dicapai di situasi pandemi juga bisa membuat kita kehilangan minat dan tujuan yang pada akhirnya memicu krisis identitas tersendiri. 

Mungkin, pandemi juga menjadi salah satu penyebab mengapa saya sampai mengalami krisis identitas. Saya yang biasanya tidak tahan diam di rumah, menjadi cukup stres karena segala kegiatan harus dilaksanakan di rumah. Hal yang sama bisa juga teman-teman alami, seperti pembelajaran online yang tak jarang membuat stres. Apalagi, bagi mereka yang baru menempuh pendidikan di lingkungan yang baru, beradaptasi dengan tempat baru di dalam jaringan tentu tidak semudah seperti berkenalan secara verbal. 

Untuk itu, karena tuntutan kondisi dan keadaan Pandemi Covid-19, kita tidak hanya perlu memperhatikan kesehatan fisik kita, tetapi juga harus selalu menjaga kesehatan mental kita agar bisa terus bertahan hidup. Salah satunya, adalah dengan mengenali apa yang sedang kamu rasakan, kamu alami, dan kamu hadapi. 

Meskipun penting untuk diselesaikan, krisis identitas memang bukan hal yang amat serius. Namun, apabila krisis ini terjadi padamu dan tak kunjung selesai, ia dapat memicu dan mengganggu kesehatan mental kamu. Depresi menjadi kemungkinan terburuknya. Segeralah datang ke psikolog apabila kamu juga mengalami gejala depresi. 

Lalu, setelah mengenal dan menerima apa yang sedang kita alami, bagaimana cara kita mengatasi dan menyembuhkannya? 

Kamu bisa memulainya dengan meluangkan waktu untuk menggali dan mengenal diri kamu sendiri agar bisa menghadapi perubahan besar yang datang kepadamu. Contohnya, apabila kamu merasa menjalin hubungan baru dengan seseorang merupakan hal yang sulit, tanyakan pada diri kamu apakah perubahan itu membuatmu puas atau tidak. Lalu, pikirkanlah apa yang seharusnya kamu lakukan untuk menghadapi itu agar keadaanmu menjadi lebih baik. 

Mencari hal positif dan menyenangkan lainnya yang membuatmu bahagia juga dapat mengurangi pikiran negatifmu. Kamu bisa memulainya dengan melakukan hobi baru, travelling, bertemu dengan orang atau bergabung dengan komunitas baru, dan hal lainnya yang membuat kamu lupa akan pikiran negatif itu. Sebab, bisa jadi pikiran negatif lah yang membuatmu mengalami krisis identitas. Pikiran negatif tersebut bisa bersumber dari komentar orang lain yang sering kamu pikirkan. Jadi, mulailah abaikan perkataan orang lain dan fokuslah pada diri kamu sendiri.

Kehadiran dan dukungan teman, keluarga, dan atau pasangan juga bisa menjadi support system yang baik untuk kamu agar dapat menjadi lebih kuat lagi. Kamu bisa meminta sesuatu kepada mereka apabila diperlukan seperti pelukan, kata-kata motivasi, dan lainnya. Sebab, waktu yang digunakan bersama kerabat akan membantu untuk mengurangi pikiran negatif. Namun, luangkanlah waktu dan tenaga dengan wajar, sebab kehadiran kamu untuk teman, keluarga, atau pasangan yang terlalu berlebihan juga terkadang membuatmu lupa dengan diri kamu sendiri. Apalagi, akan menjadi bahaya jika kamu sudah menjadi people pleaser dengan mementingkan orang lain. Hal tersebut dapat menjadi pemicu krisis identitas sebab kamu tidak punya cukup waktu untuk mengenal dan memperhatikan diri kamu sendiri. 

Begitulah, ada banyak hal yang mesti kita perhatikan, baik itu di dalam hubungan sosial, karier, dan diri kita sendiri. Perubahan demi perubahan dalam hidup tentu akan terus berdatangan, janganlah panik dan tetap semangat. Bagi saya, krisis identitas memanglah hal yang buruk. Namun, bisa menjadi ajang untuk mengenal diri sendiri lebih jauh lagi. 

Penulis: Lugina Nurul Ihsan
Editor: Ririn Ariana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *