“Bangun tidur ku terus selfie, tidak lupa ku pamer Gucci”
Kehidupan zaman sekarang memang tak lepas dari media sosial. Terutama saat masa karantina di rumah saat kebanyakan orang hanya mendapat hiburan dari gawai mereka. Bangun tidur buka instagram, mau makan buka youtube, hendak tidur buka twitter, gitu aja on repeat. Sebenarnya, hal ini bukanlah sebuah masalah karena sudah jadi rutinitas semua orang, termasuk saya.
Bahkan, banyak orang yang membagikan tentang dirinya tanpa ada rasa was-was. Saking seringnya, kita tidak sadar kalau sudah terjebak dalam kehidupan orang lain. Mobilnya merk apa, mulai dari Toyota hingga Tesla dia punya. Diet yang mereka jalani jenis apa, dari keto hingga OCD sudah dilakukannya. Hanya melalui unggahannya, bisa langsung kita susun jadi biodata.
Mereka menyebutnya motivasi untuk orang lain yang melihatnya. Tapi, menurut saya itu hanya sebagai dalih untuk pamer belaka. Apalagi saat pandemi seperti ini, dengan banyaknya konten yang hanya memperlihatkan harta, bukanlah pilihan yang bijak. Orang-orang banyak yang sedang berjuang, tidak akan mungkin termakan ‘motivasi’ yang dibagikan.
Fenomena seperti ini sudah pernah dijelaskan oleh Guy Debord dalam “Teori Masyarakat Tontonan”. Masyarakat tontonan gemar mempertontonkan dirinya dengan hal-hal yang melekat dengannya berdasarkan barang-barang komoditas. Barang tersebut pada akhirnya sudah tidak dipakai lagi sebagaimana fungsi sebenarnya, melainkan digunakan untuk dikenal masyarakat.
Komoditas ini pun bisa diubah menjadi “tontonan” atau disebut spectacle, yang mana dipertontonkan secara cuma-cuma di media sosial. Kini orang-orang berlomba untuk menjadi yang terbaik, dengan maksud untuk memberi motivasi tapi tetap pamer. Menurut saya, itu hanyalah ciri dari society of spectacle yang haus akan pujian dan sanjungan atas pencapaiannya.
Memberi motivasi tidaklah salah, namun alangkah baiknya jika dikemas dengan sopan. Berbicara tentang kesuksesan saat duduk di atas ban flamingo yang mengambang di kolam renang pribadi, malah menjadikan saya gagal fokus. Menyemangati orang lain di depan etalase tas Gucci malah membuat saya makin malas melihatnya.
Gak cumin mobil Ferrari dan tas Gucci, selca kulit glowing, skin care rekomendasi yang ditanya oleh followernya di question box instagram, (tapi gatau juga deh followernya apa dia sendiri yang nanya.. ups..) dan memulai review skin care-nya dari yang pertama sampai yang skin care kesebelas yang dia pakai setiap malam. Membuat wajahnya semakin kinclong layaknya bokong bayi berumur satu tahun.
Tidak hanya cara pakai dan merk, dia juga membagikan info harga yang “murah” di matanya. Jika ditotal, harganya mungkin dapat menghidupi satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan satu orang anaknya yang hidup di dalam gerobak berisikan kardus berkas.
Mari kita ulas mengenai hewan peliharaannya. Pelihara kucing anggora, ah menengah kebawah juga pelihara. French bulldog, yaa boleh lah. Bengal cat seharga $3,000 lah, yang gak bakal mampu di beli sama menengah kebawah. Tapi, ukuran hewan-hewan peliharat tersebut semua kecil, lebih baik pelihara harimau deh. Ya, harimau, burung unta, rusa, dan kebetulan baru melahirkan nih kemarin rusanya. Hewan-hewan eksotis yang “nyaman” diberi tempat tinggal persis di depan rumah pemilik dengan menggunakan jeruji besi sebagai kandangnya. Masyarakat awam pasti sangat senang melihat konten dia bersama hewan-hewan peliharannya di youtube. Jadi inget kasusnya Lucky Hakim yang diserang SJW lingkungan hidup.
Inilah sisi positifnya main instagram. Karena sering insecure sama kehidupan orang lain, jadi terbiasa merasa insecure di dunia nyata. Barang branded udah, peliharaan udah, bahas mental health kali ya sekarang. Depresi gara-gara cowoknya pindah hati, anxiety sampe mau mati, cutting agar semua orang komen “Semangat, kalo punya masalah cerita aja sama kita” atau direkomendasiin 101 lagu BTS tentang mencintai diri sendiri. Masyarakat tontonan tidak jarang membuat dirinya merasa paling special, layaknya seorang center dari sebuah koreografi di boyband Korea zaman sekarang.
Penulis: Griselda Mahissa dan Dyta Nabilah
Editor: Ridzky Rangga Pradana