Di antara pembaca yang sedang mengunjungi halaman ini, pasti ada satu atau dua pembaca yang pernah menangis ketika membaca bagian menyedihkan dari suatu novel atau merasa gelisah dan tegang ketika suatu film sedang menampilkan scene yang menakutkan. Mungkin, ada juga di antara para pembaca yang ikut terlarut dengan cerita di dalam karya fiksi tersebut hingga perasaannya terombang-ambing bak sedang di dalam sebuah kapal yang berada di tengah badai. Jika pembaca pernah merasa seperti itu, well… you got my back kid. I’ve been through that a lot too, you know?
“It’s only a story,” they said. Trust me, some of the readers might think that it is more than just a story. Contohlah Harry Potter, salah satu karya fiksi yang dapat dikatakan sangat sukses dalam memengaruhi pembacanya. Saking suksesnya, sampai-sampai banyak fasilitas yang dibangun agar pembaca setianya –so called potterhead- dapat merasakan bagaimana “hidup seperti Harry”. Mengutip apa yang ditulis Robert Le Poidevin dalam salah satu esainya, Is God a Fiction pada bagian “fiction and the emotion”: mereka (para pembaca fiksi) sering kali menyalahartikan bahwa apa yang disajikan karya fiksi itu benar adanya -sebuah kenyataan. Padahal besar kemungkinan di dalam hati, mereka paham bahwasanya fiksi itu hanyalah suatu kepalsuan belaka.
Lalu, kenapa sih kita dapat merasakan hal tersebut? Ini merupakan tanda tanya besar yang sering bersemayam di belakang pikiran penulis. Ketika penulis menceritakan hal ini pada salah seorang teman atau ada seorang teman yang melihat penulis overreacting terhadap sebuah karya fiksi, jurus andalan mereka adalah: gak usah lebay sih, toh cuman fiksi. Sama seperti apa yang ditulis oleh Le Poidevin, kalimat “it’s just a story” adalah kalimat andalan dalam menenangkan orang lain juga membangunkan mereka dari dunia fiksi yang mereka masuki. Memang tak dapat dielak bahwa hal yang kita baca dari novel hanyalah sebuah cerita berisi kepalsuan dengan rangkaian kata yang cantik sehingga dapat membuat kita jatuh hati. Namun, untuk memahami grand question yang menjadi isu mendasar tulisan kali ini tidaklah semudah itu.
Ketika kita membaca suatu novel atau menonton film, beberapa di antara kita akan ikut larut dengan emosi yang disajikan oleh karya tersebut. Saking larutnya, kita sampai lupa bahwasanya apa yang disajikan itu adalah fiksi dan karakter yang mengalami apapun adegan yang disajikan sebenarnya tak mengalami apapun karena mereka tidak nyata. Sama halnya seperti saat kita telah selesai menonton film horor IT, kita mungkin akan memiliki cukup banyak trust issue pada badut-badut yang kita temui di jalanan. Hal ini dapat terjadi karena:
- Dalam beberapa saat, kita percaya bahwasanya fiksi yang disajikan pada kita benar adanya dan lupa bahwa hal tersebut hanyalah fiksi semata. Padahal, kalau semisalnya hal itu benar-benar terjadi, mungkin kita telah memanggil ustadz atau pastor di sekitar kita untuk mengusir Pennywise kembali ke alam baka tempat di mana ia berasal.
- Fiksi yang kita baca atau tonton membawa kita ke keadaan yang ada dan memang terjadi di dunia nyata, sehingga emosi kita terbawa karenanya. Mungkin hal ini dapat dikaitkan dengan scene pada saat The Losers Club dibully oleh so called The Bowers Gang yang mana pada saat melihat scene tersebut, kita bisa saja diajak berkelana sebentar oleh pikiran kita pada kenyataan di mana perundungan itu adalah hal yang benar terjadi di dunia kita sendiri dan hal itu mengundang rasa simpati pada The Losers Club juga kepada orang-orang yang mengalaminya di kehidupan nyata.
Kemudian, menurut Le Poidevin, ada hal lain yang dapat menyebabkan kita merasakan emosi ketika sedang berhadapan dengan karya fiksi, yaitu karena hal yang terjadi pada fiksi tersebut sama dengan apa yang pernah kita alami di kehidupan nyata. Contohnya seperti ketika kita melihat suatu scene yang menampilkan seseorang yang kehilangan orang terkasihnya. Jika kita pernah mengalami hal serupa, tentu hal tersebut dapat memancing rasa sedihnya kembali sehingga tak aneh bilamana kita menangis karenanya.
Bisa dikatakan, keadaan dalam suatu bab atau adegan yang ditampilkan karya fiksi familiar dengan apa yang pernah kita rasakan sebelumnya, sehingga hal tersebut dapat menjadi pemicu bagi kita untuk merasakan kembali hal tersebut. Maka dari itu, beberapa film, novel, dan Alternate Universe (AU)/fanfiction sering kali memberikan triggered warning sebelum kita lanjut menikmatinya agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, terlebih jika sudah memasuki ranah psikologis.
Melihat penjelasan di atas, sepertinya cukup merepotkan juga ya menjadi emosional ketika kita sedang membaca atau menonton suatu karya fiksi, baik itu romansa, horor, atau angst alias yang-sangat-amat-sedih. Namun, apakah menjadi emosional terhadap karya fiksi akan berakibat buruk pada diri kita nantinya? Well… sebenarnya tak segitunya kok. Justru, being emotional to a fiction story might help you to be more sensitive towards people’s feeling. Hm, kok bisa ya?
Menurut seorang psikolog dan novelis asal Inggris, Keith Oatley, fiksi diibaratkan seperti sebuah simulator penerbangan bagi akal manusia. Kita, si pembaca/penonton dari karya fiksi layaknya seorang pilot yang sedang belajar terbang melalui pesawat simulator mencoba mengarungi langit dengan informasi-informasi yang kita punya. Sama halnya seperti saat kita sedang membaca sebuah novel, kita juga -disadari atau tidak- ikut menelaah karakter-karakter dan keadaan yang terdapat dalam novel tersebut.
Sama seperti suatu ketika, penulis pernah menonton satu series yang sangat ramai dibicarakan oleh orang-orang sekitar. Saking asiknya dengan series ini, penulis malah ikut-ikutan menebak plot, karakter, perkembangan karakternya, dan juga hal-hal yang dirasakan dengan oleh karakter-karakter tersebut. Suatu saat ketika si karakter sedang berada di suatu keadaan yang cukup rumit, penulis akan ikut gelisah sembari menerka-nerka apa yang akan dipilih oleh si karakter. Penulis ikut merasakan emosi yang ditampilkan oleh si karakter, saking merasakannya penulis juga ikut menerka-nerka apa yang ada di pikiran si karakter tersebut. Bisa jadi hal inilah yang dimaksud oleh Oatley bahwa kita mensimulasikan keadaan saat kita sedang mencoba bersimpati atau berempati pada orang lain, disadari atau tidak.
Dari sinilah kepekaan itu hadir menyelimuti diri kita karena telah dilatih sebelumnya, sehingga ketika kita menghadapi orang yang memiliki hal yang sama dengan karakter fiksi yang pernah kita hadapi sebelumnya, kita jadi bisa mencoba untuk mengerti keadaan yang ada. Semisal kita mendengarkan curhatan teman kita yang mengalami friendzone sampai bertahun-tahun lalu akhirnya si “temannya” ini memutuskan untuk bersama yang lain ketimbang dirinya. Jika kita telah menonton film Love, Rosie atau 500 Days of Summer, mungkin kita dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi teman kita ini karena friendzone truly sucks (meskipun 500 Days of Summer tak benar-benar menceritakan tentang friendzone, kan?).
Kalau begitu, apakah merasakan emosi ketika membaca suatu novel atau menonton film adalah hal yang wajar? In my perspective, it is. Emosi adalah hal yang wajar kita rasakan walaupun saat kita menghadapi kebohongan atau kepalsuan sekalipun -fiksi bisa saja keduanya, walaupun Aristoteles berpendapat bahwa fiksi adalah sesuatu yang akan atau dapat terjadi. Menonton Geez and Ann di Netflix (jangan tonton di platform bajakan!) sampai menangis dua jam setelah menonton padahal belum pernah merasakan romansa sekalipun, adalah hal yang dapat dibilang wajar.
Terkecuali jika pembaca merasa overwhelmed, seperti saat penulis selesai menonton The Haunting of Hill House, please get some help. Seriously. Jangan sampai rasa kewalahan pembaca yang berlebih menyeret pembaca kepada keadaan yang tidak diinginkan. Intinya, kita boleh merasakan berbagai emosi terhadap suatu karya fiksi, entah itu sedih, senang, marah, lucu, dan lainnya, asalkan tidak sampai berlarut-larut hingga memengaruhi kehidupan kita. Semua ada batasnya. Sekian dari penulis, semoga harimu menyenangkan!
Penulis: Andien D. R.
Editor: Tasyarani Aca