Kami Butuh Perlindungan, Bukan Penderitaan!

Melepas sejenak hingar-bingar kehidupan, berkumpul dengan orang tersayang, atau menjadi ruang bagi setiap insan untuk berleha-leha. Itulah beberapa ungkapan yang terlukis dalam angan saat mendengar kata ‘rumah’, sederhana namun tersirat berbagai cerita ketika membuka pintunya dengan lebar. Catherine Pulsifer, penulis ternama asal Kanada pernah berkata, “Rumah adalah tempat di mana kita harus merasa aman dan nyaman.” Sekalipun ada saja hal yang kerap membuat kita termenung, pada akhirnya rumah akan selalu menjadi tempat layak untuk berlindung.

Memegang teguh dalam dada sebagai seorang mahasiswa, secara tidak langsung kita juga merasakan aroma-aroma perkuliahan yang penuh warna. Bertegur sapa dengan kawan seperjuangan, menyelami potensi diri secara utuh, atau merasakan jantung berdegup kencang tatkala dihadapkan dengan suatu problema. Singkatnya, universitas telah menjadi rumah baru untuk kita melatih akal dan tingkah laku, sebagai bekal mengarungi derasnya arus kehidupan. Namun batin kita seakan bertanya-tanya, benarkah universitas sudah seperti rumah, memberikan rasa aman dan nyaman bagi mahasiswa?

Marilah kita coba untuk napak tilas sejenak, merangkai kembali segala memori di masa lalu yang membekas dalam benak. Rasa-rasanya dalam setahun terakhir, universitas kerap menjadi sorotan yang tak luput dari incaran banyak media pemberitaan Tanah Air. Akan tetapi, bukan untuk mempertontonkan pencapaian emas mereka sebagai institusi pendidikan, melainkan berkat kelakuan sejumlah oknum universitas yang begitu kelewatan. Yap, fenomena kekerasan seksual di lingkungan kampus kembali menggeliat, seakan-akan tak pernah padam dan makin meresahkan akibat banyak dari mereka yang terjerat. 

Kekerasan maupun pelecehan seksual, adalah dua bentuk kejahatan kemanusiaan yang marak terjadi di dunia pendidikan, tak terkecuali di perguruan tinggi. Para aktor utama begitu lihai melancarkan aksi bejatnya, tanpa mengindahkan status maupun jabatan yang Ia emban, demi memuaskan hasratnya.

Walaupun aturan sudah diterbitkan dan berbagai elemen masyarakat mengecam keras perbuatan tak terpuji ini, apakah yakin perguruan tinggi telah terbebas dari tindakan kekerasan seksual? Bagaimana pula dengan Universitas Padjadjaran, sebagai salah satu institusi pendidikan yang juga tempat bagi para mahasiswa mengemban ilmu? Sudahkah Ia menjadi ‘rumah’ yang melindungi anak-anaknya dari tindakan para manusia biadab?


Unpad Belum Sepenuhnya Aman

Entah sudah berapa kali tinta telah tergoreskan, namun itulah realita yang kini tergambarkan. Universitas Padjadjaran (Unpad) kembali menjadi sarang bagi lebah-lebah yang haus akan hasrat semata, menerkam mangsa di hadapan hingga tak berdaya. Beberapa minggu terakhir, seluruh masyarakat Unpad dibuat terheran-heran dengan aksi kekerasan seksual oleh mahasiswa Fakultas Pertanian (Faperta) Unpad maupun pelecehan seksual oleh mahasiswa Fakultas Psikologi (Fapsi) yang telah jadi ‘mantananggota Radio Mahasiswa Unpad (RadioMU). Anehnya, dua kejadian tersebut justru meledak disaat seluruh umat manusia, bersama-sama merayakan bulan Februari dalam kehangatan dan penuh rasa cinta.

Semua mata begitu tertuju, memandang penuh amarah, kasus pelecehan seksual yang didalangi oleh Abdul Hafizh Ghozi Nur Ichsan, mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2020 sekaligus menjadi ex-Deputy Head of Finance di RadioMU karena suatu tindakan penuh kebodohan. Melalui Surat Pernyataan RadioMU yang diunggah pula pada akun instagram resminya, Abdul terbukti melakukan aksi pelecehan seksual terhadap korban dan langsung mendapat ganjaran yang tak main-main, yakni pemutusan relasi alias dipecat. Adila Dhiyaa Fajr, selaku General Manager RadioMU 2022-2023 dengan tegas mengatakan bahwa RadioMU menentang segala macam bentuk kekerasan maupun pelecehan seksual di lingkungan kampus dan internal RadioMU itu sendiri.

“Pelaku juga mengakui telah berbuat tindakan pelecehan seksual, makanya kita (RadioMU) mengeluarkan Surat Pemutusan Relasi. Lagian,
kita nggak butuh (orang) kayak gitu tuh di RadioMU!”,

ujar Adila.

Adila menjabarkan bahwa kasus pelecehan seksual oleh mantan anggotanya, sesungguhnya tidak langsung singgah ke telinganya. Awalnya, sang korban melaporkan kejadian ini kepada salah satu MUTracks (sebutan untuk anggota RadioMU), hingga akhirnya informasi ini sampai pula ke telinga dirinya, pada pertengahan Februari lalu.

Beberapa elemen dalam RadioMU kemudian bersama-sama melakukan proses investigasi terkait aksi pelecehan seksual ini, termasuk kepada korban dan pelaku, yakni Abdul. Setelah perdebatan yang panjang, serta mengutamakan hak-hak korban, maka RadioMU memutuskan untuk memecat Abdul dari jabatan yang sebelumnya Ia emban, sebagai Kepala Departemen Keuangan.
Dalam kesempatan yang sama, Adila juga mengatakan bahwa dirinya mengenal baik pelaku sebagai teman kerja satu organisasi, namun dirinya tak menampik bahwa RadioMU telah kecolongan atas perbuatan anggotanya sendiri yang melakukan hal-hal tidak senonoh.

Kaget, tidak percaya, sekaligus merasa aksi yang dilakukan oleh Abdul sudah ‘bukan seperti manusia’. Akan tetapi, dirinya juga menyadari bahwa pelaku kekerasan seksual bisa datang dari siapa saja, tanpa mengenal baik-buruknya seseorang dan harus ada tindakan tegas yang membuatnya jera.

“Kalau menurut aku pribadi, aku bakal nangis. Cuma aku ngerasa, setiap perbuatan harus ada konsekuensinya, dan sebagai GM pastinya harus bersikap tegas atas tindakan yang telah Ia lakukan,” ujar Adila.

Adakah ‘Rumah Aman’ bagi Mahasiswa?

Mengutip kembali pernyataan Catherine Pulsifer pada bagian sebelumnya, bahwa rumah harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi yang menempatinya. Apalagi ketika berbicara universitas sebagai ‘rumah’ bagi mahasiswa, wajar rasanya jika kita mempertanyakan apa langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Universitas Padjadjaran untuk dapat mewujudkan itu semua?

Belum lagi dengan ramainya kasus kekerasan seksual di universitas yang termasuk dalam ranah pendidikan, semakin menjauhkan upaya mahasiswa untuk mewujudkan ‘rumah aman’ di lingkungan perkuliahan.

Georgius Benny, Kepala Departemen Propaganda dan Aksi BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran 2021 mengatakan universitas, terutama Unpad, belum seutuhnya menjadi ‘rumah aman’ bagi ribuan mahasiswanya.

Benny merasa bahwa seluruh pihak mulai dari circle pertemanan dan organisasi, lingkup jurusan hingga universitas, perlu melakukan evaluasi atas segala upaya nyata mereka dalam menekan terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus.

“Harus menjadi PR seluruh pihak entah dari mahasiswa, Organisasi Mahasiswa (Ormawa), maupun kampus itu sendiri, mewujudkan ini semua. Implementasi aturan jadi hal yang penting, namun mahasiswa perlu mengawal aturan itu yang diwujudkan pula dengan membangun ‘rumah aman’ dari circle yang kecil,” ujar Benny.

Ada asap berarti ada api, sebuah pepatah yang sama rupanya ketika berbicara akan mustahilnya para pelaku berani melakukan kekerasan seksual, dalam sebuah institusi pendidikan. Oleh karena itu, Benny menjabarkan tiga poin utama penyebab fenomena kekerasan seksual di kampus terus-menerus bergejolak, dan berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian.

Pertama, tingkat kesadaran (awareness) mahasiswa yang rendah akan isu kekerasan seksual, sehingga baik pelaku maupun korban tidak mampu mengenal perilaku-perilaku yang mengarah pada hal tersebut. Kedua, kurangnya sikap tegas dari berbagai entitas, baik itu kampus maupun organisasi dalam menentang segala bentuk tindakan kekerasan seksual. Terakhir, adalah faktor ‘relasi kuasa’ dalam suatu lingkungan, entah itu dosen dengan mahasiswa, ketua organisasi dengan anggota, ataupun mahasiswa senior dengan mahasiswa junior, cenderung mempengaruhi psikologis korban yang membuatnya enggan untuk bersuara.

Putri Indi Shafarina, Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kema Unpad 2022 mengungkapkan hal yang senada dengan Benny, soal ‘relasi kuasa’ yang menjadi salah satu akar masalah fenomena kekerasan seksual semakin menjadi-jadi. Hadirnya ‘relasi kuasa’ antara pelaku dan korban, seringkali berdampak pada penyelesaian kasus yang cenderung sia-sia, dan berhenti begitu saja tanpa ada kejelasan.

Belum lagi dengan stigma masyarakat yang kerap melabeli korban kekerasan seksual, lewat berbagai macam kosa kata yang membuat batin tersiksa. Hal ini berbanding 180 derajat dengan pelaku yang justru merasa bebas dan tidak berdosa, sebab tidak ada konsekuensi atas perbuatan bejatnya.

Ibarat kata sebuah penyakit, kekerasan seksual akan selalu siap sedia menyerang siapapun, tanpa mengenal tempat, waktu, latar belakang. hingga gender sekalipun. Akan tetapi, mengapa salah satu bentuk kejahatan ini cenderung menyerang kaum hawa? Farin menuturkan, hal ini tidak terlepas dari sejarah budaya Patriarki dimana perempuan dijuluki sebagai The Second Sex, atau dengan kata lain laki-laki paling dinomorsatukan daripada perempuan.
“Dengan adanya dominasi ini, laki-laki dituntut untuk mengeksploitasi dan menindas perempuan bahkan sekalipun dengan kekerasan,” ujar Farin.

Menyinggung pernyataan BEM Faperta maupun RadioMU, baik Benny maupun Farin begitu mengapresiasi terhadap pemberian sikap dan sanksi tegas terhadap mahasiswa yang terlibat dalam tindak kekerasan seksual. Lebih lanjut, Benny berharap agar kedepannya setiap Ormawa, baik itu BEM, UKM, dan lain sebagainya mempunyai semacam safety net berupa SOP internal yang mengatur setiap anggotanya tidak melanggar kode etik, value organisasi, termasuk soal kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap sesama anggota maupun mahasiswa Unpad. Entah akan berstatus sebagai pelaku maupun korban, Ormawa tentunya mempunyai sikap tegas dan tidak menganggap hal ini sebagai aib.

“Bagi Ormawa-Ormawa lainnya, Kema Unpad menunggu ketegasan kalian terkait pemberantasan kekerasan seksual. Bahkan, jika pemimpin organisasi terbukti terlibat, Ormawa wajib bersikap tegas memecat pelaku dan melindungi korban,” tambah Benny.

“Kami (BEM Kema Unpad) semua sepakat bahwa pelaku kekerasan seksual, harus mendapat ganjaran setimpal atas perlakuannya,” ujar Farin terkait dengan sanksi yang diberikan BEM KMFP dan RadioMU terhadap pelaku.

Realisasi yang Ngawang-Ngawang

Maraknya aksi kekerasan maupun pelecehan seksual di berbagai perguruan tinggi, membuat hati Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) terenyuh dan langsung tancap gas menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Sontak hal ini langsung mendapat respon positif dari berbagai masyarakat yang telah lama menanti akan pemberantasan tindak kekerasan seksual oleh pemerintah, termasuk oleh BEM Kema Unpad itu sendiri. Farin pun mengungkapkan, lahirnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 juga menjadi titik terang bagi penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Menanggapi lahirnya Permendikbud tersebut, Universitas Padjadjaran langsung mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 41 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan  Unpad. Meski demikian, aturan hanyalah akan menjadi sebuah goresan tinta diatas kertas putih, jika tak ada satupun tindakan nyata lahir dari aturan yang telah disepakati. Berbicara akan hal ini, Benny dan Farin mengungkapkan, bahwa realisasi Peraturan Rektor Nomor 41 Tahun 2021 jauh dari kata sempurna.

“Mulai dari Pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Satuan Tugas PPKS Unpad saja sudah bermasalah, ada beberapa hal dalam aturan tidak dijalankan, seperti tingkat keterwakilan gender, transparansi, hingga minimnya keterlibatan publik,” ujar Benny.

“Pansel Satgas PPKS Unpad saja sudah ada kesalahan, baik dari segi prosedural maupun pembentukan satgas itu sendiri. Masalah di dalam Pansel, bikin pemilihan satgas jadi terhambat, sehingga langkah penanganan oleh Unpad sesuai Peraturan Rektor nggak bisa dilakuin,” ujar Farin.

Lebih lanjut Benny mengatakan, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Perguruan Tinggi sebetulnya sudah menjadi satu bentuk awareness pemerintah menyikapi fenomena kekerasan seksual di kampus, tinggal bagaimana aturan tersebut perlu dijalankan serentak oleh seluruh universitas di Tanah Air. Oleh sebab itu, political will sangat penting dijalankan bagi universitas agar kekerasan seksual bisa segera diberantas. Tidak ketinggalan pula, peran mahasiswa terutama Keluarga Mahasiswa (Kema) Unpad, mengawal dan memperhatikan betul jalannya realisasi suatu kebijakan, termasuk soal pemberantasan kekerasan seksual.

“Ketika publik (mahasiswa) mempermasalahkan, menurutku bagus, sebab artinya mereka aware dan mengawal betul realisasi suatu kebijakan, jika memang ditemukan adanya masalah,” ungkap Benny.

Mari Wujudkan ‘Rumah (yang) Aman

Ada satu pepatah lama mengatakan, “Keledai saja tak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali,” artinya sebodoh-bodohnya seseorang, tentu tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Jika kita kaitkan dengan langkah seluruh elemen universitas mewujudkan ‘rumah aman’, tentu fenomena kekerasan seksual sudah sepatutnya diredam semaksimal mungkin, agar tiada lagi mereka-mereka yang menjadi sasaran. Terungkapnya kasus di Faperta dan RadioMU, pastinya akan menjadi sinyal pertanda bagi peran mahasiswa dalam memerangi perbuatan biadab ini. Apalagi kekerasan seksual merupakan fenomena yang bisa menjerat siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa mengenal batas.

Setidaknya, terdapat tiga pilar utama dalam mewujudkan lingkungan perguruan tinggi menjadi ‘rumah aman’ bagi mahasiswa ala Benny. Pertama. kampus wajib memiliki political will dalam menyelesaikan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual yang melibatkan anggota keluarganya, mulai dari dosen hingga mahasiswa. Menurut Benny, mereka wajib untuk bersikap tegas dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual hingga tuntas, bersikap transparan alias tidak ada yang ditutup-tutupi, serta memperjuangkan keadilan dan perlindungan penuh bagi korban.

“Ketika jadi kasus dan dibuka ke publik, selesaikan sampai beres. Itu akan jadi suatu preseden yang baik untuk kampus, ketika mereka berani tegas terhadap isu ini. Sehingga perlu diimplementasikan secara tegas dan partisipatif dari berbagai pihak,” tambahnya.

Kedua, Ormawa atau Organisasi Mahasiswa. Dalam hal ini, Ormawa mungkin saja berpotensi menjadi akar timbulnya kekerasan seksual karena mahasiswa saling bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam wadah yang sama. Benny menekankan bagi Ormawa agar mempunyai sikap tegas, setidaknya untuk meminimalisir potensi itu terjadi, entah melalui SOP bagi internal organisasi ataupun pemberian edukasi lainnya secara lebih intensif. Terakhir, mahasiswa wajib memiliki awareness penuh akan kekerasan seksual, mulai dari mengenal bentuk tindakan, apa yang harus dilakukan, serta cara untuk mencegah hal ini kembali terulang.

“Ketika tiga elemen bisa menerapkan dan mengimplementasikan dengan tegas dan continuous, Unpad akan menjadi ‘rumah aman’ sekalipun ini butuh proses,” pangkasnya.

BEM Kema Unpad sadar betul, jika Unpad belum sepenuhnya menjadi ‘rumah aman’ bagi mahasiswa terhindar dari segala bentuk kekerasan seksual. Akan tetapi, Farin bersama rekan-rekan lainnya di BEM Kema Unpad tengah bergerak bersama dalam satu tujuan mewujudkan Padjadjaran menjadi ruang aman dari tindakan kekerasan seksual. Melalui akun Instagram resmi @bem.unpad, BEM Kema Unpad menyerukan tagar #JAGAKITAUNTUKKITA dan #WUJUDKANPADJADJARANRUANGAMAN sebagai bentuk solidaritas bersama antar warga Unpad di media sosial demi mewujudkan Unpad ‘rumah aman’ bagi mahasiswa, terutama mereka para penyintas kekerasan seksual.

Bukan hanya itu saja, BEM Kema Unpad juga membuka kanal pengaduan bagi mahasiswa yang mencakup pula kekerasan seksual, bernama “Padjadjaran Crisis Center.” Farin menuturkan, mekanisme pelaporan kepada Padjadjaran Crisis Center dapat dilakukan pertama kali melalui formulir awal secara daring. Ketika pengaduan tersebut sudah dihimpun, Tim Khusus Advokasi dan Pelayanan Mahasiswa (Adkesma) BEM Kema Unpad akan melakukan pendampingan, berkoordinasi dengan pihak terkait dan nantinya dilakukan advokasi hingga tuntas.

Aksi ‘kejahatan’ seksual, baik itu kekerasan maupun pelecehan sudah sepatutnya menjadi concern seluruh masyarakat, bahwa lingkungan kita berada dalam situasi darurat. Kekerasan dan pelecehan seksual yang semakin merambah masuk ke dalam dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, seharusnya menjadi perhatian seluruh pihak mulai dari mahasiswa, dosen, hingga kampus untuk bisa lebih bersikap empati. Layaknya Teori Gunung Es, kasus kekerasan seksual di lingkungan Faperta dan RadioMU hanyalah secuil masalah dari berbagai kasus kekerasan seksual yang hingga kini belum terungkap. Kita tidak tahu, kapan fenomena ini akan kembali singgah dan memangsa mereka yang tak berdaya, namun setidaknya ‘rumah aman’ bagi mahasiswa adalah suatu keharusan agar tidak ada lagi siapapun itu yang terluka.


Penulis : David Kristian Irawan
Editor : Nur Aini Rasyid
Designer : Btari Gaia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *