Indonesia Negara dengan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

(*Syarat dan Ketentuan Berlaku)

Sebagai negara demokrasi, Indonesia mengakui hak kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk setiap warga negaranya. Hal itu diatur dalam konstitusi nasional, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” dan Pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Terlepas dari jaminan atas hak kebebasan berpendapat di mata hukum, ada beberapa hal yang tetap perlu diperhatikan dalam berpendapat, yaitu syarat dan ketentuan yang berlaku untuk kita sejak lama dan yang baru muncul.

Batasan dalam Hak Kebebasan Berpendapat

Bagaimanapun, kebebasan berpendapat sebenarnya bukan suatu hak yang bisa diterapkan secara bebas tanpa batas. Dalam menggunakan hak berpendapat haruslah tetap menghormati hak dan kebebasan orang lain. Selain itu, batasan dalam kebebasan berpendapat di Indonesia diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

UU ITE dan Pasal-Pasal Multitafsirnya

Indonesia yang kini dipimpin oleh Jokowi juga telah mewarisi produk hukum dari zaman SBY yang bisa menjadi syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan sebelum berpendapat di ranah digital, yaitu UU ITE. Malahan, sangat perlu untuk diperhatikan karena UU ITE kerap disalahgunakan untuk mengkriminalisasi mereka yang berpendapat. Berdasarkan data dari Amnesti International Indonesia (AII), setidaknya terdapat 119 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE sepanjang 2020, yang juga merupakan jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.

Sektor jurnalistik menjadi salah satu korban dari pasal-pasal karet UU ITE. Berdasarkan laporan dari LBH Pers, terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis sepanjang tahun 2020, delapan di antaranya berkaitan dengan pasal-pasal karet UU ITE. Lima kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan tiga kasus lainnya menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian. Pada implementasinya, penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) diartikan secara luas dan tidak merujuk pada batasan dan pengecualian yang diatur dalam Pasal 310-311 KUHP, yang mana aduan hanya dapat diproses dari pihak korban langsung. Selain itu, penghinaan tidak boleh diserang jika dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri. Konten jurnalistik tentunya meliputi aspek kepentingan umum sehingga tidak seharusnya bisa dijerat oleh pasal ini dan digunakan untuk mengkriminalisasi karya jurnalistik. Jeratan pasal-pasal karet dan berujung pada kriminalisasi yang terjadi di masyarakat telah menjadikan UU ITE sebagai salah satu syarat dan ketentuan berpendapat yang “abu-abu”, tetapi perlu untuk diperhatikan agar bisa meminimalisasi risiko dijerat. 

Bagaimanapun, UU ITE lahir atas niatan baik untuk melindungi masyarakat di medium digital. Namun, pada praktiknya banyak menjatuhkan orang-orang yang menggunakan hak berpendapatnya karena beberapa pasal karet yang terkandung di dalamnya. Atas dasar itu, pemerintah pun akhirnya merevisi pasal-pasal karet dalam UU ITE, yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 36, ditambah satu Pasal 45C. Revisi tersebut dilakukan secara terbatas dan tidak komprehensif. Artinya, masih ada pasal bermasalah lain yang tidak ditinjau ulang.

Kritik terhadap Pemerintah

Syarat dan ketentuan selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan dalam mempraktikkan hak kebebasan berpendapat di Indonesia: jika pendapatnya berupa kritik, jangan kaget kalau akhirnya tidak diterima atau malah merugi. Seperti peristiwa yang cukup ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, yaitu penghapusan mural bergambar wajah yang tampak seperti Jokowi dengan tulisan “404: Not Found” di Tangerang, Banten. Tidak tanggung-tanggung, wujud hak kebebasan berekspresi dalam bentuk kritik sosial tersebut membuat pihak yang menggambar mural sempat diburu oleh aparat. Alasannya, karena pembuat mural dianggap telah melecehkan lambang negara. Namun, mengingat pelajaran PPKN dulu, lambang negara bukanlah presiden, melainkan Pancasila. Adapun beberapa mural lainnya yang bernada mengkritik pemerintah, yaitu mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” dan “Tuhan Aku Lapar” juga telah dihapus oleh aparat. Padahal, mural dan grafiti yang bermuatan kritik terhadap pemerintah adalah bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan melalui seni. Hal itu dijamin dan dilindungi konstitusi, dalam kovenan Sipol, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.  Menurut Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, dilansir dari hukumonline.com, mural tidak dapat dibatasi dan dihapus begitu saja atas dasar konstitusi tersebut. Tanda-tanda tindakan represi dan pembungkaman terhadap masyarakat yang berekspresi jelas terlihat melalui penghapusan dan ancaman kriminalisasi kepada pembuat mural.

Kritikan dari masyarakat untuk pemerintah yang kemudian ditindak oleh aparat bukanlah hal baru di masa pemerintahan Jokowi yang kemarin sempat minta dikritik. Beberapa saat lalu, ketika BEM UI viral dengan ujaran “The King of Lip Service”-nya sebagai kritik yang ditujukan untuk Presiden Jokowi, hal itu diikuti dengan peretasan akun Whatsapp, Telegram, dan Instagram yang terjadi pada beberapa pengurus BEM UI. Selain itu, respons berupa peretasan juga menimpa akun Instagram dan Twitter rumah produksi film dokumenter, yaitu WatchDoc selama akun tersebut memublikasikan tentang informasi dan lokasi nobar film KPK End Game. Kejadian tersebut cukup menggambarkan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia yang memang diakui. Namun, jika isinya berupa kritikan, maka akan ada syarat dan ketentuan tertentu yang dianggap telah kita ingkari, sehingga kerap membuat mereka yang berpendapat dan berekspresi merugi. 

Pada dasarnya, kebebasan berpendapat memang memiliki batasan-batasan tersendiri yang juga telah diatur secara konstitusi. Namun, daftar syarat dan ketentuan dalam berpendapat dan berekspresi di Indonesia sepertinya semakin memanjang, baik secara tertulis maupun tidak. Berkaca dari banyaknya penjeratan menggunakan UU ITE melalui pasal-pasal karetnya yang pernah terjadi, penghapusan atas karya-karya yang mengkritik, hingga tindakan melumpuhkan orang-orang yang mengkritik. Jika terus berlanjut, maka ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia akan menyempit. Jangan sampai syarat dan ketentuan abu-abu membuat orang-orang enggan mengungkap kritik atau opini tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di negara kita.

Referensi:

https://www.suara.com/news/2021/04/07/162431/laporan-aii-hak-berekspresi-dan-berpendapat-di-era-jokowi-semakin-terancam

https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043

https://kabar24.bisnis.com/read/20210613/15/1404809/revisi-terbatas-uu-ite-apakah-sudah-cukup

https://nasional.kompas.com/read/2021/08/19/09520441/penghapusan-mural-antara-sikap-antikritik-dan-instruksi-jokowi-yang-tak?page=all

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210708133818-12-664994/panjang-jejak-para-pengkritik-rezim-korban-represi-digital

http://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2021/01/Ringkasan-Eksekutif-Penelitian-ICJR-LBH-Pers-IJRS-Pandemi-Covid-19-Kebebasan-Pers-dan-Keselamatan-Jurnalis-dalam-Krisis.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt611cbf833aa33/3-alasan-hukum-pembuat-mural-bermuatan-kritik-tidak-dapat-dipidana

Penulis: Ni Made Tasyarani
Editor: Rin Ariana
Desainer: Annisa Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *