GIBRAN DI PUSARAN PEMAKZULAN

Siap-siap untuk duduk di kapsul waktu, kini kita telah kembali ke masa lalu. Gembar-gembor pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI tak serta-merta berhenti di masa pemilihan umum. Forum Purnawiraman Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyerukan delapan tuntutan, termasuk tuntutan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka selaku wakil presiden RI. Seruan ini bagai sirine darurat yang mengingatkan akan kembalinya bayang-bayang Orde Baru.

Delapan tuntutan FPP TNI meliputi;

  1. Kembali ke UUD 1945 asli sebagai dasar tata hukum politik dan pemerintahan,
  2. Dukungan terhadap program Kabinet Merah Putih (Asta Cita), kecuali terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN),
  3. Pemberhentian Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti PIK 2 dan Rempang,
  4. Penolakan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina dan agar seluruh TKA dipulangkan,
  5. Penertiban pengelolaan tambang yang tidak sesuai dengan Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945,
  6. Reshuffle menteri yang terindikasi korupsi, pmutuhan hubungan dengan aaparat yang loyal dengan kepentingan Presiden RI ke-7,
  7. Pengembalian fungsi Polri dalam urusan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di bawah Kemendagri,
  8. Pergantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akibat keputusan MK yang dinilai melanggar hukum dan etika peradilan.

Ternyata, Reformasi hanya nama yang digunakan sebagai topeng muslihat Orde Baru ya? Selayaknya sistem yang sudah dilanggengkan sejak beribu-ribu abad yang lalu, tuntutan yang disampaikan oleh TNI justru dikesampingkan oleh DPR. Terutama tuntutan terkait pemakzulan Gibran. Seperti yang dikutip dari Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah (Tempo.co) bahwa surat FPP TNI terkait tutuntan pemakzulan Gibran tidak dapat segera diproses. Menurutnya isu ini tidak memiliki kepentingan mendesak. 

Kalau respon MPR bagaimana ya? Oh, sama saja! Respon template bahwa tuntunan ini tidak penting untuk dibahas. Mudah  ditebak sekali ya gerak-geriknya? Manusia memang selalu banyak alasan, mereka menganggap sepele hal ini. Toh, rakyat Indonesia akan selalu memaafkan bukan?

Ya, rakyat Indonesia ini memang gampang memaafkan. Mudah luluh dengan goyangan gemoy mantan penjahat HAM. Kalau penjahat HAM saja dipuja-puja, bagaimana dengan nepotisme? Sudahlah, jangan harap sorotannya akan melebar ke segala penjuru negeri. DPR dan MPR saja ogah-ogahan dalam menganggapi hal ini. Negeri ini sudah diambang batas kematian. 

FPP TNI saja enggan didengar. Padahal, mereka mengkritisi proses pencalonan putra sulung Joko Widodo yang cacat hukum. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, dibuat khusus untuknya—anak manja yang hanya bergelayut di ranting kekuasaan bapaknya. FPP TNI juga mempertanyakan kelayakan Gibran dalam memimpin negara, secara ia baru 2 tahun menjabat sebagai Wali Kota Solo (Media Indonesia). Lautan kontroversi yang telah dihasilkan olehnya juga menjadi penguat bahwa dirinya layak untuk dimakzulkan.

Berbagai pakar hukum menganggap tuntutan FPP TNI terkait pemakzulan Gibran lewat meja DPR dan MPR memang sudah sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Namun, Peneliti Politik dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar (Tempo.co) tidak yakin bahwa pemakzulan ini akan berjalan dengan lancar. Lantaran kursi DPR masih banyak diduduki oleh partai pendukung Prabowo – Gibran. Tidak lain dan tidak bukan, KIM Plus.

Seperti yang disampaikan oleh Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar (Media Indonesia) pemakzulan memang sudah sesuai dengan mekanisme konstitusional. Hal ini sejalan dengan konstitusi Indonesia yang menganut sistem presidensial, sesuai dengan pasal 7A UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. 

Surat yang disampaikan oleh FPP TNI ini dianggap sudah menembus dasar konstitusional yang kuat. Menurut Hadjar, tak hanya mendasar pada pasal 7A, mereka juga sudah menaati pasal 7B UUD 1945, TAP MPR Nomor XI (1998) serta undang-undang khususnya menyangkut Mahkamah Konstitusi.

Bagaimana nasib Gibran dalam ruang DPR dan MPR? Mungkinkah kelanjutan tuntutan pemakzulan putra sulung tersayang Jokowi ini akan menjadi isu belaka yang terbengkalai? Atau mungkin akan banyak fakta yang terkuak dari tuntutan FPP TNI ini?Pemakzulan Gibran ini sejatinya tidak sederhana. Banyak polemik yang dihadapi, mulai dari konstitusi hingga permainan politik. Belum lagi kursi DPR dan MPR mayoritas diisi oleh partai pendukung Gibran. Surat FPP TNI ini perlu banyak dukungan dan dasar hukum yang kuat apabila ingin benar-benar disahkan. Tuntutan ini dapat terlaksana sekaligus dengan pergantian ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden. Perlu adanya dukungan koalisi dan organisasi lain yang dapat mengalahkan kekuatan KIM Plus di kursi DPR dan MPR. Jika mereka semua adalah pemuja Gibran, ya tidak akan ada hasilnya bukan?.

Penulis: Maulida Hasna Haniifa

Editor: Raismawati Alifah Sanda 

Desainer: Naraya Raissa Aqila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *