Mahasiswa dari segala universitas serentak demo turun ke jalan pada Rabu (8/10) kemarin. Demi menyampaikan aspirasi mereka, kepentingan apapun tak lagi dihiraukan mengingat geram sudah terasa sampai ke pangkal leher. Mereka bersatu menjalankan aksi demi sesuatu yang dinamakan keadilan.
Namun, siapa sangka kalau demo yang terkesan serius ternyata masih menyimpan beberapa hal unik dan jauh dari konteksnya. Mungkin benar nyatanya kalau kunci hidup dari generasi Z adalah “semua hal bisa dibuat asyik.” Selama masih tahu tempat sih gak masalah. Asalkan jangan sampai kebablasan dan malah terkesan menyepelekan arti demo tersebut.
Demo memang bisa dibuat seru. Membawa poster-poster bernuansa humor sepeti tahun-tahun lalu, misalnya. Eh, tapi ternyata demo tahun ini bisa dibuat lebih unik. Bukan orasi, apalagi diskusi, tapi langsung main Tiktok! Seperti video yang dilansir dari salah satu akun Tiktok, nampak lima mahasiswi lagi asyik joget di tengah kerumunan massa. Tak lupa pula lagunya yang disesuaikan dengan suasana demo.
Heran juga kenapa mbak-mbak mahasiswi ini masih sempat buka aplikasi Tiktok di tengah panas dan desak kerumunan. Eits tapi ingat, namanya juga generasi Z, yang katanya semua bisa dibawa asyik. Panas dan gas air mata tidak menghalangi mereka karena yang terpenting videonya jadi dulu. Lumayan, sekalian pamer sama yang nonton di rumah.
Apa mungkin budaya Tiktok-an di tengah demo ini masih akan terus berlanjut? Jangan-jangan generasi anak cucu nanti, demonya bukan lagi pakai spanduk sambil teriak-teriak, tinggal buat flash mob aja. Siapa tau yang diprotes bisa ikut joget juga, kan?
Ajang Cari Jodoh
Ternyata enggak cuman Tiktok, demo Omnibus Law kemarin juga bisa jadi ajang buat Tinder-an. Lah kok bisa? Bisa dong! Namanya juga anak muda, jomblo, desperate lagi. Semual hal bisa diambil kesempatannya. Inget, pamali buat sia-siain rejeki! Ada yang bantuin karena keinjek massa? Ah, dia pasti naksir deh! Cowok almamater hitam itu kasih minum karena masih punya hati? Ih, gemas banget! Besok mau langsung nikah di mana ya?
Please deh, mas dan mbak, ini tuh demo, bukan konser Tulus.
Ternyata emang bener banget sih kalau demo Omnibus Law ini ternyata ditunggangi. Bukan sama provokator lagi, tapi sama oknum cari jodoh dan “rahim anget”. Kalau alasannya kurang fit, janganlah memaksakan diri untuk ikut demo, apalagi sampai merepotkan yang lain. Para mahasiswa yang katanya gemesin itu menolong bukan karena suka, tapi karena masih punya rasa kemanusiaan. Masih merasa manusia kan?
Jangan-jangan, manusia kaum baper ini ternyata perlahan bisa membuat esensi dari demo bergeser. Lama-lama demo bukan lagi ajang untuk menyampaikan aspirasi. Namun, jadi tempat untuk jatuh hati. Celingak-celinguk sambil bawa poster sambil bilang, “aduh mana ya pangeran berkuda almet biru yang siap menolong?”
Ingat kalau berdemo itu memiliki tujuan yang satu, yaitu sebuah keadilan bagi masyarakat Indonesia. Kalau datang ikut demo cuman untuk eksis dan cari perhatian sama “mas ganteng” atau “mba cantik” aja, lantas buat apa? Apalagi ditambah belum paham konteks dari demonya pula.
Demo Butuh Apa?
Para pendemo memang tak harus mengerti penuh isi yang didemokan secara komprehensif. Mengingat ada banyak sekali bahannya yang bisa memakan waktu sehari semalam (bahkan lebih). Namun, bukan berarti menutup kemungkinan untuk tahu. Lagipula infografis dan informasi-informasi ringkas lainnya yang beredar di internet bisa banget kok untuk ditelusuri.
Asalkan niat, enggak ada halangan kok untuk mencari ilmu demi memperkaya diri. Apalagi katanya demo adalah ajang untuk menyampaikan aspirasi. Nanti bisa-bisa jadi pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” karena malas menelaah bacaan berisi. Mengingat demo bukan cuman soal modal berani. Jangan sampai terlanjur sudah turun ke jalan tapi masih pula bertanya
“Mosi siapa? Kok tidak percaya sih?”
“Waduh, mana saya tahu. Saya kan maba.”
Penulis: Ghina Athaya
Editor: Ridzky Rangga Pradana
Jangan lupa baca artikel “dangkal” kami yang lain, ya!