Daendels dan Tragedi Genosida Pembangunan Jalan Raya

Indonesia lahir dari sejarah panjang suatu bangsa yang sering diperbudak oleh bangsa asing. Salah satu peristiwa kerja paksa yang terjadi di Pulau Jawa adalah pembangunan jalan sepanjang 1000 km yang membentang dari Anyer sampai Panarukan. Dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya Ananta Toer menyegarkan kembali ingatan bangsa kita tentang kejamnya bangsa Belanda dan pejabat pribumi dalam mengeksploitasi masyarakat kecil dalam memperlancar agenda besar lalu lintas ekonomi kolonial di Pulau Jawa.

Dengan menggunakan gaya sastra perjalanan, Pramoedya Ananta Toer menceritakan peristiwa dari daerah ke daerah yang dilewati Jalan Raya Pos, atau yang lebih dikenal dengan Jalan Daendels. Setiap daerah yang di dalamnya mempunyai kisah pilunya masing-masing dirakit dengan pengalaman tokoh utama. Dalam novel aku sebagai tokoh utama diceritakan mempunyai pengalaman mulai dari tinggal, mengunjungi, atau sekadar melewati desa, kota, atau kabupaten yang dilewati Jalan Raya Pos.

Dalam novel ini Pramoedya Ananta Toer tidak sekadar menarik sejarah dari masanya hingga tahun dibangunnya Jalan Pos tersebut di era Belanda atau era datangnya negara kolonial lain seperti Portugis dan Spanyol. Lebih jauh lagi ia menelusuri sejarah kekuasaan di suatu daerah hingga ke masa munculnya kerajaan-kerajaan kuno di dalamnya.

Dari data-data rigid dan detail setting yang ada dalam buku ini tampak sekali kualitas tulisan Pramoedya Ananta Toer yang tak pernah lepas dari riset sejarah politik dan budaya yang sangat mendalam. Dengan membaca bab demi babnya kita seolah melihat fragmen-fragmen sejarah yang tidak ada dalam buku sejarah yang kita lahap dalam sekolah. Hal itulah yang membuat saya sering mendapati hal-hal baru yang menyebabkan saya mengalami momen “Oh ternyata begitu ya” di setiap babnya. 

Sesuatu yang tampak ‘baru’ ini kadang diucapkan dalam hati oleh pemeran utama dengan kalimat gusar.

“Pulau Sangiang yang terletak di tengah-tengah Selat Sunda oleh Belanda dinamai Dwars in den Weg Eiland (Pulau Melintang di Tengah Jalan). Tapi nama ini tidak pernah hidup dalam bahasa maupun geografi Indonesia. Suatu keluarbiasaan”.

Ketika pasukan Kesultanan Banten terdesak oleh serangan tentara Belanda, mereka akan menyeberang ke Pulau Sangiang dengan perahu-perahu kecil untuk bertahan atau langsung ke Lampung untuk meneruskan perjuangan di sana. Pada masa itu lampung masih wilayah Kesultanan Banten. Suatu fakta sejarah yang amat penting sehingga sangat aneh mengapa tidak masuk dalam buku sejarah Indonesia. Wajar jika tokoh utama tampak gusar dan menganggap fakta ini ‘luar biasa’.

Gebrakan Daendels

Herman Wilem Daendels (1762-1818) adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808. Daendels ditugaskan oleh raja Belanda Lodewijk Napoleon (adik Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte) untuk menyelamatkan Jawa, satu-satunya pulau besar yang belum dikuasai Inggris yang waktu itu sangat unggul di wilayah kelautan.

Daendels mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808 dan mendapati jalanan di Jawa sangat buruk sehingga butuh waktu 4 hari naik kereta dari Anyer ke Jakarta dan ketika hujan tidak dapat dilalui. Dari Semarang ke Bandung juga membutuhkan waktu 10 hari. Hal itulah yang membuatnya berpikir untuk melanjutkan pembangunan jalan tersebut ke arah timur.

Untuk mempermulus idenya itu Daendels hanya menulis ke pemerintah Belanda untuk memperbaiki 150 km jalan dari Cisarua ke Karang Sembung. Sementara 850 km ‘sisanya’ ia perintahkan kepada aparat pemerintahan dalam negeri Jawa untuk mengerahkan pekerja rodi. Pada awalnya Sutan Banten Abdul Nasar mengirimkan 1500 pekerja yang hampir semuanya mati akibat beratnya beban kerja dan penyakit malaria. Tak mau ambil pusing, Daendels bersikeras untuk memerintah kerajaan Banten untuk menyiapkan 1000 pekerja setiap harinya.

Pembangunan jalan pos terkadang melewati medan yang sulit ditembus. Sebagai contoh di daerah Ciherang, Jawa Barat, pekerja harus menatah pegunungan karang dengan peralatan sederhana seperti kapak. Kerja paksa pembuatan jalan itu sendiri berjalan selama satu tahun yang menyebabkan kematian ribuan masyarakat dari berbagai daerah baik itu karena bekerja atau dibunuh karena memberontak.

Genosida

Dalam novel ini Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa pembangunan Jalan Raya Pos adalah salah satu genosida tidak langsung. Data resmi dari pemerintah Belanda awalnya menyebutkan buruh kerja paksa pembangunan Jalan Raya Pos yang dipimpin oleh Daendels adalah 5000 jiwa. Namun angka itu direvisi oleh pemerintah Inggris menjadi 12.000. Tentunya angka-angka itu seperti pembulatan tanpa ada bukti akurat sehingga tidak menutup kemungkinan jika korban meninggal jauh lebih besar dari angka-angka itu.

Pramoedya Ananta Toer membandingkan genosida tak langsung itu dengan genosida langsung yang dilakukan Jan Petersz Coen 8-11 Maret 1621 yang menyebabkan Pulau Banda nyaris kosong setelah banyak penduduknya meninggal dan yang selamat melarikan diri ke pulau lainnya. Genosida yang tak kalah kejam lainnya pernah terjadi di Jepara pada tahun 1619. Armada VOC yang membakar separuh kota Jepara dalam perjalanannya dari Maluku ke Batavia. Tidak ada catatan akurat juga berapa korban jiwa yang jatuh dalam peristiwa tersebut.

Genosida tak langsung kembali terjadi ketika Gubernur Jendral Van Den Bosch menjalankan sistem tanam paksa untuk menelangi kerugian Hindia Belanda dalam perang Jawa. Dalam usaha membiayai kepentingan penjajah itu, ribuan petani Jawa mati karena tak sempat menggarap sawahnya sendiri, yang membuat keluarga mereka juga ikut mati kelaparan karenanya.

Memasuki abad ke 20 genosida kembali terjadi pada masa pendudukan Jepang yaitu terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1942-1945 dan sekali lagi dilakukan oleh pemerintah Belanda di Sulawesi Selatan pada tahun 1947. Uniknya Pramoedya Ananta Toer juga memasukkan genosida yang dilakukan bangsa Indonesia kepada bangsanya sendiri yang terjadi di tahun 1965.

Kekejaman Feodal

Selain menguak tentang kekejaman bangsa Belanda dalam mengeksploitasi tenaga manusia, novel ini juga menelanjangi kekejaman feodal pribumi dalam memperlakukan masyarakat di sekitarnya. Hal itu juga pada akhirnya menguak praktik korupsi yang merupakan persekongkolan antara pejabat Eropa dan kaum feodal Pribumi yang mungkin dilakukan dengan lebih parah oleh feodal Pribumi karena belum ada hukum yang mengaturnya.

“Korupsi memang tindak kejahatan menurut hukum pidana Eropa. Celakanya tidak demikian bagi para penguasa Pribumi. Setiap orang dalam tata-susun feodal pribumi yang vertikal itu merasa berhak mendapatkan upeti dari bawahannya, jadi bukan suatu kejahatan”

Praktik korupsi seperti inilah yang mengakibatkan buruh kerja paksa yang dipekerjakan untuk membangun Jalan Pos banyak yang mati. Dana dari pemerintah kolonial Belanda yang dialokasikan untuk konsumsi para pekerja dikorupsi untuk kepentingan pribadi. Hal itu membuat pekerja banyak yang kelaparan karena makanan mereka tidak mencukupi baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga banyak dari mereka yang mati kelaparan. Dari praktik korupsi seperti ini kita bisa.

Dari temuan tersebut tentulah kita sebagai pembaca akan dengan mudah menarik garis merah praktik korupsi yang terjadi di lingkungan pejabat di era kolonial dengan pejabat di era sekarang. Sebuah kemiripan pola yang terulang dan terwariskan seolah kutukan abadi. Sebuah penyakit lama yang mengakar sejak era kolonial ini terus menghantui bangsa kita dan tentu saja korbannya adalah rakyat kecil yang namanya tak akan dicatat dalam sejarah.

“Tidak kurang bengisnya adalah genosida sepanjang sejarah feodal Pribumi sendiri. Kalau yang tewas dari kasta satria mungkin namanya bisa masuk dalam babad. Tetapi bila yang dibantai rakyat kecil, petani, nama mereka akan hapus untuk selama-lamanya”

Judul Buku : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Tahun terbit : 2008

Jumlah halaman : 145

Penulis : Kukuh Basuki
Editor : David Kristian
Desainer : Clarissa Z. R.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *