Artikel ini ditulis untuk mengulas tentang Centang Dua Biru dan Profesionalitas yang dikabarkan memiliki hubungan tertentu. Penasaran? Langsung simak di bawah ini!
Meskipun artikel ini ditempatkan di rubrik opini, saya (selaku penulis) mau menegaskan kalau ulasan hubungan Centang Dua Biru dan Profesionalitas ini ditulis berdasarkan analisis kesaksian sejumlah pihak yang menyaksikan langsung interaksi keduanya. Ya, ada juga opini saya sih. Sedikit-sedikit enggak apa lah ya.
Ceritanya, tempo hari saya membaca suatu artikel media daring yang infografisnya lewat di laman media sosial saya. Judulnya menarik perhatian saya, meskipun enggak kontroversional. Jadilah saya buka artikelnya, baca-baca sekilas. Dari baca sekilas itu saya agak enggak sreg, maka saya memutuskan untuk membaca ulang dari awal, pelan-pelan, sampai selesai.
Artikel itu membahas soal si Centang Dua Biru, salah satu fitur WhatsApp dengan banyak fans juga haters, yang (menurut sang penulis) “menjalin hubungan” dengan Profesionalitas. Saya sendiri sebenarnya agak bingung, karena ketiadaan bukti konkret terkait hubungan keduanya dari artikel tersebut. Sang penulis awalnya melampirkan sebuah cuitan di akun base Twitter berbasis mahasiswa, di mana terbaca seorang dosen tersinggung dengan fakta bahwa mahasiswanya tidak mengaktifkan tanda terbaca alias Centang Dua Biru. Setelah itu, sang penulis juga menceritakan pengalaman temannya yang terganggu dengan notifikasi di ponsel. Saya ulangi, temannya terganggu dengan notifikasi di ponsel. Iya, agak lucu, sang penulis tidak menyebutkan soal Centang Dua Biru dalam cerita temannya itu, melainkan fokus pada ‘notifikasi yang menganggu’. Di akhir artikel, penulis memberikan semacam kesimpulan. Menurutnya, dalam dunia profesional, setiap individu tidak bisa memedulikan kepentingan dirinya sendiri saja. Komunikasi menjadi sangat penting, sehingga mengaktifkan Centang Dua Biru menjadi langkah minimal untuk menghormati orang lain.
Ada yang merasa janggal?
Saya pribadi merasa janggal dengan kehadiran kata “menghormati” dalam kesimpulan tersebut. Apakah hormat-menghormati termasuk bentuk profesionalitas? Hmm….
Namun, saya enggak berencana membahas hal itu lebih lanjut. Sebagai pengguna WhatsApp, saya ingin mencoba mengulik sudut pandang lain. Barangkali, penulis artikel sebelah itu “memergoki” Centang Dua Biru dan Profesionalitas dari sisi yang kurang jelas, jadi hasil paparazinya sedikit buram. Tidak masalah, tangan saya juga suka tremor saat sedang ambil gambar.
Kalau sepemahaman, sepengamatan, dan sepengalaman saya sendiri, komunikasi profesional (baik langsung maupun tidak langsung) lebih efektif jika diukur dari interaksi. Interaksi di sini bisa berupa bahasa yang digunakan, durasi balas, bagaimana memperlakukan dan diperlakukan oleh lawan bicara, dan sebagainya. Dari interaksi tersebut akan lebih mudah ditarik kesimpulan tentang aksesoris Profesionalitas; skala prioritas. Pun, dari interaksi, akan terlihat sifat lawan bicara yang kemudian bisa dijadikan tolok ukur Profesionalitas.
Sepertinya kurang afdol kalau saya enggak mengambil contoh kasus.
Contoh kasus pertama saya ambil dari pengalaman pribadi. Tiga tahun lalu, saya mendapat keharusan untuk menghubungi seseorang secara profesional—dia dengan profesinya dan saya dengan kebutuhan saya akan jasa profesinya. Awalnya, saya menghubungi orang tersebut melalui media sosial Instagram. Namun, orang tersebut tidak kunjung membaca apalagi membalas pesan saya. Setelah menunggu berhari-hari, saya sudah bersiap mencari orang lain. Mudah bagi saya untuk berkesimpulan bahwa orang tersebut tidak bisa saya ajak kerja sama. Apapun alasannya tidak membalas pesan saya—entah sibuk, tidak berminat, atau yang lainnya—kenyataan bahwa dia tidak bisa saya hubungi secara cepat jelas membuatnya harus dicoret dari daftar orang yang akan diajak bekerja sama. Namun, ternyata teman saya bersikeras untuk bekerja sama dengan orang itu, dan memberikan saya kontak WhatsApp orang tersebut.
Singkat cerita, saya akhirnya berkomunikasi dengan orang tersebut melalui WhatsApp (puji Tuhan, akhirnya dibalas). Selain Centang Dua Biru yang legendaris ini, WhatsApp juga menyajikan status yang memberitahu pengguna kapan terakhir kali lawan bicara kita membuka aplikasi, alias Last Seen. Nah, selama berkomunikasi dengan orang ini, saya sering mendapati pesan saya dianggurin. Dari Last Seen-nya, saya tahu dia membuka aplikasi WhatsApp berjam-jam setelah saya mengirimkan pesan. Namun, pesan saya tidak kunjung dibalas. Setelah dibalas pun, orang itu tidak memberikan alasan apapun terkait keterlambatannya yang sangat terlambat dalam membalas pesan saya. Sedih, sedikit. Akan tetapi, dari situ saya jadi tahu, posisi saya di skala prioritasnya. Saya jadi tahu, apakah orang ini menganggap penting kerja sama dengan saya.
Contoh kasus lain saya ambil dari pengalaman teman saya. Ceritanya dia ini memang mengaktifkan Centang Dua Biru. Namun ternyata, fitur legendaris itu disalahgunakan oleh sebagian orang. Teman saya mengaku sering diteror untuk membalas pesan menyangkut Profesionalitas sebagai anggota organisasi di waktu yang tidak seharusnya. Lebih spesifik, di waktu istirahatnya. Kalau saja pesan itu penting, mungkin teman saya ini bisa menolerir kedok Profesionalitas itu. Namun nyatanya tidak. Pesan menyangkut Profesionalitas sebagai anggota organisasi yang dia dapat memiliki skala urgensi yang terlalu rendah untuk disampaikan di waktu istirahat. Jelas, ini menjadi gangguan yang nyata baginya.
“Kalau begitu ya jangan dibaca, harusnya.”
Ya, maunya juga begitu. Namun, kalau mau berfokus pada topik bahasan, menghubungi di luar jam kerja apalagi sampai menganggu kepentingan pribadi bukannya bisa dikategorikan sebagai bentuk ketiadaan Profesionalitas?
Jadi berdasarkan analisis kesaksian para saksi (iya saksinya cuman dua, saya dan teman saya) yang telah saya kumpulkan, saya menarik kesimpulan sederhana.
Tingkah orang yang saya hubungi secara profesional tempo waktu membuat saya bisa menentukan seberapa profesionalnya orang itu. Pun dengan tingkah rekan organisasi teman saya. Semua itu termasuk ke dalam interaksi, dan kaitannya dengan Centang Dua Biru bisa dikatakan tidak ada.
Haduh, kasihan Centang Dua Biru, digosipin yang enggak-enggak.
Penulis: Lydia Tesa
Editor: Ni Made Tasyarani
Desainer: Ahmad Sidik