Setiap kehidupan seorang anak Adam gak akan lepas dari yang namanya pressure atau tekanan. Tekanan ini bisa datang dari dalam maupun dari luar. Menurut saya, pressure dari dalam disebabkan oleh keinginan yang tidak didukung dengan keadaan. Sedangkan pressure dari luar bisa datang dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, sahabat, tetangga, bahkan pacar.
Pressure atau tekanan sebenarnya bisa dilihat dari level yang berbeda-beda, mulai dari pressure tinggi rendah, menengah maupun tingkat tinggi. Nah, kayak gimana sih pressure sesuai level itu?
Berkaca dari pengalaman saya, pressure tingkat rendah terjadi saat ada ketidaksesuaian antara keinginan dengan keadaan sekitar namun masih dapat diterima oleh diri kita sendiri. Sebagai contoh; ada seorang mahasiswa tingkat awal, sebut saja Kirey. Dia memiliki target IPK akhir kuliah nanti yaitu 3.8 dengan predikat cumlaude kurang dari empat tahun.
Seperjalanan Kirey di bangku kuliah, ia menemui banyak hambatan seperti masalah organisasi, masalah dosen, ataupun masalah percintaan. Lambat laun Kirey merasa ada pressure atas apa yang diinginkannya, namun dalam hal ini Kirey masih bisa menerima pressure tersebut karena hal itu masih dalam konteks positif. Setidaknya Kirey masih bisa mendapat IPK bagus meski tidak sesuai target dan masih bisa lulus tepat waktu.
Selanjutnya, naik satu tingkatan jenis pressure. Tingkatan kedua, pressure tingkat menengah. Pressure tingkat menengah terjadi saat ada ketidaksesuaian antara keinginan dengan keadaan sekitar. Pada kondisi ini biasanya diri kita sendiri akan menolak untuk menerima keadaan tersebut namun harus tetap menjalani hal itu.
Sebagai contoh, saat pandemi ini, Kirey diwajibkan melakukan PJJ atau Pembelajaran Jarak Jauh. Saat ini, Kirey sudah bukan lagi mahasiswa tingkat awal. Ia adalah mahasiswa tingkat menengah. Sebagai mahasiswa tingkat menengah, tekanan yang diterima Kirey jadi sangat beragam.
PJJ memang seringkali dikenal sebagai “musuh bagi sebagian orang. Angan-angan akan banyaknya waktu untuk proscrastinate rebahan ataupun santai-santai di rumah saat PJJ adalah sebuah hal yang patut dipertanyakan. Pasalnya, inilah pressure dengan level menengah.
Kirey sang mahasiswa tingkat menengah itu sedang mendapat banyak tugas. Kegiatan organisasinya juga semakin padat. Belum lagi ia juga disibukkan dengan jadwal PJJ yang tak menentu alias sesuka hati dosen. Apakah adil? Well, mungkin sebagian orang akan berkata adil, namun untuk Kirey hal itu tidaklah adil.
Kirey amat tertekan akan PJJ karena apa yang ia ekspektasikan tidak terwujud dan justru malah sebaliknya. Saat Kirey dan teman-temannya menolak melakukan PJJ, apakah hal tersebut memungkinkan? Tentu saja tidak. Melihat wabah yang terjadi saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, meskipun banyaknya pressure akan tugas dan masalah terkait PJJ lainnya, Kirey dan teman-temannya harus tetap menjalani hal itu. Kenapa? Karena itulah cara satu satunya untuk mengubah image tentang pressure menjadi opportunity untuk menantang diri sendiri agar bisa melakukan hal-hal yang out of the box.
Setelah menyelam dalam pressure tingkat menengah, nantinya Kirey akan dihadapi oleh pressure tingkat tinggi. Kenapa disebut tingkat tinggi? Karena pada masanya, Kirey sudah bukan mahasiswa yang berpikiran sebagai seorang mahasiswa, namun ia merupakan mahasiswa yang berpikiran sebagai seorang anak, seorang cucu, dan seorang yang dibanggakan oleh keluarganya. Yap, pressure tingkat tinggi adalah tentang masa depan dan tanggung jawab.
Saat hal itu tiba, Kirey sudah mendapat tekanan dari lingkungannya. Kenapa lingkungan sangat membawa pressure yang besar? Coba bayangkan kamu ada di posisi Kirey dimana kamu dikelilingi orang-orang hebat, juara di banyak lomba, kontribusi di banyak organisasi dan event, magang di tempat-tempat bagus, hingga teman-temannya yang sudah merencanakan karir dan membangun relasi ke sana-sini. Sedangkan Kirey? Bahkan untuk hidup keesokan harinya saja ia masih belum memikirkan.
Belum lagi tentang pertanyaan-pertanyaan masa depan seperti “kemana pacarnya? Kok gak pernah dikenalin ke keluarga?”, “mau kerja dimana? Kerja tuh kantoran biar hidupnya terjamin”, “udah siapin apa aja buat nanti ngelamar di perusahaan X? CV kamu udah penuh?”, dan pertanyaan lainnya yang bahkan di luar logika. Berat memang jika membahas tentang masa depan dan tanggung jawab.
Masa depan yang mana bagi sebagian orang sudah dipikirkan dari sejak lama, namun bagi sebagian lainnya masih berjalan sambil meraba-raba. Demikian juga tentang tanggung jawab. Dimana ada sekelompok orang yang telah berpikir matang tentang tanggung jawab yang hendak ia emban, namun ada pula sebagian lainnya yang hanya sekedar mengambil tanggung jawab tersebut untuk dapat mengukur diri. Apakah hal demikian salah? Tentu saja tidak. Tidak ada yang salah dari sebuah proses.
Pressure tingkat tinggi banyak dialami oleh kebanyakan mahasiswa tingkat akhir. Kenapa? Karena pada masanya nanti, yang dipikirkan bukan hanya tentang lulus dengan IPK berapa dan kerja dimana, namun juga amanat dan tanggung jawab akan kesejahteraan keluarganya kelak yang dipertaruhkan. Pressure ini hanya bisa diselesaikan dengan satu hal, yaitu pemikiran matang.
Kapan sih pemikiran seseorang bisa dibilang matang? Pemikiran matang adalah saat seseorang sudah tidak bertindak berdasarkan kamu, namun berdasarkan logika. Kamu di masa ini sudah tidak mementingkan ego pribadi, namun mempertimbangkan banyak kepentingan yang ada. Kamu di masa ini sudah bukan lagi berpikiran tentang apa yang harus dikerjakan, tetapi berpikir tentang dampak apa yang akan terjadi jika mengerjakan suatu hal.
Apakah itu mudah? Tentu tidak! Maka dari itu hal itu termasuk dalam pressure tingkat tinggi. Setiap orang yang bisa melewati masa-masa tekanan tingkat ini bakal dapet achievement yang keren banget. Penasaran? Nanti kamu juga bakal tahu sendiri saat menghadapinya. Yang terpenting ialah, jangan pernah berhenti berusaha untuk melewati masa-masa dalam pressure. Entah di tingkat mana kamu sekarang, terus lakukan apa yang terbaik menurutmu.
Tenang saja. Kamu tidak sendiri. Semua orang pasti mengalami pressure. Hanya cara menghadapinya yang berbeda.
Penulis: Siti Nur Kholishoh, Kontributor
Editor: Indah Evania Putri