BEM UI Bersuara, BEM Unpad Dibungkam Siapa?

Siang itu, Sang Orator–Bayu Satrio Utomo, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia–berkata dengan lantang perihal ungkapan orang-orang, “Universitas Indonesia ialah miniatur Indonesia”. Di depan gedung rektorat Universitas Indonesia, barisan mahasiswa berjaket kuning menyetujui pernyataan tersebut dengan tak kalah lantang. Bahwa benar, Universitas Indonesia–yang katanya universitas kelas dunia– tengah sakit, layaknya Indonesia saat ini. 

Selasa, 12 Oktober 2021, sekitar 300 mahasiswa berbaris rapi melakukan long march dari FISIP menuju gedung rektorat Universitas Indonesia. Universitas Indonesia yang kerap kali terlihat angkuh dari luar, yang menjadi tempat impian bagi siswa-siswi di Indonesia, terlihat hancur oleh seruan dan poster kekecewaan para mahasiswa yang menghiasi rotunda.

Sang Orator pun berkata, kehadiran dan suara yang mereka keluarkan hari itu berdasar pada keresahan dan kenyataan bahwa mereka memiliki hati nurani. Aksi itu, menurutnya bukanlah aksi yang impulsif, sebab sivitas akademika UI tak lagi mendengar kabar sejak PP Nomor 75 tahun 2021 diterbitkan pada Juli lalu. Mereka telah diajak berputar-putar oleh pihak Rektorat, Kemendikbud, hingga Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Mendatangi rumah mereka adalah pilihan terakhir untuk menyelesaikan sikap bungkam yang dipilih oleh pihak Rektorat Universitas Indonesia. 

Leon Alvinda Putra, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI mengungkapkan bahwa aksi tersebut merupakan puncak dari kemarahan mahasiswa dan dosen terhadap Statuta UI terbaru dan mengharapkan pihak rektor mampu menindaklanjuti aspirasi mereka. 

“Kami sudah berusaha untuk melakukan langkah-langkah seperti mengirimkan surat permohonan penjelasan dan lainnya, tapi tidak digubris oleh Rektorat UI dan Majelis Wali Amanat,” ujar Leon, dalam aksi penolakan Statuta UI (12/10)

Kehadiran mereka merupakan sesuatu yang sudah direncanakan dengan matang dan memiliki tuntutan yang jelas. Seorang juru bicara aksi, Hendry Juvito, mengungkapkan dua tuntutan utama dalam aksi; menuntut pemerintah untuk mencabut PP 75 tahun 2021; dan meminta keterlibatan empat organ (Rektor, MWA, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar) serta partisipasi aktif seluruh sivitas akademika UI dalam proses revisi Statuta UI. 

Mahasiswa Telah Bersuara, Namun, Siapa Pendengarnya?

Universitas Indonesia sempat menjadi sorotan publik pada bulan Juni lalu ketika Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang merupakan salah satu perusahaan BUMN. Berita itu menimbulkan kritik tajam dari masyarakat sebab telah melanggar Pasal 35 C tentang larangan rangkap jabatan pada PP 68 tahun 2013 yang masih berlaku saat itu. Namun, pemerintah justru mengesahkan revisi Statuta UI melalui PP Nomor 75 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa rektor diperbolehkan untuk rangkap jabatan jika jabatan itu bukan direksi.

Pada aksi hari itu, mahasiswa tak bersuara sendirian, beberapa dosen juga ikut menyumbangkan suara mereka. Manneke Budiman misalnya, seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, ia menyatakan bahwa revisi terhadap PP 75 secara nyata mengandung kecacatan dari segi material dan formal. Menurutnya, jika pasal-pasal bermasalah tak direvisi kembali, maka tak ada alasan yang bisa dimengerti secara intelektual dan logika. Kecuali, jika benar bersifat politis. 

“Kalau mau dipaksakan itu akan ada banyak sekali persoalan legalitas sebagai akibatnya. Mengingat pasal-pasalnya itu secara  hukum cacat dan PP itu melanggar 4 UU yang ada di atasnya, termasuk salah satunya UU tentang Pendidikan Tinggi, UU nomor 12 tahun 2012,” Ujar Manneke. (12/10)

Salah satu peserta orasi yang merupakan mahasiswa FISIP Universitas Indonesia, Sugi Hartono, pun menyatakan penolakannya pada Statuta UI terbaru. Ia juga mengharapkan agar pihak rektorat dan pemerintah segera merevisi kembali peraturan tersebut. 

“Prosesnya nggak transparan, tiba-tiba jadi gitu. Terus hasilnya banyak yang gak memuaskan, salah satunya yang rektor boleh rektor jabatan di pemerintah. Kalau rangkap jabatan gitu, kasarnya bakal ada konflik peran, jadi menurutku ini urgent banget,” ungkap Sugi.

Selain mempermasalahkan rangkap jabatan, Sugi juga menyinggung soal dihapuskannya kewajiban Universitas Indonesia untuk menerima mahasiswa yang menggunakan beasiswa. 

“Satu lagi soal beasiswa. Tadinya UI tuh ngewajibin 20% mahasiswanya menerima beasiswa. Tapi di statuta yang baru itu diilangin, jadi UI nggak punya kewajiban buat ngasih beasiswa yang mana bakal bikin beasiswa jadi susah. Maunya ini tuh direvisi. Pertama dari UI nya, kedua dari pemerintahnya karena sebenarnya yang ngatur tuh pemerintahnya gitu.” pungkas Sugi.

Namun, sangat disayangkan, orasi yang kian lantang, ungkapan kekecewaan, juga semangat mahasiswa yang tak redup meski matahari telah berada di atas kepala mereka rupanya tak sampai pada telinga Sang Rektor. Seolah sia-sia, hari itu mereka tetap tak mendapat jawaban apapun. Ari Kuncoro, tampak lebih angkuh sebab tak menyambut kedatangan anak-anaknya meski mereka telah meminta izin sejak dua minggu sebelumnya.

Mangkirnya rektor tentu menambah dalam lubang kekecewaan para mahasiswa. Sebab, ketika mereka telah bersuara dan mendatangi rektor mereka di saat pandemi belum sepenuhnya sirna setelah menunggu penjelasan sejak lebih dari tiga bulan lalu, rektor justru meninggalkan mereka.

“Kita ditinggalkan Bapak kita sendiri! Rektor kita sendiri!” ujar seorang orator lain dari mobil komando.

Padahal, menurut Manneke Budiman, sebenarnya masalah ini cukup sepele jika pihak eksekutif kampus mau bertindak.

“Revisi terhadap PP 75 yang sudah ditunjukan secara nyata cacat dari segi material dan formal.  Jadi sebetulnya sepele saja, tinggal kita minta eksekutif review kepada presiden untuk merevisi pasal-pasal bermasalah, maka selesai. Mengingat rancangan PP nya itu sudah ada yang disetujui oleh empat organ,” ungkapnya.

Namun, dari ketidakhadiran rektor pun kita tahu bahwa menolak Statuta UI terbaru tak akan semudah perubahan Statuta itu sendiri, meski empat organ telah membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pada rapat terakhir yang berlangsung pada 26 Juni 2021.

UI Sedang Tidak Baik-Baik Saja, Bagaimana dengan Unpad?

Universitas Padjadjaran (Unpad) rupanya belum menjadi tempat yang sehat bagi mahasiswanya. Menilik dari liputan tentang kekerasan seksual yang telah dilakukan oleh Aliansi Pers Mahasiswa Unpad berjudul Kekerasan Seksual Terhadap Mahasiswa Unpad Merebak, Peraturan Rektor Minim Dampak, kita akan sama-sama mengetahui bahwa lingkungan Unpad belum aman, sebab tak hanya terjadi di luar kampus, kekerasan seksual juga terjadi di lingkungan kampus, termasuk ruang privasi seperti kamar mandi di gedung fakultas. 

Seorang mahasiswi FIB Unpad 2017, menyatakan salah seorang temannya pernah mengalami kekerasan seksual di kampus pada tahun 2019 lalu. Ia menjelaskan bahwa saat itu Kaprodi memberikan tanggapan yang cukup baik, sampai ada pertemuan antara korban dan pelaku. Sayangnya, sanksi yang diberikan kepada pelaku kurang tegas. Ia juga menyatakan bahwa sanksi yang kurang tegas tersebut terjadi karena pelaku memiliki IPK sempurna, sehingga ia merasa Kaprodi terlalu menyayangkan jika pelaku dikeluarkan dari kampus.

Tidak banyak orang yang berani bersuara, tidak banyak orang yang merasa punya tempat untuk bercerita. Selain isu kekerasan seksual yang seringkali dianggap tabu, banyak ditemukannya sikap menghakimi korban, serta hal lain yang menjadi alasan dari rasa takut untuk melapor, rupanya peraturan rektor tentang kekerasan seksual belum banyak diketahui oleh sivitas akademika Unpad. 

Di tengah kecemasan mahasiswa Unpad, hingga trauma yang disimpan para penyintas, kekerasan seksual di lingkungan kampus Unpad rupanya masih belum ditangani dengan baik oleh pihak BEM Unpad maupun rektorat. Padahal, 14 penyintas yang tercatat dalam liputan Aliansi Pers Mahasiswa bukan jumlah yang sedikit, dan sangat mungkin terdapat banyak penyintas lain yang belum terungkap. 

Aliansi Pers Mahasiswa Unpad Angkat Isu Kekerasan Seksual, Sudahkan BEM Unpad Ambil Sikap?

Menurut artikel yang sudah disebutkan sebelumnya, beberapa BEM Fakultas dan Girl Up Unpad akhirnya membuat sebuah akun instagram @aliansiunpadlawanks pada 13 September 2021. Akun tersebut akan digunakan untuk mengadvokasi dan meningkatkan kesadaran terhadap isu kekerasan seksual.

Georgius Benny, salah satu orang yang menginisiasikan terbentuknya akun instagram @aliansiunpadlawanks menjelaskan, BEM fakultas yang ikut menjadi anggota untuk kampanye kekerasan seksual tersebut adalah BEM FISIP, FH, Fapsi, Fkep, Faperta, Fapet, Fmipa, dan Girl Up Unpad.

Benny juga mengungkapkan bahwa Aliansi Kekerasan Seksual ini lahir sebagai gerakan alternatif dari BEM Fakultas dan Girl Up Unpad atas dasar  keresahan terhadap BEM Kema Unpad yang sangat lamban dalam mengadvokasi isu kekerasan seksual di Unpad. Menurutnya, keseriusan BEM Kema dalam isu kekerasan seksual juga patut dipertanyakan.

Sampai saat ini, meskipun isu kekerasan seksual sempat terangkat pada September lalu hingga ramai di twitter @DraftAnakUnpad, rupanya pengawalan BEM Unpad terhadap isu ini masih sangat minim. Benny menuturkan, minimnya pengawalan BEM Unpad terhadap isu kekerasan seksual dapat dilihat langsung melalui akun instagram resmi @bem.unpad yang hampir tak pernah mengangkat isu tersebut. Padahal, kekerasan seksual telah banyak terjadi di lingkungan kampus.

Naufaldy Rizkiansyah, salah satu tim penulisan Aliansi Pers Mahasiswa Unpad saat menulis artikel tentang kekerasan seksual pun mengungkapkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan Unpad sebenarnya cukup banyak, hanya saja belum terungkap. Selaras dengan ungkapan Benny, Faldy juga merasa bahwa BEM Unpad belum memberikan tanggapan apapun.

“Dari BEM sendiri, setau aku belum ada tanggapan mengenai peliputan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Aliansi Pers Mahasiswa Unpad. Kemauan dari pers sih ada feedback dari pihak BEM atau kampus terkait kasus kekerasan seksual ini,” ujar Faldy.

Bagaimana Tanggapan Rektor Terhadap Isu Kekerasan Seksual?

Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus bukanlah suatu kasus baru. Kai (bukan nama asli), seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam  (FMIPA) angkatan 2018, menyatakan isu kekerasan seksual sebenarnya merupakan salah satu kasus yang sudah di-push sejak dulu, sebab kasus ini bukan hanya terjadi satu atau dua kali. Namun, tak dapat dipungkiri, kenyataannya penanganan kasus ini belum cukup baik. 

Sebuah langkah telah diambil oleh pihak rektorat melalui Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Pencegahan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus. Namun, peraturan tersebut agaknya belum cukup untuk penanganan kekerasan seksual yang belakangan ini cukup banyak terjadi di lingkungan kampus. 

Menurut Benny, isu kekerasan seksual sudah cukup sering dibahas dalam audiensi, tetapi tetap perlu pengawalan lebih lanjut demi penanganan yang lebih maksimal.

“Sejauh ini baru mengeluarkan Peraturan Rektor aja, cuma kami rasa juga belum maksimal. Maka dari itu perlu untuk dikawal lebih lanjut,” ungkap Benny.

Pengawalan tersebut juga menjadi salah satu tujuan Benny menginisiasikan terbentuknya @aliansiunpadlawanks

“Salah satu goals-nya adalah untuk merevisi Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 dan juga meminta Rektorat untuk membuat pusat advokasi dan konseling tentang isu kekerasan seksual.” ujar Benny.

Adapun beberapa hal yang perlu direvisi menurut Benny adalah penjelasan detail tentang macam-macam kekerasan seksual serta alur pelaporan bagi korban.

“Ada beberapa poin sih, semisal adalah tindakan apa aja yg termasuk ke dalam kekerasan seksual, di peraturan rektor tersebut jenis kekerasan seksual tidak dijelaskan secara mendetail. Selain itu, ada juga poin perihal alur pelaporan yg masih terlalu rumit dan sulit dijangkau oleh mahasiswa.” pungkasnya.

Namun, permasalahannya bukan hanya tentang isi dari peraturan rektor tersebut, sebab masih banyak mahasiswa yang belum memahami dengan baik peraturannya.

“Kalau soal peraturan rektor sih aku pernah denger, tapi kurang tau juga, soalnya aku lupa. Mungkin karena jarang dibahas ya?” ucap seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis (FEB) angkatan 2019.

“Kalau menurut aku sih rektor nggak mungkin nggak punya peraturan soal ini, tapi aku nggak tau peraturannya seperti apa.” ucap Widia, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) angkatan 2020.

Sebagai penutup, Kai menyampaikan harapannya pada rektorat terkait kasus ini,

“Sebaiknya segera diterapin dan ditegasin aja terkait kekerasan seksual ini karena korbannya banyak sebenarnya dan nggak semuanya berani buat speak up. Percuma juga dari mahasiswa udah cape-cape bikin aliansi tapi dari institusi resminya ga memfasilitasi, mau sampe kapan cuma mahasiswa aja yang memperjuangkan hal ini?” pungkas Kai.

Pada Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 Tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Universitas Padjadjaran, agaknya terdapat pemilihan kata yang kurang tepat. Sebab, bukan menuliskan kekerasan seksual, peraturan tersebut justru menggunakan kata pelecehan. Hal tersebut seolah menunjukkan bahwa pihak rektor hanya memberikan perlindungan kepada kasus pelecehan seksual dan bukan kasus kekerasan seksual lain yang terdiri dari 15 jenis bentuk kekerasan.

Pada peraturan tersebut, tidak terdapat satupun pasal yang memuat tentang konsekuensi yang akan diberikan kepada pelaku kekerasan seksual. Padahal, poin ini menjadi penting dalam mengontrol kasus ini, sehingga pelaku kekerasan seksual mendapat konsekuensi yang layak atas perbuatannya sekaligus sebagai efek jera. 

Poin terakhir yang cukup penting untuk direvisi adalah terkait dengan sistematika pelaporan yang masih terlalu rumit. Misalnya, setiap pelaporan wajib menyertakan surat dengan amplop yang menyertakan identitas mahasiswa. Selain itu, pelaporannya masih melibatkan terlalu banyak pihak sehingga akan lebih rumit dan memakan banyak waktu. Masalahnya, jika bersuara saja sudah cukup sulit untuk dilakukan, bagaimana mungkin mereka mampu melewati tahap-tahap pelaporan yang rumit dengan perasaan lebih aman?

Penulis : Ririn Ariana
Editor : Rosiana Muliandari
Designer : Salma Asti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *