Setiap hari kita bangun dan mencoba jadi manusia baik atau setidaknya berusaha terlihat tidak jahat. Kita keluar rumah dengan harapan hari ini tidak seburuk kemarin, menyalakan ponsel, membuka media sosial, dan… boom; berita kekerasan, bencana, diskriminasi, dan pernyataan pejabat yang bikin kita mikir, “Ini seriusan? Kok kayak bercandaan netizen yang keterusan jadi kebijakan?”
Tapi mungkin pertanyaannya bukan cuma “bagaimana bertahan hidup?”
Melainkan “bagaimana tetap jadi manusia di tengah dunia yang makin kehilangan rasa?”
Saya sering bertanya-tanya sendiri, di mana titik kita mulai mati rasa? Mungkin saat kita melihat video kekerasan dan hanya berkomentar “yah, ini lagi” atau saat kita melihat orang berteriak di jalan, tapi justru mempercepat langkah dan menunduk atau mungkin saat kita menganggap kemarahan orang lain sebagai hal yang annoying—bukan sinyal bahwa ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja.
Ketika saya menyadari semua itu … saya muak.
Buka X (Twitter) sebentar saja sudah disambut berita kekerasan seksual, polisi yang—seperti biasanya—berulah tanpa konsekuensi, dan kebijakan dari atas sana yang tidak berpihak pada mereka yang paling membutuhkan. Hal-hal ini bukan hanya kejutan, melainkan sudah jadi rutinitas. Seolah-olah kekacauan adalah bagian dari menu harian, lengkap dengan bonus komentar netizen +62 yang kadang lebih menyeramkan dari beritanya.
Lalu, apakah mungkin kita bertahan di dunia seperti ini?
Apakah kita bisa melewatinya?
Atau kita hanya akan terus seperti ini—numb, sibuk scroll-scroll sambil pura-pura kuat?
Di tengah pertanyaan-pertanyaan itu, saya jadi berpikir: apakah keresahan ini cuma milik saya sendiri? Atau semua orang juga memendam hal yang sama, tapi tak tahu harus meluapkannya lewat apa? Kadang kita butuh cermin untuk sadar betapa kacaunya dunia ini dan tak jarang, cermin itu hadir lewat fiksi.
Mungkin kita bisa lihat Pengepungan di Bukit Duri, film terbaru Joko Anwar yang berlatar Indonesia tahun 2027—sebuah masa yang terasa jauh, tapi secara realitas sangat dekat. Di tengah sekolah rusak dan kota yang nyaris runtuh karena diskriminasi, kekerasan, dan kebencian, film ini jadi gambaran ekstrem dari apa yang sebenarnya sudah kita hadapi hari ini. Kekerasan yang tidak selalu fisik, tapi sistemik. Kekacauan yang tidak selalu bising, tapi tumbuh pelan-pelan dari dalam—Saat kita mulai kehilangan rasa percaya, ketika lelah menjadi alasan untuk berhenti peduli.
Justru di situ, saya jadi berpikir ulang,
mungkin kita belum sepenuhnya kehilangan segalanya.
Meskipun semuanya terasa begitu buruk, masih ada bagian kecil dalam diri saya—yang entah kenapa—masih percaya pada kebaikan.
Kebaikan yang sederhana.
Seperti mengingatkan teman untuk makan.
Seperti bertanya “kamu kenapa?” bukan untuk basa-basi, tapi karena memang peduli.
Kebaikan yang diam-diam. Yang tak viral.
Yang kadang tak dihargai karena tidak bisa dijadikan konten TikTok dengan musik sedih dan teks overused font aesthetic.
Mungkin kita memang hidup di dunia yang sedang terbakar.
Tapi kalau semua orang memilih jadi api, siapa yang akan jadi air?
Karena pada akhirnya, peduli adalah bentuk perlawanan.
Perlawanan terhadap mati rasa. Terhadap apatisme. Terhadap sistem yang membuat kita percaya bahwa diam adalah bentuk aman, dan empati adalah kelemahan.
Apakah mungkin kita masih punya ruang untuk peduli?
Apakah empati masih bisa bertahan di tengah dunia yang terus menekan?
Atau jangan-jangan, kita hanya sedang menunggu giliran untuk ikut mati rasa?
Jawabannya belum tentu bisa kita temukan hari ini. Tapi asal masih ada ruang untuk peduli, kita belum sepenuhnya kalah.
Mungkin itulah ujian terbesar hari ini—bukan hanya untuk tetap hidup,
tapi untuk tetap jadi manusia.
Penulis: Farrel Ibrahim Dharmawan
Editor: Raismawati Alifah Sanda
Desainer: Nadia Azzahra Fauzi