Amerika Serikat juga Bersalah dalam Kasus Afghanistan?

Siapakah Taliban?

Taliban pertama kali muncul setelah kepergian Uni Soviet dari Afghanistan pada tahun 1990-an. Mereka adalah sekelompok murid dari madrasah yang dibangun di Pakistan Utara untuk pengungsi Afghanistan. Di awal kedatangannya, Taliban disambut oleh masyarakat Afghanistan yang sudah lelah dengan pertikaian. Apalagi mereka berhasil memberantas korupsi, menciptakan lingkungan yang baik untuk perdagangan, juga membatasi pelanggaran hukum. Hingga kemudian, sebanyak 90% wilayah Afghanistan berhasil dikuasai oleh Taliban.

Namun, Taliban juga membawa hukum─berdasar penafsiran mereka─syariah, seperti melakukan eksekusi di hadapan umum, memotong tangan pada kasus pencurian, mengharuskan laki-laki untuk menumbuhkan jenggot, juga mewajibkan kaum perempuan mengenakan burqa.

Melansir dari liputan6.com, sejak Taliban mengambil alih Kabul, Ibu kota Afghanistan, pada tahun 1996, Taliban mulai membatasi ruang gerak perempuan. Perempuan yang sebelumnya telah mengambil peran penting dalam pembangunan, ditarik paksa oleh kelompok Taliban. Mulai dari penutupan universitas bagi perempuan, menghentikan kaum perempuan dari pekerjaan, pembatasan akses medis bagi perempuan, hingga aturan ketat dalam berpakaian dan pembatasan gerak di sekitar kota.

Setelah berhasil digulingkan di tahun 2001 oleh AS, Taliban kembali merebut sejumlah wilayah di Afghanistan pada tahun 2014. Tahun ini pun menjadi tahun paling berdarah bagi Afghanistan.

Intervensi Amerika Serikat dalam Perselisihan Afghanistan dan Taliban.

Peperangan telah melanda Afghanistan bertahun-tahun sebelum invasi AS tahun 2001 yang berhasil menggulingkan Taliban dari Afghanistan. Namun, Taliban tidak pernah benar-benar pergi meninggalkan Afghanistan sebab masih banyak orang-orang Taliban yang bertahan.

Melansir dari bbc.com, sejak 2001-2019, AS pun telah membangun proyek-proyek rekonstruksi dengan total dana sekitar US$44 miliar. Kemudian, antara tahun 2010-2012, AS menempatkan sekitar 100.000 serdadu mereka di Afghanistan dan telah mengeluarkan biaya operasi perang senilai US$100 miliar per tahun. Setelah itu, pada tahun 2018 AS mulai fokus untuk melakukan pelatihan bagi militer Afghanistan.

Intervensi AS tak hanya soal militer, tetapi juga soal pemerintahan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada pemerintahan George W. Bush, AS berusaha untuk mendorong liberasi politik, seperti pemilu untuk memilih presiden yang dimenangkan oleh Hamid Karzai pada tahun 2004. AS juga berhasil memberdayakan kembali perempuan di Afghanistan, termasuk dengan membuka sekolah dan pelatihan bagi kaum perempuan yang semula tak mendapat kebebasan di masa kepemimpinan Taliban.

Sejatinya, AS, Inggris dan NATO sampai saat ini memiliki waktu dua puluh tahun untuk memulihkan Afghanistan, baik dari segi HAM, pemerintahan, hingga persamaan hak bagi perempuan. Namun, tak dapat dipungkuri bahwa mereka telah gagal. Bahkan, Kabul dapat dikatakan sebagai pemerintahan di dunia yang paling korup dan tak ditemukan kebebasan bagi perempuan di luar Kabul.

Apa Alasan AS Terjun Begitu Dalam pada Perselisihan Afghanistan dan Taliban?

Putusan AS untuk memerangi Taliban dimulai pada tahun 2001 setelah penyerangan WTC 9/11. Setelah itu, pemerintahan Bush mengirimkan pasukan AS ke Afghanistan untuk memburu Al-Qaeda, yang diduga sebagai dalang dari penyerangan WTC 9/11, dan rezim Taliban yang dianggap telah melindungi Al-Qaeda.

Melansir dari tirto.id, alasan AS memerangi Taliban adalah untuk menumpas Osama bin Laden, pimpinan Al-Qaeda dan membuat Al-Qaeda kehilangan daya sehingga tak mampu menyerang negeri Paman Sam tersebut.

Menilik kedua alasan tersebut, dapat diketahui bahwa alasan AS ingin memulihkan keadaan di Afghanistan bukan berdasar pada kemurahan hati yang murni untuk membantu Afghanistan, melainkan untuk kepentingan pribadi AS. Namun, jika melihat lebih jauh, kekhawatiran AS memang berdasar dan bertujuan untuk menghapus terorisme di dunia, sehingga tak ada lagi penyerangan seperti WTC 9/11 di belahan dunia lainnya.

Amerika Serikat juga Bersalah dalam Kasus Afghanistan?

Melansir dari international.sindonews.com, penduduk di beberapa wilayah Afghanistan tak memberikan perlawanan berarti terhadap kedatangan Taliban. Hal ini menjadi kecanggungan tersendiri bagi media Barat yang telah memberitakan Taliban sebagai sekelompok orang brutal sejak peristiwa 9/11.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa AS, Inggris, dan NATO memiliki waktu dua puluh tahun untuk memulihkan Afghanistan, tetapi kenyataannya mereka gagal walaupun telah menghabiskan miliaran dolar Amerika. Tak hanya kegagalan dalam militer untuk melawan Taliban, tetapi juga gagal membangun negeri demokratis yang modern dengan persenjataan canggih. Posisi AS yang kuat tak mampu memberikan pengajaran yang baik untuk membangun Afghanistan. Korupsi di mana-mana, malfungsi pemerintahan, dan permasalahan lain di dalamnya.

Pasalnya, konflik yang terjadi di Afghanistan puluhan tahun silam menyebabkan kehancuran bagi pendidikan Afghanistan. Kehidupan yang tak lepas dari peperangan tersebut menyebabkan tingginya angka buta huruf di Afghanistan, bahkan hampir seluruh tentara Afghanistan mengalami buta huruf. Sehingga, persenjataan dan peralatan canggih yang diberikan oleh AS untuk Afghanistan tidak dapat dioperasikan dengan baik. Selain itu, pendidikan rendah memang menjadi kelemahan bagi Afghanistan. Bahkan, Qaris Tajudin, wartawan Tempo yang pernah meliput ke Afghanistan mengatakan bahwa anak-anak di Afghanistan lebih pandai mengenal senapan dibanding membaca.

Melansir dari tirto.id, agresi yang dilakukan oleh AS selama dua dekade telah menimbulkan penderitaan bagi Afghanistan. Mengutip Associated Press, diperkirakan lebih dari 66 ribu tentara Afghanistan tewas, 47 nyawa warga sipil terenggut, dan 2,7 juta lainnya melarikan diri untuk mengungsi di luar negeri. Selain itu, diperkirakan 2.442 militer AS dan 1.144 militer NATO tewas.

Terlepas dari penderitaan Afghanistan selama dua dekade tersebut, keputusan AS untuk menarik pasukan mereka dianggap terburu-buru. Sebab, meskipun tujuan dari kedatangan AS ke Afghanistan untuk menumpas Osama bin Laden telah berhasil, AS tahu bahwa kekuatan Taliban begitu besar dan Afghanistan tidak memiliki kemampuan yang setara untuk menghentikannya. Melansir dari aljazeera.com, putusan itu justru membakar semangat Taliban untuk melawan dan merebut kekuasaan di Afghanistan. Padahal pemerintahan Afghanistan telah runtuh. Mereka terkepung dan tak ada pengamanan dari AS. Kurangnya pendidikan menjadikan Afghanistan tak memiliki strategi yang jelas dan pada akhirnya menyerah dari kekuatan Taliban.

Kemudian, melansir dari newyorker.com, putusan AS untuk membiarkan Afghanistan berdiri dan berjuang untuk negeri mereka sendiri adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, bahkan cenderung keterlaluan. Putusan tersebut seperti kekalahan memalukan yang dialami AS, tetapi seolah dilimpahkan pada Afghanistan. Pasalnya, Afghanistan telah menderita selama beberapa dekade⏤bukan hanya perihal perang tetapi juga krisis kemanusiaan⏤dan AS telah turun tangan begitu jauh dalam perseteruan ini. Selain itu, perlu diingat bahwa perang ini bukan perang saudara yang dimulai oleh Afghanistan, melainkan oleh invasi luar negeri yang sudah dimulai sejak Uni Soviet ingin membereskan pemerintahan pada tahun 1979 yang pada saat itu keduanya saling bermitra sekaligus membuat Afghanistan mendukung pemerintah komunis hingga invasi AS yang dimulai pada 2001.

Bahkan, pada perjanjian 20 Februari 2020, saat Washington menyetujui penarikan tentara AS selambat-lambatnya 1 Mei 2021 sama sekali tidak mengikutsertakan otoritas Afghanistan. Menurut Mujib Mashal, New York Times, perjanjian tersebut banyak dilatarbelakangi kontradiksi dan ambiguitas. Misalnya, kesepakatan tersebut dilakukan oleh gerakan kombatan islamis, aktor non-negara.

Perjanjian antara AS-Taliban yang dilakukan tanpa keterlibatan Afghanistan tersebut, menurut Rahmatullah Andar, juru bicara Badan Keamanan Nasional Afghanistan tidak dapat menciptakan perdamaian, ataupun menghentikan peperangan, pertumpahan darah, sekaligus penderitaan bagi Afghanistan. Fakta yang disajikan Voice of America pun menyatakan demikian, bahwa kesepakatan tersebut tak membuat Taliban menghentikan kekerasan dan telah merenggut banyak nyawa warga sipil. Lebih lanjut, United Nations Assistance Mission in Afghanistan (UNAMA) menemukan peningkatan 45% korban sipil setelah negosiasi intra-Afghan yang dimulai pada September 2020.

Sumber Referensi:

https://www.aljazeera.com/opinions/2021/8/16/what-went-wrong-in-afghanistan

https://www.newyorker.com/news/q-and-a/how-america-failed-in-afghanistan

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57760566

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210816220046-118-681330/perang-afghanistan-dan-sejarah-taliban-yang-kembali-berkuasa

https://tirto.id/keok-20-tahun-as-buang-buang-tenaga-waktu-duit-di-afghanistan-ghGC

https://international.sindonews.com/read/513044/40/taliban-dan-gagalnya-amerika-serikat-membangun-negara-boneka-di-afghanistan-1629158896/20

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58241990

Penulis : Rin Ariana
Editor  : Azzahra Firdaus
Desainer: Salma Asti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *