Alasan Di Balik Perda (1/2020) Tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda

Jika berkunjung ke daerah Sumedang dari arah Bandung, Anda akan disambut oleh tugu selamat datang di Kabupaten Sumedang yang menjadi pembatas antara wilayah Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung. Hal menarik yang bisa dilihat adalah kalimat “Sumedang Puseur Budaya Sunda” yang tercetak pada tugu pembatas wilayah tersebut. Namun, tahukah Anda makna di balik kalimat tersebut? 

Filolog dari Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Olahraga (Disparbudpora) Kabupaten Sumedang, Anggi Endrawan menyampaikan bahwa Sumedang tidak pernah menyatakan diri sebagai pusat Budaya Sunda. Namun, para peneliti terdahulu menyebut bahwa wilayah Sumedang dianggap menyimpan banyak nilai pendidikan dan budaya yang harus diteruskan oleh setiap generasi. 

Berdasarkan penuturan Anggi, sebelum abad ke-10 masehi ada seorang prabu bernama Prabu Tajimalela yang dianggap sebagai “raja tanpa mahkota”. Tajimalela memang sosok pendidik yang berhasil mengajar raja-raja pada masa tersebut. Semua proses pengajaran tadi dilakukan oleh Prabu Tajimalela di Sumedang.  

Masyarakat awam mengasumsikan bahwa alasan Sumedang disebut sebagai pusat Budaya Sunda karena posisi mahkota Kerajaan Sunda yang berada di Sumedang. Alasan lain yang turut mendukung asumsi tersebut adalah lokasi Sumedang, khususnya Kecamatan Jatinangor (saat ini) yang menjadi lokasi pendidikan para raja zaman tersebut. Lalu bagaimana dengan nilai kearifan lokal dan tradisi yang dimiliki wilayah Sumedang? 

Bedog Cikeruhan: Produksi Lokal Kualitas Internasional 

Bicara soal “Sumedang Puseur Budaya Sunda” tidak akan berhenti pada pembahasan soal Sumedang sebagai pusat pendidikan semata. Di luar itu, masih ada nilai kearifan lokal yang dimiliki Sumedang. Satu diantaranya berhasil diakui oleh dunia internasional, yakni Bedog Cikeruhan. Dalam Bahasa Indonesia, bedog diartikan sebagai golok – sejenis senjata tajam dari Indonesia – yang berbeda dengan samurai dan pedang. Sementara itu, Cikeruhan merujuk pada nama tempat produksi bedog tersebut, yakni wilayah Cikeruh (saat ini menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Jatinangor). 

Dulunya wilayah Jatinangor (sebelumnya bernama wilayah Cikeruh) adalah kebun karet dan daerah pemasoksenjata untuk perang. Salah satu amunisi perang yang banyak digunakan saat itu adalah bedog. Dari kemampuan warga lokal mengelola bedog dengan kualitas unggul inilah, Cikeruh berhasil memasarkan produknya ke berbagai wilayah lain. Rupanya, kemampuan Cikeruh menjadi wilayah pandai besi juga tercium oleh Pemerintah Belanda. Akhirnya Belanda yang merasa kualitas senjata tajamnya tidak sebanding dengan kualitas bedog Cikeruhan mencari Eyang Sumadimaja untuk memesan sejumlah peralatan perang yang dibutuhkan Belanda kala itu. 

Bukan itu saja, Para Mpu (tetua adat/buhun yang dihormati) pembuat senjata tadi juga diminta membuat senjata gaya Eropa dengan kualitas besi yang dimiliki oleh Cikeruh untuk ditampilkan saat peresmian Menara Eiffel di Prancis. Hal ini disampaikan langsung oleh Anggi dalam wawancara bersama Media Sibiru. Tidak puas dengan produksi senjata tajam, Eyang Sumadimaja melihat ada senjata yang lebih canggih, yakni bedil (senjata api) yang dia lihat dari hasil pameran di luar negeri. 

Eyang Sumadimaja melihat potensi Cikeruh menghasilkan produk senjata api dan kembali mencoba produksinya di tanah air. Siapa sangka, sejak saat itu Cikeruh juga berhasil menjadi pusat penghasil senjata api terkenal. Bahkan, Anggi menuturkan bahwa Eyang Sumadimaja disinyalir menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap berdirinya Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad) yang saat ini beroperasi di Bandung.

Setelah beralih menjadi pusat produksi senjata api, Cikeruh sudah tidak lagi memproduksi senjata tajam berupa bedog Cikeruhan. Saat ini produksi senjata api sudah dilarang peredarannya di masyarakat, maka Cikeruh beralih menjadi pusat penghasil senapan angin yang masih bertahan hingga saat ini. Hari ini bedog Cikeruh sudah ditetapkan menjadi satu dari 37 Warisan Budaya Tak Benda oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. 

Tari Ketuk Tilu Cikeruhan: Bibit Munculnya Tari Jaipong 

Siapa yang tidak kenal Tari Jaipong khas Jawa Barat yang selalu hadir di berbagai pementasan tari baik skala lokal maupun internasional? Ternyata, tarian legenda Jawa Barat ini berkembang dari sebuah tarian masyarakat desa Cikeruh yang bernama Tari Ketuk Tilu Cikeruhan.

Gugum Gumbira mengadopsi beberapa tarian rakyat dari berbagai wilayah, salah satunya yaitu Ketuk Tilu Cikeruhan yang dikemas secara utuh menjadi tari Jaipong khas Jawa Barat. Tari Ketuk Tilu Cikeruhan adalah tarian rakyat dari daerah dataran tinggi (pegunungan) yang selalu hadir ketika upacara perayaan hasil panen dilakukan. Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Dewi Sri. Ketuk Tilu Cikeruhan hadir sebagai pelengkap keutuhan pagelaran rakyat. 

Hingga saat ini, Tari Ketuk Tilu Cikeruhan masih terus dipertahankan oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang. Salah satu upaya perwujudannya adalah dengan dibangunnya Sabusu (Saung Budaya Sunda) di wilayah Kecamatan Jatinangor sebagai wujud pelestarian budaya dan kebudayaan Sunda. Saat ini Sabusu dijadikan sebagai lokasi untuk melaksanakan ragam kegiatan dan panggung ekspresi karya masyarakat setempat. Di sana acapkali dibuat berbagai bentuk perlombaan atau pementasan seni dan pertunjukan bakat (musik dan tari) dari wilayah Sunda termasuk Tarian khas Jatinangor sendiri yaitu Tari Ketuk Tilu Cikeruhan. 

Berdasarkan penelusuran sejarah dan sejumlah alasan tersebut maka turunlah Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2020 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda yang menjadi aturan tetap yang diakui oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai bagian dari pedoman kebudayaan daerah Sumedang hingga saat ini.

Penulis : Aldehead Marinda
Editor : Aliya Ramadhani Putri
Desainer : Luh Muni Wiraswari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *