Media sosial kini menjadi hal lumrah yang dimiliki masyarakat secara bebas. Baik digunakan sebagai sarana bersosialisasi, sumber informasi, hiburan, dan bahkan dijadikan sebagai lapangan pekerjaan. Banyak hal bisa kita lakukan dengan hanya menggunakan media sosial.
Tak hanya sekadar sebuah alat, kini media sosial juga menjelma menjadi sebuah gaya hidup. Media sosial dan masyarakat kini seolah menjadi kesatuan yang tidak bisa dilepaskan.
Hadirnya media sosial di Indonesia tentu mempermudah kita dalam banyak hal. Berbagai informasi terbaru bisa dengan mudah kita akses hanya dengan menjentikkan jari di layar gawai. Semakin mudah dipakai, maka akan semakin banyak juga orang yang tertartik menggunakannya. Apalagi kebutuhan akan informasi yang cepat membuat media sosial kian digandrungi.
Semakin mudahnya mengakses media sosial membuat medium ini menjadi sebuah kebutuhan hidup masyarakat modern. Tapi saat melihat realita yang ada, para penggunanya seringkali menggunakan sosial media sesuka hati. Padahal sebenarnya ada loh etika yang mengatur bagaimana cara bersosial media yang baik dan benar.
Dilansir dari Antaranews.com, Plt Direktur Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Slamet Santoso, mengatakan agar masyarakat baiknya memahami aturan berlaku sebelum bermedia sosial. Hal ini sudah atur dalam UU No.19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Ada lima pasal yang mengatur etika bermedia sosial, pasal 27 sampai pasal 30 UU ITE,” ujar Slamet, dalam seminar “Cerdas Ber-Media Sosial” di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, seperti dilansir Antara di Jakarta, Rabu (17/10).
UU ITE seringkali dikatakan sebagai pasal karet dan kerap disalahgunakan untuk membungkam salah satu pihak. Sebenarnya kalau dalam urusan etika, tidak ada yang salah dengan dengan isi UU ini. Isinya antara lain dilarang menyebarkan hoaks, dilarang menghina SARA, dilarang menyebarkan aib orang lain, dan tetap harus menjaga menjaga privasi maisng-masing individu.
Kenyataan di Indonesia
Akan tetapi, pada relitasnya, suasana medsos di Indonesia kini bisa dibilang cukup toksik. Jika menilik ke kolom komentar artis, ada saja komentar berbau pelecehan seksual atupun caci maki tak berdasar. Ketika bermedia sosia, orang-orang seakan tak peduli dengan orang lain, hanya sekadar memuaskan egonya saja dengan komentar-komentar jahatnya.
Bahkan beberapa waktu lalu, ada seorang selebgram yang membuat sayembara untuk membully dirinya. Siapa yang bisa menghinanya sampai ia sakit hati, akan diberikan hadiah sejumlah uang, tapi harus rela dilaporkan ke pihak kepolisian. Dan tebak apa yang terjadi? sayembara itu diminati banyak orang, dan pemenangnya benar-benar dilaporkan ke pihak berwajib.
Dari sayembara itu harusnya kita bisa belajar, kata-kata jahat yang kita keluarkan itu tidak bisa dilumrahkan. Itu merupakan sebuah kejahtan dan sangat bisa dijerat lewat jalur hukum.
Seringkali kita sadar, kata-kata yang kita keluarkan dapat menyakiti perasaan hingga mental orang lain. Tidak sedikit kasus bunuh diri idola di Korea Selatan yang dibermula dari sebuah komentar jahat. Kasus perundunga mau bagimana bentuk dan tindakannya pun tidak ada yang dibenarkan untuk diperbuat. Apakah karena mereka menghinanya lewat medsos, tidak akan berdampak dengan kehidupan aslinya?
Apasih susahnya menahan diri untuk tidak berkomentar jahat? Apa kalau tidak berkomentar jahat tangan mu gatel? Badan mu menggigil? Otakmu panas? Enggak kan. Harusnya sebagai manusia yang punya akal dan budi tidak sulit lah mengontrol diri sendiri. Masa iya disamakan dengan hewan yang hanya mengandalkan naluri dan nafsu belaka.
Ada yang bilang “tapikan ini freedom of speech, harusnya bebas dong mau ngomong apa aja,”. Gak gitu Bambang konsepnya. Memang kita bebas mengutarakan apa saja yang kita pikirkan, tapi ketika hal itu sudah menyakiti orang lain, maka itu bukan lagi freedom of speech. Kamu sudah melakukan cyber-bullying.
Ada perbedaan mendasar antara mengkritik dan menghina. Kritik itu dengan kata yang sopan dan tujuannya baik. Beda dengan hinaan yang hanya sekedar mengejek tanpa memberikan sebuah masukan. Dan, beberapa wargat net di Indonesia ada yang hanya menghina tanpa memberi opini dengan kritiknya. Ketika dilawan dengan argumen, jawabannya malah “ashiappp”/”siap bang jago”. Bukannya terlihat keren nih bang, malah kesanya norak dan tidak intelek.
Tidak hanya sekadar norak, komentar macam “siap bang jago”, juga mematikan arus diskusi yang sehat di medsos. Yang tadi niatnya bisa saling tukar pikiran, malah dibuat kesal dengan komentar gak jelas seperti itu.
Kebiasaan Kurang Baik
Biasakan, kalau memang kalah dalam berargumen akui saja, biar bisa jadi pembelajaran ke depannya. Jangan malah termakan ego tidak mau kalah, sehingga malah kabur dengan kata-kata pamungkas itu.
Selama saya bermedsos, melihat ada kecenderungan netizen Indonesia suka ikut campur masalah orang lain tapi tidak pada konteksnya. Figur publik salah sedikit langsung dihujat. Ada orang yang pendapatnya gak sesuai sama dia, dikatain. Kamu itu bukan poros dunia sayang, jadi jangan dibiasakan melihat suatu hal dari sudut pandang kamu saja. Kalau menurut kamu benar, belum tentu kan kenyataan begitu.
Kasus terbaru yang membuat saya sedih karena cenderung norak adalah ketika Vanuatu mengomentari masalah HAM yang menimpa masyarakat Papua. Warga net Indonesia dengan bangganya dan secara barbar menyerang akun media sosial pariwisata Vanuatu. Beragam komentar jahat nan rasis bertebaran di akun tersebut. Bahkan ada yang sampai menyerang penampilan anak-anak Vanuatu. Sudah jahat, no context lagi.
Jika memang kamu merasa apa yang dituduhkan Vanuatu itu salah, balas dengan argumen dan buktikan kalau memang mereka salah. Bukan malah menyerang SARA. Padahal jika kita teliti lagi, Vanuatu memliki rumpun yang sama dengan saudara kita di Papua. Tindakan rasis warga net Indonesia di kolom komentar Vanuatu malah semakin membenarkan tuduhan mereka bahwa masyarakat di Papua sangat didiskriminasi.
Terbaru ada juga, kasus yang menyangkut Omnibuslaw UU Cipta Kerja. Warga net yang kesal dengan disahkan UU kontroversial itu, berbondong-bondong menyerang akun medsos anak anggota DPR. Mereka kira dengan menyerang anaknya, bapaknya dapat mencabut UU tersebut. Tidak semudah itu Fergusso!
Anaknya tidak ada salah apa-apa, malah diserang. Harusnya netizen berpikir pakai logika lah, kalau mau protes ke substansi yang terkait, bukan malah ke anggota keluarganya. Jadinya kan tidak nyambung.
Etika Bersosial Media
Saya rasa perlu untuk pemerintah mulai serius menyuarakan pendidikan mengenai etika dalam bersosial media. Mulai dengan pendidikan sedini mungkin. Orang tua juga bisa harus ambil peran, karena seperti yang kita ketahui bersama keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama. Tak hanya mendidik, orang tua juga perlu mengawasi anaknya dalam bermedia sosial. Jangan sampai ia tercemar dengan hal-hal yang tidak pantas dan belum waktunya.
Media sosial yang seharusnya menjadi rumah yang ramah untuk bersosialisasi, kian tercemar tiap harinya. Tidak sedikit orang yang akhirnya memutuskan untuk menonaktifkan media sosial karena isinya yang semakin toksik untuk diikuti. Sedangkan orang-orang toksik semakin menjamur dan bergerilya menyebarkan kebencian dalam dirinya.
Mungkin pepatah “Mulut-mu Harimau-mu” harus diubah seiiring perkembangan jaman. Kini pepatah itu berubah menjadi “Jari-mu lah Harimau-mu”. Semakin dewasa, rasanya kita harus semakin bijak dalam berkelakuan, termasuk ketika kita bermedia sosial. Jangan sampai, apa yang kita lakukan sekarang menjadi penyesalan bagi diri kita di masa depan.
Penulis: Timothy Putra
Editor: Indah Evania Putri