Sepanjang perjalanan di bus berwarna biru ini, mataku tidak berhenti melihat sekeliling. Bagaimana seorang anak kecil yang merengek karena rasa penasarannya memegang hand grip atau gantungan tangan berwarna kuning itu, yang sayangnya diabaikan oleh orang yang menggandengnya. Bagaimana seorang anak lainnya menangis karena dilarang turun dari pangkuan. Serta seberapa mengkerutnya kening orang seusiaku atau mungkin lebih tua dariku yang turut mendengar dan menyaksikan peristiwa tak asing ini.
Bagi sebagian orang, tangisan anak kecil adalah hal yang wajar, tapi aku yakin bagiku, bagi mba-mba berbaju hijau yang tadi mengerutkan dahinya, bagi mas-mas yang memilih meningkatkan volume handphonenya saat terhubung ke earphone, dan bagi beberapa orang lainnya hal ini justru diam-diam menjadi pengingat bahwa tidak semua orang mendambakan peran sebagai orang tua.
Bukan karena tidak suka anak kecil—justru mereka tampak begitu menggemaskan ketika tertawa lepas atau bercerita dengan penuh imajinasi. Tapi menjadi orang tua adalah sebuah peran besar yang tak hanya menuntut kesiapan fisik dan finansial, melainkan juga memerlukan kesiapan emosional yang tidak semua orang miliki, atau ingin miliki.
Keputusan untuk hidup childfree bukan datang dari satu momen di bus atau jeritan anak yang tak henti-henti, tapi dari proses panjang memahami diri sendiri. Tentang kebebasan, tujuan hidup, dan bentuk cinta yang bisa hadir dalam banyak wujud, tidak melulu dalam bentuk mendidik anak.
Istilah childfree merujuk pada pilihan sadar pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak, baik dalam bentuk keinginan pribadi maupun rencana jangka panjang (Bimha & Chadwick, 2016). Banyak dari mereka yang memilih jalan ini percaya bahwa keputusan tersebut merupakan bagian dari hak asasi setiap individu untuk menentukan arah hidupnya sendiri (Fadhilah, 2021).
Gagasan childfree mulai berkembang di wilayah Euro-Amerika pada akhir abad ke-20 sebagai sebuah alternatif yang bertujuan mengubah pandangan negatif terhadap kondisi tidak memiliki anak. Alih-alih dianggap sebagai kekurangan atau kehilangan (childless), istilah childfree merepresentasikan pilihan hidup yang sadar, ketidakhadiran anak bukan sesuatu yang perlu disesali, melainkan bentuk kehidupan yang dipilih dengan pertimbangan dan kesadaran penuh.
Dalam konteks hari ini, terutama di masyarakat kita, keputusan tidak memiliki anak juga muncul dari keresahan yang lebih nyata dan dekat. Keresahan melihat betapa banyak anak yang hadir ke dunia tanpa benar-benar diurus dengan baik, entah karena orang tuanya tidak siap secara emosional, finansial, atau sekadar ikut arus.
Di sisi lain, tekanan sosial masih begitu kuat. Narasi bahwa tujuan menikah adalah untuk memiliki anak begitu tertanam, sampai-sampai pertanyaan seperti “kok belum isi” kerap dilontarkan, bahkan pada pasangan yang baru saja menikah. Tekanan semacam ini bukan hanya menjadikan anak sebagai tolak ukur keberhasilan rumah tangga, tapi juga mendorong banyak pasangan—yang sebenarnya belum siap, baik secara mental, emosional, bahkan relasional—untuk segera memiliki anak.
Dan ketika keputusan memiliki anak dilakukan karena tekanan, bukan kesiapan, maka yang paling rentan menjadi korban adalah anak itu sendiri.
Inilah salah satu alasan mengapa sebagian orang memilih childfree, karena mereka menyadari, membesarkan anak bukan hanya tentang melahirkan, tetapi tentang kesiapan menjadi orang tua dalam makna yang utuh.
Alasan setiap individu memilih childfree sangat beragam dan sangat pribadi, ada yang merasa belum atau tidak memiliki insting keibuan atau kebapakan. Ada yang merasa hidup mereka sudah cukup penuh dan bermakna tanpa kehadiran anak. Ada juga yang pernah mengalami luka atau trauma di masa kecil, hingga tak ingin mengulang pola yang sama.
Bagi sebagian lainnya, keputusan ini berakar dari keinginan untuk menjaga kebebasan hidup. Bukan karena tidak mau berkomitmen, tetapi karena mereka ingin mengerahkan waktu, energi, dan sumber daya untuk hal-hal lain: mengejar karir, mengabdi pada komunitas, menciptakan karya, atau memperdalam hubungan dengan pasangan.
Ada pula alasan yang lebih struktural dan rasional: mahalnya biaya hidup dan pendidikan, krisis iklim, ketidakpastian masa depan, hingga kekhawatiran akan dunia yang dirasa semakin tidak aman untuk ditinggali.
Apapun alasannya, keputusan ini tidak lahir dari rasa tidak suka, melainkan dari pemahaman bahwa menjadi orang tua adalah tanggung jawab yang terlalu besar untuk dijalani setengah hati.
Meski childfree adalah pilihan hidup yang sah, nyatanya masih banyak orang yang harus menghadapi pandangan miring, penilaian sepihak, dan komentar yang datang tanpa diminta. Seolah keputusan untuk tidak memiliki anak dianggap sebagai bentuk ketidak-lengkapan hidup.
Orang-orang yang childfree kerap dicap egois, terlalu mementingkan diri sendiri, atau belum dewasa. Bahkan tak jarang yang dianggap akan berubah pikiran seiring usia, seolah keputusan mereka bukan berasal dari pemikiran matang, melainkan sekadar fase sementara.
Pertanyaan “Nanti siapa yang rawat kalau sudah tua?” atau “Kamu nggak takut nyesel?” jadi semacam pertanyaan wajib yang terus dilontarkan, seringkali tanpa niat jahat, tapi juga tanpa rasa hormat terhadap pilihan hidup orang lain.
Tekanan ini terasa semakin kuat dalam budaya yang menjunjung tinggi pernikahan dan keturunan sebagai simbol kesuksesan dan kebahagiaan. Mereka yang menikah namun belum punya anak dianggap belum “lengkap”. Mereka yang memilih tidak menikah dan tidak punya anak dianggap “menyimpang” dari pakem hidup ideal.
Padahal, tidak semua orang lahir untuk menjadi orang tua dan itu bukanlah sebuah kekurangan. Sama seperti halnya tidak semua orang lahir untuk menjadi guru, dokter, atau pemimpin. Setiap orang punya tujuan hidupnya masing-masing.
Pada akhirnya, hidup adalah rangkaian pilihan yang membentuk siapa kita, bukan hanya berdasarkan apa yang kita lakukan, tapi juga apa yang kita pilih untuk tidak lakukan. Menjadi childfree adalah salah satu dari sekian banyak cara menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab pada diri sendiri.
Setiap orang berhak menentukan jalannya sendiri tanpa harus terus menerus membela atau menjelaskan alasan dibalik pilihan itu. Kita tidak harus memahami semua keputusan orang lain untuk bisa menghargainya. Kita hanya perlu memberi ruang kepada orang lain dengan keyakinannya, sama seperti kita ingin diberi ruang untuk hidup sesuai keyakinan kita.
Dibalik keputusan childfree tersimpan keberanian untuk jujur pada diri sendiri, dan keberanian itulah yang seharusnya kita hormati bersama.
References
Hidayah, Z. A., Octaviana, N., & Rokhmah, W. (223). CHILDFREE: MENGURANGI POPULASI MANUSIA UNTUK KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN ISLAM DAN SOSIAL SAINS. PROSIDING KONFERENSI INTEGRASI INTERKONEKSI ISLAM DAN SAINS, 5, 174-18.
Penulis: Rahmita Adinda
Editor: Maulida Hasna Haniifa
Desainer: Nadia Azzahra Fauzi