Menoleransi Orang Intoleran

Ada yang bilang, “If you tolerate anything, you stand for nothing.” Terus terang, gue setuju banget. Soalnya, gampang banget jadi orang yang “toleran” hari ini. Tinggal diam, ngangguk, senyum—mau ada apa pun di depan mata. Kayak ranting kering di sungai yang cuma ngikut arus, kemana air bawa, ya udah dia nurut. Enggak punya prinsip, enggak punya arah. Cuma numpang hidup.

Padahal, hidup itu mestinya kayak nyetir motor di jalanan macet—lu harus tau kapan gas, kapan ngerem, kapan belok, bahkan kapan maki-maki dalam hati. Enggak semua hal bisa lu lewatin gitu aja dengan dalih ya udah, toleransi aja”. Karena kalau semua dibiarin, termasuk yang jelas-jelas salah, lama-lama kita malah jadi bagian dari masalah itu sendiri.

Begini contoh simpelnya, ada kampus yang ngebiarin organisasi mahasiswa dengan paham radikal buat diskusi. Ngomongnya sih, “Ini kan demokrasi, semua orang bebas berpendapat.” Tapi yang diomongin isinya minoritas harus dipinggirinlah, hak-hak orang harus dipotonglah, sampai bikin aturan-aturan sosial yang ujung-ujungnya nginjek kepala orang lain. Ini sih bukan demokrasi, tapi demoKRISIS (moral). Lagian, bebas berpendapat sih iya, tapi masa iya kita mau kasih panggung buat orang yang cita-citanya bikin hidup orang lain sengsara?

Nah, Karl Popper udah bilang dari zaman baheula—jauh sebelum zaman medsos yang jadi ajang debat kusir—yang bikin konsep paradox of tolerance. Katanya, “Unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance.” Semakin kita menoleransi orang-orang yang intoleran, makin lama justru mereka yang bakal ngelibas kita. Karena gini, lho, yang namanya kaum intoleran itu enggak pernah main cantik. Mereka bawa misi: klaim kebenaran sepihak, maksa orang ikut aturan mereka, terus kalau ada yang beda dikit—langsung dicap sesat, bahkan halal darahnya.

Kita udah liat contohnya di Indonesia. Misalnya, waktu FPI (Front Pembela Islam) rame-rame teriak, “Ahmadiyah darahnya halal untuk ditumpahkan!” Lah, ini masih zaman Majapahit apa gimana? Ngeri banget, kan? Dan karena alasan “toleransi” atau “kebebasan berpendapat” mereka dulu dibiarkan. Akhirnya? Terbukti mereka makin berani sampai bikin negara pusing.

Makanya, penting buat kita punya self-preservation kayak yang dibilang John Rawls. Iya, toleransi itu penting, tapi jangan sampe jadi senjata makan tuan. Kalau ada kelompok yang udah mulai nginjek hak orang lain, apalagi ngancem keamanan dan ketertiban umum, ya udah waktunya kita rem. Bukan berarti kita jahat, tapi itu cara sehat buat nyelamatin masyarakat plural kayak Indonesia.

Coba liat lagi, kenapa HTI (Hizb ut-Tahrir) dibubarin? Karena idenya udah mulai ganggu stabilitas negara, bukan sekadar beda pendapat soal selera makan mie instan. Ini udah soal mau ganti sistem negara. Dan kalau dibiarin, tau-tau kita bangun tidur udah ganti bendera. Kebebasan berekspresi? Iya, tapi jangan buat ngancurin rumah sendirilah.

Lagian, di hukum internasional (ICCPR) maupun UUD ’45 kita sendiri juga jelas-jelas ada pasal yang bilang, kebebasan itu boleh dibatasi demi keamanan, ketertiban, dan moral masyarakat. Jadi kalau ada yang teriak-teriak soal pembatasan itu pelanggaran hak asasi, coba baca lagi tuh aturan baik-baik. Enggak semua yang ngaku “hak asasi” itu murni. Kadang cuma kedok buat bebas nindas orang lain.

Kita juga harus hati-hati, nih, karena banyak orang yang hari ini masih salah kaprah soal toleransi. Sampai-sampai, ada yang nganggap ngeributin suara toa masjid yang kelewat keras itu bentuk intoleransi. Padahal, bahkan dalam aturan Kemenag sendiri, penggunaan toa luar cuma buat azan, upacara hari besar, dan tabligh. Kalau udah level bocil atau ibu-ibu yang teriak-teriak pake speaker luar sampai bikin orang se-kos stres, itu bukan lagi soal toleransi, tapi udah masuk wilayah enggak punya empati.

Sebagai mayoritas, kita udah kebiasaan ngerasa benar sendiri, sampai lupa kalau orang lain juga punya hak buat hidup tenang.

Intinya gini, jadi orang toleran itu bukan berarti rela ngasih karpet merah buat orang yang mau nginjek-injek. Bukan berarti semua hal harus kita iyain biar dibilang open-minded. Ada batasnya. Kalau ada ide atau aksi yang udah mulai ngancem hak hidup orang lain, ya harus berani kita bilang cukup. Karena kalau enggak, kita sendiri yang bakal habis duluan.

Jadi, yuk mulai biasa bedain mana yang bener-bener perlu ditoleransi, dan mana yang sebenernya cuma mau numpang hidup buat ngancurin yang udah susah-susah kita bangun. Enggak usah sok jadi pahlawan kebebasan yang ujung-ujungnya malah jadi pecundang di tanah sendiri. Toleransi itu penting, tapi waras itu wajib.

Penulis: Raffael Nadhef Mutawwaf

Editor: Natalia Daniella Carla Sitorus

Desainer: Kendra Luvena Cintanayla

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *