Victim Blaming, Rape Myths, dan The Perfect Victim: Menelisik Kekerasan Seksual di Lingkup Kesehatan

April 2025 yang seharusnya menjadi bulan untuk memperingati emansipasi perempuan melalui Hari Kartini justru menjadi waktu yang secara konstan menyuguhkan berbagai ketakutan bagi perempuan. Berita mengenai kasus kekerasan seksual terus mencuat dari berbagai penjuru, tak terkecuali lingkup kesehatan, tempat yang seharusnya memberikan ruang aman dan nyaman bagi perempuan. 

Maraknya kekerasan seksual di lingkup kesehatan ini dimulai dari kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama, dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad). Pelaku terbukti memerkosa tiga korban, yang terdiri atas dua pasien dan satu keluarga pasien, dengan modus pengecekan darah. Namun, alih-alih melakukan penyuntikan untuk mengambil sampel darah, pelaku justru menyuntikkan obat bius dan memerkosa korban tatkala mereka kehilangan kesadaran. Perilaku bejat pelaku pun baru terungkap ke publik sebulan kemudian. 

Tidak lama setelah kasus kekerasan dokter PPDS Unpad mencuat ke permukaan, datang lagi kasus serupa dari Kabupaten Garut, Jawa Barat. Parahnya, pelecehan seksual yang terbukti melalui rekaman CCTV ini justru dilakukan oleh dokter kandungan yang memiliki wewenang untuk mengecek bagian intim dari tubuh perempuan. Setelah dilakukan pengecekan oleh kepolisian, ternyata kasus ini terjadi pada 20 Juni 2024. Artinya, perlu satu tahun sampai kasus ini terkuak ke publik dan mendapatkan penanganan. 

Dua contoh kasus yang dipaparkan pun melahirkan kesamaan pola: perlu waktu lama bagi kasus kekerasan dalam lingkup kesehatan untuk muncul ke permukaan. Lebih parah dari kasus dokter PPDS Unpad yang baru muncul sebulan setelah kejadian, kasus dokter kandungan di Garut baru terkuak satu tahun kemudian. Selain itu, kedua kasus ini juga sama-sama dilakukan oleh dokter yang kerap diagung-agungkan oleh masyarakat sebagai profesi terpuji. Kesamaan ini kelak menjadi tamparan telak bagi masyarakat: siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual, sekalipun mereka yang dianggap terpuji, terpercaya, maupun terdekat. Dalam relasi medis, dokter menempati posisi dengan otoritas yang kuat: memiliki akses menyeluruh terhadap tubuh pasien, data pribadi, serta wewenang dalam menentukan langkah pengobatan. Kepercayaan yang diberikan oleh pasien menjadi landasan utama yang wajib dijaga dan dihormati. Akan tetapi, kepercayaan tersebut justru digunakan untuk menampung nafsu yang tidak terbendung.

Penting untuk diketahui bahwa kekerasan seksual, di mana pun itu, merupakan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terjadi di lapangan jauh lebih banyak daripada yang tercatat pada laporan. Padahal, angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mengalami peningkatan. Melalui Catatan Tahunan (CATAHU), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2024 menyentuh angka 330.097, naik sebesar 14,17 persen dari tahun 2023 dengan perolehan 289.111 kasus. Walau belum ada data mengenai kekerasan seksual di tahun 2025, berita kasus kekerasan seksual terus bermunculan, termasuk dari lingkup kesehatan. Kasus dokter PPDS Unpad dan dokter kandungan di Garut hanyalah segelintir dari kekerasan seksual yang terjadi di dunia medis; kedua kasus tersebut hanyalah puncak dari gunung es yang baru menyembul ke permukaan beberapa waktu setelah kekerasan tersebut selesai dilakukan. Masih banyak korban kekerasan seksual yang belum mendapat keadilan dan masih banyak pelaku yang berkeliaran. Fenomena ini pun kerap menimbulkan pertanyaan pada benak khalayak: apa yang membuat korban lebih memilih untuk bungkam, menguburkan trauma dalam-dalam, dan berusaha melupakan, alih-alih melaporkan? 

Victim Blaming: Kekerasan Seksual bukan Salah Siapa-Siapa (Kecuali Korban) 

Keengganan korban kekerasan seksual dalam melaporkan kasusnya kerap dilatarbelakangi oleh ketakutan terhadap respon yang mungkin akan diterima setelah membuat laporan (Wijayanti & Suarya, 2023). Terlebih, tidak ada jaminan bahwa laporan akan mendatangkan keberuntungan berupa keberpihakan orang-orang sekitar kepada korban, terutama ketika pihak-pihak yang memiliki otoritas seringkali lebih menyalahkan korban atas kemalangan yang menimpanya dibanding pelaku. Ketika korban angkat suara, mereka kerap kali disudutkan dengan rasa bersalah, rasa tidak aman, dan rasa malu yang menyulap kemalangan korban menjadi berlipat ganda. 

Kesalahan yang dititikberatkan kepada korban alih-alih pelaku pada kasus kekerasan seksual disebut victim blaming. Victim blaming atau perilaku menyalahkan korban adalah kondisi ketika masyarakat sekitar cenderung menyalahkan korban atas bencana, dalam hal ini kekerasan seksual, yang menimpanya. Dibanding memperjuangkan keadilan bagi korban, masyarakat kerap memilih untuk menyalahkan korban sementara pelaku bebas dari pertanggungjawaban. Masyarakat akan menghalalkan berbagai cara untuk menjustifikasi kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, seperti menyalahkan pakaian dan aktivitas korban saat kekerasan terjadi. Kalimat-kalimat seperti, “Pantas diperkosa, orang pakaiannya aja terbuka!”, “Kalau gak ngelawan berarti keenakan!”, “Pantas dilecehkan, dia aja kalau malam sering keluyuran!” merupakan contoh dari victim blaming yang paling sering ditemukan. 

Pada kasus dokter PPDS Unpad, victim blaming yang menjustifikasi tindakan pelaku muncul dalam berbagai narasi, seperti, “Mungkin gak puas sama istrinya, kan mereka long distance marriage.” dan “Siapa tau sama-sama mau, kan dokternya ganteng dan banyak duit.”, seolah-olah kekerasan seksual adalah kesalahan yang dimaklumi. Parahnya lagi, pertanggungjawaban dalam narasi seperti ini tidak hanya dilimpahkan kepada korban, tetapi juga perempuan lain yang secara tidak langsung turut menjadi korban. Akibat victim blaming yang biasa menghampiri korban kekerasan seksual ketika mereka bersuara, banyak korban lain yang pada akhirnya memilih untuk diam karena mereka takut tidak dipercaya, takut disalahkan, bahkan takut kepada ancaman balik, terutama ketika pelaku datang dari kalangan yang dihormati oleh masyarakat. 

Victim Blaming adalah Kesalahan Atribusi 

Victim blaming merupakan bentuk kesalahan atribusi (Amandasari & Margaretha, 2019). Menurut Baron dan Byrne, atribusi adalah upaya individu dalam memahami penyebab di balik perilaku individu lain. Lebih lanjut lagi, Bimo Walgito dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial (2024) menjelaskan bahwa atribusi adalah cara pengamat (perceiver) memusatkan perhatian untuk memahami dan menafsirkan berbagai peristiwa (events) yang ia amati. Buku tersebut juga menjelaskan bahwa teori atribusi pertama kali dikembangkan oleh Fritz Heider melalui tulisannya yang berjudul “Phenomenal Causality” pada tahun 1944. Pada tulisan tersebut, Heider memusatkan perhatian pada proses individu memahami penyebab dari suatu peristiwa, baik yang bersifat personal maupun impersonal. Ia menggarisbawahi bahwa persepsi terhadap sebab-akibat dapat berbeda tergantung pada sifat kejadian yang diamati, serta keterlibatan pribadi pengamat dalam peristiwa tersebut. 

Pada teori atribusi, ada juga yang disebut sebagai kesalahan atribusi. Kesalahan atribusi adalah kecenderungan seseorang untuk keliru dalam menilai penyebab perilaku, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Salah satu bentuk paling umum dari kesalahan atribusi adalah fundamental attribution error, yaitu kecenderungan untuk melebih-lebihkan faktor internal dan meremehkan pengaruh situasi eksternal ketika menilai perilaku orang lain. Pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter PPDS Unpad dan dokter kandungan di Garut, victim blaming hadir karena masyarakat cenderung mengabaikan situasi eksternal yang kompleks, seperti posisi kuasa pelaku dan kondisi korban yang tidak sadar, serta lebih memilih untuk menilai korban sebagai penyebab utama. 

Selain itu, ketika pelaku berasal dari profesi yang dipandang bergengsi dan dihormati seperti dokter, masyarakat menunjukkan kecenderungan untuk memberikan atribusi eksternal terhadap pelaku dan atribusi internal terhadap korban. Dalam hal ini, segala bentuk tanggung jawab situasional maupun struktural yang seharusnya dibebankan kepada pelaku justru dialihkan kepada korban. Dokter yang secara objektif telah terbukti melakukan kekerasan malah mendapatkan pembelaan, sedangkan korban yang mengalami kerugian secara fisik dan mental malah dianggap sebagai pihak yang turut andil dalam menyebabkan kekerasan tersebut. Di sinilah kesalahan atribusi bekerja secara sistematis dan tidak disadari oleh banyak pihak.

Ironinya, victim blaming yang merupakan bentuk kesalahan atribusi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga oleh pihak berwenang yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mewujudkan keadilan bagi korban. Wulandari dan Krisnani (2023) menekankan bahwa victim blaming kerap dilakukan oleh aparat penegak hukum. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum justru semakin menjatuhkan mental korban sebab norma sosial jelmaan rape myths tetap melekat di balik jabatan formal mereka. Penelitian Spears dan Spohn (dalam Campbell et al., 2015) menunjukkan bahwa para jaksa kerap kali mempertimbangkan karakter moral korban, perilaku korban saat kejadian, hingga waktu korban membuat laporan ke kepolisian dalam menentukan kelanjutan proses hukum atas kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Penelitian ini juga menekankan bahwa proses atribusi yang dilakukan jaksa lebih condong pada penilaian terhadap peran gender tradisional daripada mempertimbangkan relasi kuasa antara korban dan pelaku. 

Rape Myths: Patriarki yang Mengalihkan Kesalahan Pelaku ke Korban

Amy Rose Grubb dan Emily Turner menyatakan bahwa victim blaming memiliki kaitan erat dengan rape myths atau mitos perkosaan. Dalam tulisannya yang berjudul Cultural Myths and Supports for Rape (1980), Burt mendefinisikan rape myths sebagai prasangka, stereotip, atau kekeliruan tentang perkosaan dan pelaku serta korban perkosaan. Stereotipe dan prasangka tersebut disebut mitos karena berusaha merekonstruksi penyebab pemerkosaan dengan menitikberatkan kesalahan pada korban alih-alih pelaku. Hal ini didasari oleh gagasan bahwa kekerasan seksual tersebut sebenarnya dapat dihindari. Contohnya, perkosaan kerap dipercaya sebagai sesuatu yang terjadi akibat perilaku korban: korban yang dianggap menggoda pelaku dengan mengenakan pakaian terbuka, keluyuran pada malam hari, serta sama-sama setuju untuk melakukan hubungan badan. Sementara itu, pelaku yang menjadi penyebab utama justru dipandang sebagai pihak yang tidak bersalah. Sekalipun tindakannya terbukti salah, dosa pelaku akan diampuni melalui rape myths. 

Kelahiran rape myths ke tengah masyarakat dilatarbelakangi oleh konstruksi gender yang dianut oleh masyarakat (Wulandari & Krisnani, 2020). Norma patriarki yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat membuat perempuan mendapatkan porsi yang tidak seimbang dengan laki-laki dalam persoalan gender. Akibatnya, perempuan hanya mengisi posisi subordinat yang berfungsi sebagai pelengkap bagi dominasi laki-laki dalam tatanan masyarakat. Norma patriarki yang masih melekat dengan erat juga melahirkan peran gender tradisional yang mengkhususkan urusan domestik kepada perempuan dan urusan publik kepada laki-laki. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, peran gender tradisional hadir melalui pepatah “sumur, dapur, dan kasur”. Artinya, peran perempuan direduksi menjadi sebatas pengurus rumah tangga dan pelayan suami.

Dalam bukunya yang berjudul Against Our Will; Men, Women, and Rape, Susan Brownmiller menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan yang memfasilitasi maskulinitas laki-laki berakar dari konstruksi gender yang membuat mereka merasa lebih superior ketimbang perempuan. Laki-laki yang mengekspresikan maskulinitas dan hawa nafsunya, termasuk melalui kekerasan seksual, dianggap sebagai sesuatu yang sah. Sementara itu, perempuan lebih rentan disalahkan karena masyarakat telah terbiasa memandang tubuh dan perilaku perempuan sebagai objek pengawasan moral. Rape myths pun pada akhirnya tumbuh subur dalam tatanan masyarakat. Akibatnya, ketika terjadi kekerasan seksual, beban pembuktian dan pengendalian justru dibebankan kepada korban, bukan pelaku. Masyarakat lebih mudah memercayai narasi bahwa perempuan memancing kekerasan daripada mempertanyakan struktur kuasa yang memungkinkan kekerasan itu terjadi. 

The Perfect Victim: Untuk Dikasihani pun Harus Memenuhi Syarat

Selain itu, stereotipe dan prasangka yang dilatarbelakangi oleh konstruksi gender juga melahirkan konsep the perfect victim. Nils Christie, kriminolog asal Norwegia, mengemukakan bahwa masyarakat cenderung memiliki bayangan ideal tentang sosok yang pantas disebut sebagai korban. Sosok ini dikenal sebagai the perfect victim, yakni individu yang secara sosial dianggap paling layak menerima simpati dan perlindungan. Karakteristik korban ideal ini biasanya meliputi seseorang yang dipandang bermoral tinggi, tidak memiliki keterkaitan atau hubungan kuasa dengan pelaku, serta tidak memiliki peran atau tanggung jawab dalam peristiwa kejahatan yang menimpanya. Dalam kasus kekerasan seksual, hal ini menjadi sangat problematik karena masyarakat cenderung hanya memihak pada korban yang sesuai dengan konsep the perfect victim. Contoh dari the perfect victim yang selama ini hidup dalam benak masyarakat secara publik adalah perempuan yang berpenampilan sopan, menunjukkan ekspresi trauma yang jelas, dan dianggap tidak mungkin memancing perilaku seksual. 

Konsep the perfect victim pun dilestarikan oleh rape myths yang lahir dan berkembang dalam masyarakat. Rape myths berfungsi sebagai alat untuk memilah dan mengklasifikasi korban yang pantas untuk diberi simpati dan korban yang pantas untuk disalahkan. Ketika seseorang tidak memenuhi ekspektasi sosial tentang the perfect victim, masyarakat cenderung melakukan victim blaming dengan mempertanyakan validitas kasusnya atau bahkan menyudutkannya. Akibatnya, banyak korban merasa tidak aman untuk bersuara, karena mereka tahu bahwa kepercayaan publik tidak didasarkan pada kenyataan yang kompleks, tetapi pada narasi sosial yang penuh bias. Dengan kata lain, rape myths adalah bahan bakar bagi konsep the perfect victim. Keduanya menegaskan bahwa hanya korban ideal yang pantas didengar dan dipercayai, sementara korban lainnya disisihkan, disalahkan, atau direduksi menjadi pihak yang layak diragukan. Relasi ini tidak hanya menyulitkan perjuangan korban untuk memperoleh keadilan, tetapi juga memperkuat sistem yang melanggengkan kekerasan seksual itu sendiri.

Dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter PPDS Unpad dan dokter kandungan di Garut, korban diperkosa dan dilecehkan oleh dokter yang memiliki otoritas medis dan status institusional. Alih-alih mendapatkan simpati, korban justru diragukan karena tidak memenuhi ekspektasi masyarakat tentang the perfect victim: tidak langsung melapor, berada dalam posisi yang dianggap cukup aman untuk melawan, serta mengetahui risiko, khususnya untuk kekerasan seksual oleh dokter kandungan yang terjadi di tengah praktik pengecekan kandungan. Kedua kasus ini menegaskan bahwa selama masyarakat masih memelihara rape myths dan bayangan mengenai the perfect victim, maka korban kekerasan seksual akan terus mengalami penghakiman sosial, bukan perlindungan.

Sudah Saatnya Kita Menggunakan Perspektif Korban dalam Menyikapi Kasus Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup kesehatan bukan sekadar perkara individu yang menyimpang, melainkan cerminan dari sistem yang selama ini membiarkan kekuasaan tak terbatas bersarang tanpa pengawasan. Ketika profesi yang diberi kepercayaan justru menjadi ruang pelampiasan kuasa dan hasrat, maka kita patut bertanya: di mana letak perlindungan yang semestinya dijanjikan oleh institusi medis?

Kita juga perlu mengakui bahwa respons masyarakat terhadap kasus-kasus ini kerap kali tidak berpihak kepada korban. Victim blaming, rape myths, sampai the perfect victim bukan hanya merusak upaya pelaporan, tetapi juga membungkam kebenaran sebelum sempat terdengar. Ketiga hal ini saling bertaut, membentuk satu simpul kebisuan yang menghimpit suara korban, menambah luka di atas luka, dan merelakan pelaku berjalan tanpa beban.

Sudah saatnya kita menggunakan perspektif korban dalam menyikapi dan menanggapi kasus kekerasan seksual. Perspektif korban tidak semata-mata berbicara tentang keberpihakan emosional, melainkan tentang cara melihat kekerasan sebagai ketimpangan relasi kuasa yang perlu dipulihkan dengan keadilan. Pendekatan yang berpusat pada korban (victim-centered approach) menolak untuk menilai pengalaman traumatis berdasarkan standar moral masyarakat atau stereotipe sosial. Sebaliknya, pendekatan ini mendorong kita untuk mendengarkan, memercayai, dan melindungi korban, apa pun latar belakang mereka dan bagaimanapun cara mereka bertahan. Dalam relasi medis, kepercayaan antara pasien dan dokter adalah fondasi utama. Ketika fondasi itu dirusak oleh kekerasan, maka yang diperlukan bukan penyangkalan sosial, tetapi pemulihan yang berpihak pada korban.

Menanggapi kekerasan seksual dengan menggunakan perspektif korban berarti menggeser fokus dari pertanyaan, “kenapa korban tidak melawan?” menjadi “apa yang membuat pelaku merasa berhak untuk menyerang?”. Artinya, yang perlu diperiksa bukan lagi perilaku korban, melainkan sistem, relasi kuasa, dan kebiasaan sosial yang membiarkan pelaku leluasa bertindak. Perspektif ini penting tidak hanya untuk memulihkan korban, tetapi juga untuk mengikis akar kekerasan yang tertanam dalam budaya, institusi, dan cara berpikir kita sehari-hari.

Selama kita masih menimbang-nimbang layak tidaknya seorang korban dipercaya, maka kekerasan akan terus menemukan jalannya. Sudah saatnya kita berpihak, bukan pada kenyamanan sosial yang penuh ilusi netralitas, tetapi pada korban yang selama ini dipaksa diam oleh suara-suara yang tak pernah benar-benar ingin mendengarkan.

Penulis: Alya Fitri Ramadhani
Editor: Natalia Daniella Carla Sitorus
Desainer: Naraya Raissa Aqila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *