Transformasi Digital dan Potensi Terkikisnya Budaya Indonesia

Transformasi digital bagaikan pisau bermata dua. Ia dapat menimbulkan manfaat namun juga mudarat. Dalam hal ini, di tengah keragaman budaya yang dimiliki Indonesia, siapa sangka bahwa transformasi digital dapat mudah mengikis budaya yang ada tersebut? Hal ini dapat terjadi ketika masyarakat abai dengan esensi transformasi digital yang ada.

Saat ini, kemajuan teknologi yang ada terus menuntut adanya transformasi digital . Dilansir dari www.sas.com, transformasi digital diartikan sebagai perubahan berbagai aspek kehidupan dari yang sebelumnya menggunakan sistem manual menjadi sistem modern yang dianggap lebih mudah dan efisien. Dalam hal ini, manusia harus terus beradaptasi dengan segala perubahan teknologi yang ada.

Beberapa tahun ke belakang, industri 4.0 telah membawa dunia pada transformasi dunia digital yang menjamur dengan pesat. Transformasi digita kian memudahkan proses interkasi dan komunikasi berbasis digital. Oleh karena ini, berbagai negara pun mulai menerapkan transformasi digital tersebut. Adapun Indonesia juga tak luput dari transformasi digital tersebut.

Di Indonesia, teknologi yang ada tergolong cukup maju.  Meski begitu, nyatanya masyarakat Indonesia masih kurang siap mengadaptasi teknologi yang ada. Buktinya, hingga hari masih banyak masyarakat yang kurang bijak dan kurang pemahaman dalam menggunakan teknologi. Akibatnya, masyarakat menjadi sulit memilah kebenaran informasi dan pesan dari teknologi yang digunakannya.

Agar transformasi digital yang ada justru tidak menjadi bumerang, masyarakat perlu selektif dalam berteknologi. Sebab, tidak selamanya transformasi digital membawa keuntungan. Kurang siapnya adaptasi masyarakat justru dapat melunturkan otentitas dan ciri khas yang ada di Indonesia. Salah satunya ialah mudah mengikis budaya di negara kita

Dalam hal ini, sayangnya sebagian besar masyarakat Indonesia justru tidak menyadari perubahan yang ada dalam teknologi sehingga menjadi kurang adaptif. Hal ini seperti yang dikatakan Sejarawan Bahar Merdu bahwa ketidaksadaran masyarakat justru bisa semakin mengikis budaya daerah negara kita.

 “Transformasi digital tentu saja menyebabkan perubahan secara aspek sosial, ekonomi, perilaku manusia dengan berbagai sikap. Perubahan dalam cara beragama pun tidak terkecuali.” Jawab Bahar melalui pesan WhatsApp.

Menurut Bahar, transformasi digital dapat berdampak terhadap suatu budaya.. Transformasi tersebut dapat mengakibatkan terjadi asimilasi yakni percampuran atau benturan antar budaya yang bisa melahirkan budaya baru setiap negeri.

Percampuran budaya yang ia maksud itu bisa menjadi sebuah kekayaan budaya dan menjadi daya tarik bangsa Indonesia. Namun pada realitasnya, meski terjadi benturan budaya tersebut, karakter otentik setiap budaya akan selalu ada. Hal ini karena budaya memiliki akar pondasi yang berasal dari masyarakat dan seorang budayawan memiliki cara tersendiri untuk mempertahankan budaya tersebut.

“Walau begitu, tak dapat dipungkiri bahwa itu (transformasi digital) bisa mebuat budaya diperlakukan berbeda meski tidak dilupakan. Seringkali budaya justru diperlakukan sebagai ornamen a atau seremoni saja,” jawabnya.

Adapun berbeda dengan Bahar Merdu, Widhiarcani Matradewi dosen Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Udayana mengatakan, era digital justru berpengaruh terhadap budaya di Indonesia. Budaya yang terpengaruh itu ialah budaya kerja, budaya membaca, budaya menulis, budaya bersosial, dan budaya lainnya yang berorientasi pada media digital.

“Saat ini kita dapat membaca berita online dan mencari pengetahuan via internet pun lebih mudah daripada mencari tahu lewat koran, buku-buku di perpustakaan atau text book hardcopy. Demikian juga budaya menulis. Orang lebih memilih menulis di media daring seperti menulis di blog atau media sosial atau membuat e-book ketimbang menulis di koran,” jawab Widhi.

Dalam hal ini, Widhi optimis bahwa transformasi digital yang terjadi hari ini berpengaruh pada perkembangan budaya yang ada di masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa bahasa daerah kemungkinan besar akan punah jika masyarakat tidak memahami betul esensi budaya tersebut. Kepunahan tersebut bisa terjadi lebih cepat jika saat ini masyarakat sudah mulai tidak menggunakan bahasa daerah.

 “Contohnya kalau di Bali, bahasanya kan berkembang karena penuturnya ada. Masyarakatnya juga masih beragama Hindu. Artinya, budaya Bali masih sangat digunakan dalam penerapan berkehidupan dan itu berarti masyarakat Bali sangat memahami esensi budayanya,” timpal Widhi.

Widi mengatakan, pelaku budaya harus mengikuti perkembangan digital. Menurutnya, pendidikan formal serta nonformal tentang kebudayaan harus ditingkatkan agar generasi muda  mampu memahami kebudayaan di daerahnya.

Masyarakat pun harus memahami jika budaya bisa berjalan beriringan dengan transformasi digital jika masyarakat memahami betul bahwa dirinya adalah makhluk yang berbudaya. Dalam hal ini, persaingan global pasti terjadi, namun budaya daerah harus tetap abadi. Adapun ungkapan think globally, act locally nampaknya sangat tepat dijadikan sebagai prinsip hidup masyarakat masa kini.

Ditulis oleh: Tim Hore – Hore, Mahasiswa Jurnalistik 2020
Editor: Indah Evania Putri

Please enable JavaScript in your browser to complete this form.
Name

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *