Tilang, Tulang

Aksi massa hari itu ramai luar biasa. Spanduk penolakan Revisi UU TNI berkibar di antara lautan manusia. Teriakan mahasiswa menggema, “Tolak dwifungsi! Kembalikan TNI ke barak!”

Hoeso berdiri kaku di barisan polisi, matanya lelah. Napasnya berat menahan helm dan tameng yang makin hari makin terasa seperti beban dosa. Semalam mimpinya aneh—Hoegeng, jenderal yang terkenal jujur, berdiri di samping kasurnya sambil berkata, “Kau lupa tugasmu untuk mengayomi rakyat ….”

Kini, terngiang terus suara itu, bikin jantungnya cenat-cenut. Hoeso melirik kanan-kiri, lalu mundur pelan. Di lorong sempit antara kios, dia menyelip. Pelan-pelan, seragamnya dilucuti. Kaos oblong pink tipis tersisa di badannya. ‘Maaf, Pak Hoegeng… saya menyimpang,’ gumamnya.

Di sisi lain, Tedi, sang prajurit yang dititah untuk menadah, mengatur napas. Dari matanya, ia melihat flyer bertuliskan: 

“Tidak ada dwifungsi TNI di Indonesia? 

Yakin jasad dan arwahnya tidak ada? 

Kalau begitu, jelaskan ini: 

Kenapa ada Mayjen Novi di Badan Logistik? 

Kenapa ada Laksma Ian di penyelenggara haji? 

Kenapa ada Mayjen Irham di Kementerian Pertanian? 

Kenapa ada Mayjen Maryono di Kementerian Perhubungan? 

Kenapa ada Sekretaris Kabinet yang dimanipulasi untuk Letkol Teddy?”

Dari telinganya yang turut memanas, ia mendengar teriakan mahasiswa.

“Aparat keparat!” teriak seorang mahasiswa, disusul lemparan botol mineral berisi “air teh”.

Tak sanggup menahan, Tedi naik pitam. Kakinya spontan mengejar si mahasiswa yang lari tunggang langgang ke gang. Namun, mahasiswa itu lincah, hilang entah ke mana. Tedi terengah, berdiri kebingungan di depan sebuah kios yang semi tertutup.

Rafa dari kejauhan memotret kericuhan. Keringat dinginnya menetes. Dalam hatinya berkecamuk, dia lelah melihat kondisi negerinya yang kian memburuk. ‘Kali ini harus beda,’ batinnya. ‘Saya harus bikin angle berita yang impactful, yang nyambung ke rakyat.’

Dia memperhatikan sekitar. Tak luput dari pandangannya, ia menilik Tedi… dan sosok Hoeso yang udah ganti baju, diem di depan kios. Tiba-tiba, muncul ide gila di kepalanya. Rafa menyeberang, mampir ke bangku di halaman kios itu.

“Apa kabar, Bang?” sapa Rafa tiba-tiba, sambil ngeluarin rokok. “Mau?” ia menyodorkan bungkus rokoknya.

Tedi melirik malas, tidak menggubris tawarannya. “Ngapain kau, wartawan? Nyari-nyari bahan buat jelekin kami lagi, hah?” jawabnya terburu-buru sembari memandang-mandang sekitarnya. “Saya lagi nyari rakyat keparat yang menghina kami! Kau lihat?” tanyanya, kemudian menengok dan mendongak ke arah lelaki berbaju pink.

Hoeso, yang udah duduk duluan, melirik. Sebetulnya, ia sempat melihat si mahasiswa itu lari ke belakang kios dan melompati pagar, tapi ia enggan mengungkapnya, “Gak ada.”

Rafa nyengir, menjawab pertanyaan yang sempat terpotong, “Enggak, Bang. Saya gak ada niat bikin berita kayak gitu. Saya capek nulis berita template.” Ia mengembuskan asap rokoknya. “Saya mau ngobrol aja. Lagian, demokrasi itu cakap-cakap, kan?” dengan nada sindirannya yang seakan berlanjut dengan kalimat “bukan tembak-tembakan”.

Tedi menyipitkan matanya. “Pegang omongan kau! Patuhi kode etik!” Terasa betul arogannya ini, tak takut dengan apa pun.

Seolah lupa dengan kerusuhan yang terjadi di seberang, mereka bertiga tenggelam dalam diam yang kikuk. 

Tedi mendengus, tapi akhirnya duduk juga. Hoeso diem, menahan suara. Rafa menawarkan rokoknya, yang sayangnya langsung ditolak.

Rafa memulai lagi. “Bang, saya cuma mau nanya. Kau ngerasa enggak sih… kayaknya sekarang polisi tuh udah lebih sejahtera? Bisnis pengamanan, tilang elektronik, pengawalan, dsb.”

Tedi nyengir getir. “Nah, itu dia! Polisi makan tilang, tentara makan tulang. Makanya, revisi ini penting. Biar kami juga bisa cawe-cawe di ranah sipil. Masa kalah sama polisi? Dulu kita satu atap, ABRI. Sekarang… curang. Hanya karena polisi adalah sipil yang dipersenjatai, masa duit mereka double-double. Kami? Nunggu proyekan kagak jelas!”

Hoeso nyahut lirih, “Sebenernya, saya polisi, Bang…”

Tedi menyikatnya, “Huh.. apa kata saya! Lihat? Bahkan ketika di aksi massa kayak gini, dia udah gak perlu bertugas. Pasti karena duitnya udah kebanyakan, ya?”

Hoeso, yang masih terlihat terpuruk, menanggapi, “Enggak gitu, Bang. Saya cuma ngerasa kalau institusi kami udah melenceng dari kewajibannya.”

Mata Rafa berbinar, terlintas seakan ini akan menjadi cerita yang fantastis. Ia memancingnya, “Kenapa-kenapa tuh, Bang?”

“Tadi malem saya mimpi didatengin jenderal polisi, Hoegeng,” kata Hoeso.

Belum sempat menyelesaikan, Tedi menukasnya. “Hoegeng? Polisi yang jujur itu maksud kau? Di negeri gini?” Tedi ngakak sambil ngetok-ngetok helmnya sendiri. “Halah… sekarang mana ada polisi begitu.”

Hoeso tidak menghiraukan nyinyirannya Tedi. Ia kembali bercerita penggalannya. “Hoegeng murka. Ia berteriak, ‘Kita ini aparat! Tugasnya mengamankan rakyat, bukan jadi keparat!’ Kata-katanya inilah yang bikin saya kabur dari aksi massa.”

Tedi mengerutkan dahinya, heran karena kalimatnya mirip seperti mahasiswa yang meneriakinya sebelumnya.

Rafa tersenyum. “Hakikatnya, kita bertiga itu bekerja untuk rakyat. Saya mesti supply informasi buat rakyat, kau (menunjuk ke Hoeso) mesti mengayomi rakyat, dan kau (tangan lainnya menunjuk Tedi) mesti jagain rakyat.”

Lagi-lagi dengan arogan, Tedi berkata, “Heh? Kau pikir rakyat mikirin kami? Duit kami pas-pasan, g*bl*k! Kami harus nyambi. Paham gak kau?”

Rafa nyengir kecut. “Nyambi? Negara ini negara demokrasi, ruang bercakap-cakap dan berdebat.” Ia mengetuk-ngetuk rokoknya ke asbak. “Kalian gak bisa nyambi di ranah sipil. Berbeda dengan militer yang hanya taat komando, apalagi—”

“Ragu jangan bidik; udah bidik jangan ragu,” tukas Hoeso.

Rafa menjetikkan jarinya.

Tedi memukul meja. “Halah! Kalian enggak ngerti! Revisi ini buat kesejahteraan kami.”

Rafa menghela napas. “Tapi, Bang… kau lihat daftar sekarang. Sebelum revisi pun TNI udah nyebar ke mana-mana: Bulog, Pertanian, Perhubungan, Haji, Sekretaris. Yang resmi boleh aja sepuluh lembaga… tapi kenyataan? Udah liar. Terus revisi ini mau nambah lagi. Bukannya malah makin…?” ia tak melanjutkan kalimatnya.

Tedi memalingkan matanya ke sepatu. “Kau pikir saya seneng? Kami seneng? Kami juga capek main belakang. Tapi kalau enggak gitu, mau sejahtera dari mana?”

Hoeso menggeleng-geleng. “Yang saya takut… kalau udah begini, semua melanggar hukum,” diamnya sejenak. “Giliran ngebunuh, malah diadili di internal, di peradilan militer.”

Tedi melotot. “Heh! Kau juga sama aja! Kalau demo rusuh, siapa yang seneng-seneng lampiasin emosi ke mereka? Siapa yang lempar-lemparin gas air mata? Kau!” Ia mulai menunjuk-nunjuk Hoeso, “Terus, kena sanksi apa kau, hah? Gak ada! Gampang banget alesannya ‘karena mereka melawan polisi’, halah!”

Rafa tak kuasa menahan tawanya. Ia tertawa, tipis. “Gak perlu saling ribut. Kalian itu sama aja. Kalau bisnis lagi subur, siapa yang dapet? Seragam semua, bukan rakyat.”

Tiba-tiba, seorang lelaki mendekat. Bajunya seperti preman, dengan identitas khas tertempel di pinggangnya.

“Hoeso,” panggilnya pelan, tapi tegas.

Hoeso kaget, buru-buru tegak. “Siap, Ndan!”

“Kembali ke barisan!” tegasnya, matanya melirik kartu pers yang tergantung di leher Rafa. “Kau pikir kau siapa duduk-duduk di sini sama wartawan? Kau tau risikonya kalau dianggap pembelot!?”

Hoeso menunduk. Napasnya sesak. “Siap, Ndan!”

Rafa mau buka suara, tapi tangan Hoeso terangkat, seolah meminta jangan. Perlahan, Hoeso memakai lagi seragamnya yang tergeletak di tanah di samping gang. Ia merasa berat, seakan berkhianat kepada Hoegeng.

Komandannya Hoeso, yang terlihat seperti intel, membalikkan badannya dan berjalan duluan. Sementara, secara begitu saja, Tedi berjalan ke arah sebaliknya.

Sebelum pergi, Hoeso berbisik ke Rafa, “Ibarat segelas air putih yang dituangkan ke dalam selokan, saya gak bisa melawan sistem.”

Rafa terdiam. Kamera di tangannya bergetar, tremor. Dia tahu… peristiwa ini jika dijadikan berita akan sangat laku. Namun, dia belum sempat meminta izin untuk memublikasikan obrolan itu. Dia tahu betul bahwa ngobrol dan wawancara merupakan dua hal yang berbeda. Dengan ini, ia mengurungkan niatnya untuk menulis segera.

Rafa masih terpaku di tempatnya, rokok terakhir tinggal puntung. Matanya tak lepas dari punggung Hoeso yang perlahan menjauh, kaku seperti patung. ‘Dapat!’ gumamnya ketika berhasil memotret seragam Hoeso. Semua percakapan tadi terngiang di kepalanya, berkelindan dengan suara teriakan massa yang perlahan terdengar lagi dari kejauhan.

Ia duduk terdiam, pandangannya kosong. Namun di sudut bibirnya, terbit seulas senyum getir. Ada binar kecil di matanya, semacam ide yang mendadak ada.

Ini bukan lagi soal laporan peristiwa… tapi soal keberpihakan,’ gumamnya lirih. ‘Mungkin… cerpen? Atau opini? Supaya rakyat bisa baca pelan-pelan… nelen pelan-pelan.’

Ia tak buru-buru mematikan rokok, merapikan kameranya, lalu berdiri. Kakinya melangkah pelan, kembali ke lapangan, menembus kerumunan.

Dari kejauhan, Rafa melihat Hoeso. Lelaki itu sudah kembali ke barisan, berdiri paling pinggir. Seragamnya lusuh, belepotan tanah. Mukanya sama lusuhnya. Matanya kosong. Ia tak lagi tampak seperti polisi, lebih mirip zombie sipil.

Di samping Hoeso, barisan polisi lain berdiri. Entah bagaimana, wajah-wajah mereka lebih mirip psikopat ketimbang penegak hukum. Mata merah dengan senyum angkuh. Mereka seperti menahan hasrat untuk meluluhlantak.

Lalu, Rafa melihat Tedi. Tangan kanannya mencengkeram kerah jaket seorang mahasiswa yang tubuhnya sudah lemas, bersimbah darah.

Tedi menyeringai. Sorot matanya penuh kemenangan. Seolah dunia kini dalam genggamannya. Di balik senyum puasnya, Tedi seperti iblis yang baru saja menuntaskan persembahan.

Rafa terdiam lama. Nafasnya tercekat. Semua yang ia lihat, terlalu pahit untuk dicerna seketika.

Namun di tengah ngeri itu, Rafa justru menggenggam erat kameranya. Kepalanya mengangguk pelan, seolah berkata pada diri sendiri, ‘Mungkin nanti, kalau negeri ini sudah bosan pura-pura tuli, baru mereka mau dengar.’

Tanpa menunggu lagi, Rafa berjalan cepat ke tengah kerumunan. Sembari itu, ia semakin paham… ada yang harus tetap menulis, meski tinta yang dipakai berupa darah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *