Tak Ada Merah Putih di Puncak Pinang Itu

Sejak wisuda Esemka-nya di bulan Juli tahun lalu, hingga kini Agustus, Wido masih juga belum dapat lowongan. Sudah setahun lebih ia menganggur.

Serangkaian dunia politik ia telisik, dari Pemilu hingga Pilkada, demi pemimpin yang bisa memberinya lapangan kerja. Nahas, Wido percaya padanya—pemuda yang menjanjikan 19 juta pekerjaan, tanpa berkata lantang bahwa lapangan itu hanya untuk ternaknya.

Di sisi lain, ibunya yang kerepotan karena kurangnya perabot rumah tangga, mengeluh getir.

“Wido, ibu perlu setrika-an, Nak, buat baju-baju kalian,” katanya, kemudian melirik ke tetangganya di seberang yang asik berisik. “Ibu juga pengin bisa senam-senam pake lagu, pake kipas biar gak kepanasan. Kapan ya, Nak, kau bisa punya uang.”

Sudah kesekian kalinya Wido mendengar gerutu itu. Satu-satunya cara saat ini yang bisa ia raih adalah menang lomba agustusan, HUT ke-80.

Hari perlombaan tiba, 17 Agustus 2025. 

Wido bersama timnya cemas melihat tim lawan yang sudah menyapu habis juara di tiap mata lomba. Kini, tersisa satu: panjat pinang. Persis seperti apa yang dimau ibunya, hadiahnya beragam, termasuk kipas, setrika, sound horeg (speaker).

Dengan uang sisaannya, dan rekanan saudaranya yang terlibat sebagai panitia, ia menyuapnya.

“Beri aku giliran pertama,” bisiknya kepada panitia.

“50 ribu.”

“Deal.”

Ia kemudian melempar koinnya ke udara, di depan Wido dan Prano.

“Angka!” kata Wido.

“Ok. Gambar!” kata Prano.

Yang tak Prano tahu, sisi depan-belakang koin tersebut sama, hanya angka.

Panitia membuka tangannya. “Angka.”

Wido tersenyum getir.

Sebelum peluit dibunyikan, tim Wido mengeringkan sekujur tubuhnya dari keringat agar tak licin.

PRIT!

“Ayo, satu… dua… tiga!” ucap Wido.

Teman tim Wido mulai memanjat ke bahu temannya, yang kian meninggi. Wido terakhir, dan berhasil sampai puncak. Ia dengan mudah menarik voucher kipas angin.

“Mamak, aku dapet kipas!” teriaknya.

Giliran tim Prano yang memanjat. Mereka bahkan lebih cepat sampai puncak dan mengambil voucher setrika.

“Ah gampang!” kata Prano.

Wido kesal, hanya tersisa speaker yang ia perlu. Lampu belajar, paket sembako, dan barang-barang lain, ia hiraukan.

Sekonyong-konyong, datang pria ber-hoodie pink, yang Wido kira adalah teman saudaranya, memberikan tawaran.

“Kau mau informasi spesial? Ada satu hadiah tersembunyi yang tak orang tahu.”

Kesal tak dapat setrika, ia jawab cepat. “Apa itu?”

“30 ribu.”

Wido merogoh kantong sakunya, dan tersisa hanya 25 ribu.

“Tak apa, sini.”

Orang itu mulai membisikkan perlahan. “Di ujung pohon itu ada bola emas. Ambil dan buka. Di sana ada voucher fantastis untuk ibumu!”

Wido percaya dan kembali bersemangat. Ia segera membuat formasi dengan timnya. Sedikit diubah, orang pertama jadi orang kedua yang naik. Tanpa kesulitan, kecuali… “Aduh!” teriak Wido, spontan.

Namun, dengan sigap, temannya yang teratas menariknya, menghindarinya terjatuh. Karena jika terjatuh, mereka dianggap gagal dan diganti giliran tim berikutnya.

“Makasih, kawan!”

Ia menarik bola emas itu dari kuncup.

Panitia-panitia, kawan timnya, dan tim Prano terheran. Prano bahkan terkekeh.

Ia kemudian membukanya, dan terlihat ada kertas. 

Dalam sepucuk kertas itu, huruf-huruf kian timbul satu per satu. Wido merasa heran sekaligus takjub.

“I – n – d – o – n – e – s-”

Temannya tiba-tiba berteriak. “Woi, Wido, ngapain sih? Kami udah gak kuat!”

“i – a.” Ia mengucap ulang kata itu: “Indonesia”?

“Iya, sebentar,” jawabnya, merespons temannya yang mengeluh.

Kemudian huruf mulai timbul lagi. “E – m – a – s – 2 – 0 – 4-”

Belum selesai, temannya mencapai batas. Wido perlahan terjatuh, badannya melayang dengan posisi telentang. Kertasnya terhempas. Matanya masih berusaha mencari-cari maksud dari kertas itu. Kemudian, muncul angka 5. 

Saat itu pula, sesuatu yang aneh terjadi.

Suara di sekitarnya melambat, gema teriakan merdeka terdengar seperti bisikan dari dasar sumur. Udara sekelilingnya menebal, menekan dadanya yang mengais-ngais oksigen. Di sekelilingnya, samar-samar terlihat umbul-umbul yang menggantung dengan tali, berwarna merah, putih, dan… ada biru dengan bintang, lalu tertulis 100 tahun. Lalu pandangannya tersilau oleh kertas tadi, kertas yang telah berubah. Cahaya emas merekah darinya, menyilaukan matanya, dan tiba-tiba… 

Gelap. Penging.

Wido tergoler di tanah, lalu tanah basah tiba-tiba menampar wajahnya. Ia terbangun. Belum mencerna dirinya yang menjadi lebih peot, begitu pandangannya terbuka, ia melihat ketimpangan yang sangat signifikan. Dalam satu lanskap matanya memandang, komplek rumah di sisi barat terlihat mewah nan megah; komplek rumah di sisi timur terlihat kumuh nan busuk.

Tapi, keterkejutan itu belum usai. Di sekelilingnya, puluhan pohon pinang menjulang, masing-masing dengan hadiah berbeda di atasnya. Bukan lagi kipas angin, bukan pula setrika. Kini hadiahnya adalah: voucher jabatan komisaris BUMN, voucher wakil menteri, voucher direktur BUMN khusus relawan.

(Di panggung rakyat, demokrasi dipanjat seperti batang pinang: licin, penuh lumpur kotor, dan berhadiah kekuasaan.)

Ia juga melihat: di sela batang pinang yang licin, antrean para pemanjat tampak mengenakan baju dinas—bukan olahraga; di sisi barat, lomba panjat pinang khusus untuk alumni relawan dan influencer terloyal yang digelar dengan penuh gegap gempita.

Wido mendongak tak percaya. 

Suara pengingnya kian mereda. Terdengarlah suara-suara tawa dari arah tribune—ya, di tahun ini lapangan perlombaan dibuat lebih “karnaval”. Ia menoleh—dan tercekat. Rambut-rambut blonde dengan kacamata hitam, mengenakan jas putih-putih, tertawa riuh melihat para kontestan.

Rasa tawanya ini mirip olokan, seperti saat-saat kaum penjajah memandang rendah pada pribumi yang sedang berusaha keras memanjat-manjat pohong pisang seperti monyet demi mendapatkan hadiah.

Di tengah keramaian, seorang anak kecil dengan baju yang menjuntai hingga mata kaki, menarik lengannya. Wajahnya lusuh, tangan kirinya memegang buku tulis sobek.

“Om… beneran ya, kalau bisa manjat, bisa jadi pejabat?” ia menunjuk. “Aku pengin sekolah biar punya kerja, tapi kata ibu, sekolah mahal. Aku juga pengin punya uang. Pengin beliin Ibu kipas, setrikaan, speaker.”

Suara itu meremukkan dada Wido. Dirinya yang sudah lulus saja tak bisa punya kerja, tak bisa membelikan perabot rumah yang ibu mau, pikirnya. Tapi belum sempat mengucap, pria ber-hoodie pink, kini dengan postur lebih peot, kembali muncul.

“Wido, masih ingat aku? Kau dulu hanya perlu suap 50 ribu dan kau dapat kipas angin. Sekarang, kau bisa jadi komisaris. Suap itu seperti investasi, bukan?”

“Kau… siapa sebenarnya?”

“Aku? Aku hanyalah cerminan darimu. Cerminan dari jutaan warga yang memulai semuanya dari sebuah ‘toleransi kecil’ terhadap ketidakadilan. Kau hanya satu dari mereka.”

Suara itu hilang seiring Wido ditarik oleh petugas. Ternyata panjat pinang yang sempat ia sentuh tanpa izin dokumen dari kementerian industri dianggap melawan hukum. Ia dijebloskan ke penjara.

Di dalam sel, ia berdua dengan napi lainnya. Mukanya… jauh dari standar preman, lebih mirip remaja ingusan yang begitu pulang sekolah langsung nonton anime.

“Ditangkap, Mas?” tanyanya.

“Kau pikir apa, huh?”

“Lucu sekali, katanya kau dipenjara gara-gara panjat pinang, hahaha. Kudaranai!”

“Terserah kau saja. Paling-paling kau juga dipenjara gara-gara pasang bendera One Piece di rumahmu!”

Ia terperanjat. “K-kok… k-kok tau?”

Wido turut kaget, kok bener. “Hahaha. Kudaranai!”

Ia melihat di sudut lorong, pria berjaket naruto datang menghampiri sipir. Dengan entengnya, ia membisik, dan dirinya langsung dilepaskan. Sementara, si ingusan mendekam sembari berteriak: “Tasukete, Nika!”

Tak lama, masih dengan perasaan bingung, ia dijemput jeep hitam. Begitu masker ninjanya dibuka, ia terpana dengan sosok familiar itu.

“Rasanya aku pernah melihatmu… siapa kau?” Dan ia terheran, bingung melihat tempat duduknya yang terbalik. “Huh, kenapa kebalik? Kenapa kau mengemudi di kursi sebelah kiri?”

“Ke mana saja kau? Ini semua gara-gara tahun 2025! Sial sekali partner ayahku. Katanya berani melawan antek-antek asing, bullshit! Tunduk pada tarif impor si bebek blonde itu!” Ia lalu meredakan nadanya. “Oh, ya, namaku Etes. Etes Yan.”

Wido terdiam, tertekan oleh dua hal.

Satu, antek asing dan tarif impor. Wido teringat dengan umbul-umbul yang ada warna biru bintangnya, dan para penonton berambut blonde. “Amerika? Bebek blonde… Donald? Trump?” bisiknya.

Dua, nama orang itu. Nama yang ia ingat dari dulu. Anak dari pemimpin yang dulu ia percaya. Yang menjanjikan 19 juta lapangan kerja. 

“Kau tahu, aku tertarik padamu,” katanya.

“A-apa maksudmu?”

“Sudahlah, sekarang bantu aku. Kita merangkak dari nol. Kita mulai dari relawan. Lalu lurah. Lalu bupati. Lalu…”

“Sebentar-sebentar. Kenapa kau percaya padaku? Aku cuma pengangguran yang-” 

“Menyuap panitia lomba, demi kipas angin. Begitu?” tukas Etes. “Justru karena itu. Kau seperti kami dulu. Dan kami butuh banyak seperti kau.”

Wido diam sejenak. 

“Lantas, apa maksudmu merangkak dari nol?”

“Ya… panjang ceritanya. Kakekku sudah lengser, gagal tiga periode. Sedang, ayahku dimakzulkan. Aku tak bisa lagi segera naik ke puncak seperti mereka.”

Wido terbelalak, keyakinannya semakin mencuat: benar, dia adalah anak dari pemimpin yang telah membohonginya. Ia mimisan, pusing. Matanya mulai kabur. Lalu gelap.

Dalam gelap itu, suara-suara bersahutan:

“Bayangkan jika tiap panjat pinang disuapi–”

“Kipas angin darimu yang terus berputar–”

Maka yang tumbuh bukanlah pohon harapan–”

“Sama seperti aib darimu yang terus berputar di ruang tamu.”

“Melainkan hutan busuk yang menjulang, penuh buah palsu: suap kecil, toleransi kecil, tapi berjuta-juta jumlahnya.”

Mungkin inilah suara ibu, atau pertiwi, atau keduanya—yang sedang kecewa.

Dan sebelum sunyi menelan semuanya, suara anak kecil tadi kembali terdengar. Awalnya lirih, lalu mengiblis:

“Jangan-jangan, biaya sekolah mahal itu karena… 

“OM MALING, YA!? AAARRRGGHHH! 

“OM AMBIL UANG AKU! AAARRRGGHHH!

“OM JAH-”

Suara itu mendadak tersendat, lalu bocor: muntah darah.

“…argkhh… haahh… khhh…”

Dalam gelapnya, terasa… darah merah itu perlahan menutupi sklera matanya, memudarkan putihnya sedikit demi sedikit—seolah dua warna yang dulu berkibar kini hanya tersisa luka.

Penulis: Raffael Nadhef Mutawwaf
Editor: Raismawati Alifah Sanda
Desainer: Naraya Raissa Aqila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *