Soenting Melajoe adalah surat kabar dengan perspektif perempuan yang terbit pertama kali pada tahun 1912. Tidak seperti Poetri Hindia yang digagas oleh Tirto Adhi Soerjo, seorang laki-laki, Soenting Melajoe lahir dari pemikiran Rohana Kudus, seorang perempuan Minangkabau yang lantang menyuarakan kesetaraan bagi perempuan pribumi. Posisi Rohana Kudus sebagai pencetus menjadikan Soenting Melajoe surat kabar pertama yang terbit dari dan untuk perempuan. Kelahiran Soenting Melajoe ke kancah pers Hindia Belanda dilatarbelakangi oleh kemarahan Rohana Kudus akan belenggu patriarki dalam wujud pingitan, tradisi mengurung perempuan di dalam rumah, yang pada saat itu mengekang pergerakan perempuan pribumi. Konstruksi sosial yang ada saat itu seolah melarang perempuan pribumi untuk mencicipi kehidupan di luar rumah, mulai dari pendidikan sampai pekerjaan. Kondisi perempuan pribumi yang memprihatinkan akhirnya menimbulkan hasrat dalam diri Rohana Kudus untuk menciptakan surat kabar perempuan sebagai wadah bagi perempuan pribumi untuk menuangkan aspirasi mereka yang selama ini teredam.
Rohana Kudus pun mengutarakan keinginannya pada Datuk Sutan Maharajo, pimpinan redaksi Oetoesan Melajoe, sebuah surat kabar lokal di Padang, Sumatera Barat. Datuk Sutan Maharajo yang sudah mengetahui Rohana Kudus melalui Kerajinan Amai Setia, sekolah khusus perempuan yang diprakarsai oleh Rohana Kudus, menyambut ide tersebut dengan senang hati. Ia pun akhirnya menawarkan segmentasi khusus perempuan di Oetoesan Melajoe agar Rohana Kudus dapat memuat tulisan-tulisannya di sana. Akan tetapi, tawaran tersebut ditolak oleh Rohana Kudus. Ia menginginkan surat kabar khusus perempuan, bukan sekadar segmentasi khusus perempuan. Setelah melakukan negosiasi, akhirnya Datuk Sutan Maharajo menyetujui ide Rohana Kudus. Karena Rohana Kudus tidak bisa meninggalkan kewajibannya di Bukittinggi sebagai pengurus Kerajinan Amai Setia, akhirnya Datuk Sutan Maharajo menunjuk putrinya sendiri, Zubaidah Ratna Juwita, sebagai redaktur untuk mengurus proses produksi surat kabar di Padang.
Berbeda dengan Poetri Hindia, tulisan-tulisan yang dipublikasikan di Soenting Melajoe jauh lebih progresif. Soenting Melajoe tidak hanya menuntut kesetaraan pendidikan bagi perempuan, tetapi juga dengan lantang menyuarakan berbagai penderitaan lain yang menimpa perempuan, seperti pernikahan dini dan poligami, dua hal yang saat itu masih dinormalisasi oleh berbagai lapisan masyarakat. Melalui Soenting Melajoe, Rohana Kudus berusaha untuk mengubah pola pikir masyarakat yang masih memandang perempuan melalui kacamata patriarki. Akibat usahanya ini, Rohana Kudus banyak menerima kecaman dari masyarakat konservatif yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Kendati demikian, kecaman tersebut tidak memadamkan semangat Rohana Kudus dalam memperjuangkan kebebasan bagi perempuan pribumi.
Selain menyuarakan penderitaan perempuan, Soenting Melajoe juga memberikan ruang bagi para perempuan untuk mengembangkan keterampilan mereka agar dapat mandiri secara finansial. Dalam salah satu edisi mereka yang berjudul “Perhiasan Perempuan”, Soenting Melajoe menyoroti keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan menghias pakaian yang sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan mereka. Soenting Melajoe juga menjalin mitra bersama berbagai perusahaan kecil dengan memasangkan iklan untuk mempromosikan produk mereka. Sebagian besar perusahaan yang diiklankan oleh Soenting Melajoe adalah perusahaan yang membidik perempuan sebagai target utama pasar, seperti perusahaan kain dan batik.
Sebagai surat kabar dengan perspektif yang masih asing di mata masyarakat Hindia Belanda, sepak terjang Soenting Melajoe dalam kancah pers Hindia Belanda yang didominasi oleh laki-laki terhitung sukses. Setiap tahunnya, jumlah jurnalis dan kontributor Soenting Melajoe menyentuh angka 115–196 orang. Beberapa penulis perempuan di Soenting Melajoe adalah Sitti Nurmah dari Bukittinggi, Amna Karim dari Bengkulu, dan Siti Sundari Darmobroto dari Ponorogo. Jangkauan audiens Soenting Melajoe juga tidak hanya berputar pada masyarakat Hindia Belanda, tetapi juga mancanegara. Kesuksesan Soenting Melajoe juga berhasil mendatangkan banyak kesempatan baru bagi Rohana Kudus selaku kepala redaksi. Pada tahun 1920, Rohana Kudus ditawarkan untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak di Medan, Sumatera Utara. Ketika ia kembali ke Minangkabau, Rohana Kudus diangkat menjadi redaktur di surat kabar Radio pada tahun 1924.
Setelah beroperasi selama sembilan tahun, Soenting Melajoe harus mengakhiri perjalannya pada tahun 1921 akibat kesibukan para redaktur. Kendati demikian, gema perjuangan Soenting Melajoe dalam membela nasib perempuan terus hidup dan menjadi pelatuk bagi pergerakan perempuan lainnya, terutama pada bidang pers.