Selama lebih dari satu abad, warga dunia memperingati tanggal 8 Maret sebagai International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional. Akan tetapi, International Women’s Day bukanlah peringatan yang muncul begitu saja, melainkan buah dari perjuangan panjang perempuan untuk memperoleh kebebasan dan kesetaraan.
Dilansir dari buku The Feminism Book: Big Ideas Simply Explained (2019) oleh Dorling Kindersley, International Women’s Day bermula dari unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan oleh 15 ribu buruh wanita untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami di tempat kerja pada tahun 1907 di New York, Amerika Serikat. Kala itu, kendati perempuan sudah memperoleh hak untuk bekerja, hak tersebut tidak diikuti dengan kesejahteraan di tempat kerja yang pada akhirnya membawa mereka turun ke jalan untuk menuntut pengurangan jam kerja, gaji yang setara dengan buruh laki-laki, dan hak untuk memilih.
Dua tahun kemudian, pada 8 Maret 1909, Socialist Party of America atau Partai Sosialis Amerika membawa kembali kaum buruh perempuan untuk melakukan aksi unjuk rasa di kota yang sama, yakni New York, Amerika Serikat. Berbeda dengan aksi yang pertama, unjuk rasa kali ini berfokus pada isu pemenuhan hak pilih untuk perempuan yang kala itu tidak diikutsertakan pada aktivitas politik. Aksi unjuk rasa ini akhirnya memicu berbagai aksi serupa yang dilakukan oleh kaum perempuan di negara-negara Eropa.
Konsep mengenai peringatan hari perempuan baru dicetuskan oleh Clara Zetkin, tokoh feminis-sosialis dari Jerman, pada Konferensi Internasional Perempuan Sosialis kedua yang diselenggarakan di Kopenhagen, Denmark, pada tanggal 26 sampai 27 Agustus 1910. Sebagai aktivis yang aktif menyuarakan ketidakberdayaan yang dialami oleh perempuan, Zetkin melihat bahwa buruh perempuan mengalami dua kali lebih banyak penindasan di lingkungannya, baik dalam aspek gender maupun kelas sosial. Budaya patriarki yang kala itu dipelihara dengan erat oleh masyarakat, memandang perempuan sebagai sosok yang tidak memiliki keterampilan dalam bekerja dan dapat diberi upah lebih rendah dari laki-laki tanpa adanya penolakan. Berangkat dari sana, Zetkin dan rekannya, Louise Zietsz, menginisiasikan ide peringatan hari perempuan yang harus diselenggarakan secara serentak setiap tahun oleh seluruh dunia untuk memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Ide ini kemudian disetujui oleh Zetkin selaku Ketua Konferensi Perempuan Sosialis dan ditandatangani oleh 100 perempuan dari 17 negara, termasuk tiga perempuan pertama yang berhasil menduduki kursi di Parlemen Finlandia. Kendati berhasil disahkan, konferensi ini belum menetapkan tanggal pasti untuk International Women’s Day.
Setahun kemudian, sebagai hasil dari pengesahan International Women’s Day di Kopenhagen, International Women’s Day akhirnya diselenggarakan untuk pertama kali di empat negara di Eropa, yakni Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss pada 19 Maret 1911. Lebih dari satu juta orang berpartisipasi dalam memperjuangkan hak perempuan untuk mengikuti pemilihan umum, menduduki jabatan publik, mendapatkan pelatihan kerja, dan mengakhiri diskriminasi di tempat kerja.
Sampai International Women’s Day pertama selesai diselenggarakan, belum ada kesepakatan mengenai tanggal pasti peringatan. International Women’s Day. Selama Perang Dunia I berlangsung, para perempuan di Rusia melaksanakan International Women’s Day sebagai bagian dari gerakan perdamaian untuk memprotes perang pada hari Minggu terakhir di bulan Februari 1914. Berdasarkan kalender Julian–kalender yang saat itu masih berlaku di Rusia–aksi unjuk rasa tersebut jatuh pada tanggal 23 Februari. Sementara itu, berdasarkan kalender Gregorian–kalender yang saat ini diberlakukan oleh seluruh dunia–aksi unjuk rasa itu terjadi pada tanggal 8 Maret.
Pada tahun 1917, dilatarbelakangi oleh cuaca dingin ekstrem dan kelangkaan pangan, para perempuan di Rusia melayangkan gerakan “Bread and Peace” dan kembali melakukan aksi unjuk rasa pada hari Minggu terakhir di bulan Februari–pada kalender Julian–untuk memprotes Perang Dunia I. Gerakan “Bread and Peace” dilakukan dengan cara menyerbu toko roti untuk mendapatkan makanan dan menyerukan permintaan agar Tsar Rusia pada saat itu, Nicholas II, turun dari jabatan dan mengakhiri perang.
Setelah melalui perjalanan panjang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut merayakan International Women’s Day untuk pertama kalinya pada tahun 1965. Dua tahun kemudian, pada tahun 1967, PBB akhirnya menetapkan tanggal 8 Maret sebagai International Women’s Day untuk memperingati perjuangan perempuan dalam memperoleh kesetaraan.
Sejarah panjang International Women’s Day mencerminkan perjuangan perempuan yang tidak kenal lelah dalam menuntut keadilan. Dari aksi unjuk rasa buruh perempuan di New York mengenai penindasan yang menimpa mereka sampai pengesahan oleh PBB, peringatan ini menjadi simbol penting dalam sejarah gerakan perempuan di dunia. Hingga kini, International Women’s Day bukan sekadar perayaan, melainkan juga momentum refleksi dan dorongan untuk terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan di berbagai aspek kehidupan.
Penulis: Alya Fitri Ramadhani
Editor: Natalia Daniella Carla Sitorus
Desainer: Nadia Azzahra Fauzi