Siapa yang tak kenal Rhoma Irama, penyanyi dengan julukan Raja Dangdut itu begitu masyhur dengan sahutan “Judi..!” lewat salah satu karyanya dengan judul sama yang dirilis tiga puluh lima tahun silam. Meski demikian, tahukah kalian jika lagu tersebut nyatanya terinspirasi dari Porkas, sebuah praktik judi ala Orde Baru yang begitu masif berkembang pada masanya.
Porkas atau Pekan Olahraga dan Ketangkasan merupakan ajang pengundian menebak hasil pertandingan olahraga yang dapat diikuti oleh masyarakat untuk mendapatkan hadiah utama, dan biasanya sepakbola kerap menjadi acuannya. Porkas juga merupakan plesetan dari praktik serupa di Inggris, yakni forecast. Bukan sekedar iseng belaka, istilah ini tercipta kala Presiden Soeharto mengutus Menteri Sosial (Mensos) Mintaredja pergi ke Inggris untuk mempelajari sistem perjudian dan lotre. Selama dua tahun, Mensos Mintaredja melakukan ‘studi banding’ terhadap praktik dan sistem forecast, agar kettika diterapkan di Indonesia tidak kentara betul judinya dan sebagai penyempurnaan sistem yang telah ada. Pada tahun 1985, barulah Porkas resmi diluncurkan sebagai praktik pengundian di Indonesia lewat regulasi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1954 Tentang Undian dan Surat Keterangan Menteri Tahun 1985.
Teknik bermainnya pun cukup dengan membeli kupon, lalu menulis tebakan hasil pertandingan (menang, imbang, atau kalah) dari 14 tim yang bermain di liga utama sepak bola nasional, dan hasilnya akan diundi. Sangat simpel dan mudah, dua ungkapan yang mungkin muncul di benak masyarakat Indonesia saat itu. Padahal kenyataannya, peluang untuk memenangkan porkas adalah 1:10 juta, dimana artinya pemain harus membeli 10 juta kupon yang diisi dengan 10 juta kemungkinan berbeda untuk bisa mendapatkan hadiah utama secara mutlak.
Staf Ahli Kementerian Sosial saat itu, Ahmed Soeriawidjaja mengatakan bahwa sistem porkas memang sengaja dirancang sesulit mungkin untuk menang agar mereka tak lekas merugi. Ternyata ada tujuan utama diciptakannya Porkas, yakni sebagai salah satu sumber pemasukan baru bagi negara yang hasilnya digunakan untuk kepentingan pembangunan serta mendukung pendanaan acara olahraga berskala nasional.
Praktik Porkas sungguh memberikan ilusi kemenangan nyata kepada para pemainnya, dimana mereka berharap mukjizat akan muncul di depan mata dan lekas mendadak kaya. Walau nyatanya tak seindah demikian, dimana mereka justru terjebak dalam gaya hidup yang berfokus pada harapan memenangi judi Porkas. Justru kemenangan mutlak berkat Porkas diberikan kepada pemerintah dan Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), yang dikelola oleh Robby Sumampow. Dengan skema pembagiannya yaitu 50 persen untuk penyelenggara, 30 persen untuk negara, dan sisanya kepada pemenang-sonder pajak atau potongan lainnya. Bahkan sepanjang tahun 1987, Porkas berhasil mendapatkan dana sebesar 221,2 miliar Rupiah dari pemainnya.
Akan tetapi, praktik Porkas nyatanya juga mendapat penolakan dari masyarakat, terutama dari kelompok-kelompok Islam. MUI dan sejumlah organisasi keagamaan masyarakat lainnya menilai bahwa Porkas merupakan judi jadi-jadian alias terselubung. Sementara itu, pemerintah berdalih bahwa Porkas adalah praktik pengundian, bukan judi. Alhasil, masyarakat kembali melakukan aksi demonstrasi di sejumlah titik. Tak ketinggalan pula, penyanyi dangdut Rhoma Irama juga menciptakan sebuah lagu berjudul Judi, sebagai bentuk penolakan terhadap keberadaan praktik judi di Indonesia dan memberikan awareness kepada pendengarnya bahwa judi dapat menjadi racun kehidupan dan iman. Barulah di tahun 1993, praktik Porkas resmi dihentikan walaupun masih terdapat beberapa praktik judi bawah tanah yang terus eksis hingga kini.
Masihkah Judi Eksis?
Tak jauh berbeda dengan Porkas, kini praktik judi marak dilakukan dengan menebak hasil skor pertandingan utamanya sepakbola. Hanya saja terdapat sistem dan cara-cara yang berubah, dimana juri kini bergeser ke situs-situs online agar menjangkau lebih banyak orang, sekalipun judi adalah suatu tindakan ilegal. Larangan pemerintah pun kini hanya seperti suara knalpot motor matic yang telah dirombak, mengganggu namun bisa dihindari dan hanya lewat beberapa kali saja.
Jika kita menelisik lebih dalam, situs-situs judi saat ini menggunakan server luar negeri sehingga sulit bagi pemerintah untuk menutup ataupun memblokir situs tersebut. Belum lagi, setiap negara mengadopsi judi secara berbeda-beda dan tidak semua negara mengharamkan praktik judi. Selain itu, situs judi nyatanya juga bersembunyi dibalik nama situs yang tidak terlihat, dan jikalau berhasil ditutup maka situs baru pun siap dibuat.
Lantas, mengapa orang masih saja bermain judi? Tentu saja, mereka (pemain) terjebak dalam suatu ilusi akan kemenangan, sehingga merasa bisa mendapatkan hadiah besar yang dijanjikan dan mampu mengubah nasib mereka secara cepat, padahal modal yang dikeluarkan sangatlah tidak sepadan. Bahkan dalam kasus “judi bola online“, fanatisme terhadap klub dapat menjadi salah satu motifnya, dimana rasa percaya dan bangga klub favoritnya akan menang dapat menjadi motivasi untuk berjudi.
REFERENSI SUMBER
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/9163
Penulis : Achmad Adriezky
Editor : David Kristian
Designer : Amira F. Zahra