“Fashion is political.”
Fesyen bukan hanya soal selera dan estetika. Setiap potong pakaian selalu mencerminkan identitas, ideologi, relasi kuasa, bahkan keberpihakan politik seseorang. Relasi kuasa yang membentuk tubuh, identitas, hingga takdir sosial hadir secara tersembunyi pada setiap helai pakaian yang dikenakan seseorang, tak terkecuali pada busana tradisional kebanggaan perempuan Indonesia: kebaya. Kebaya sudah lama tampil sebagai simbol budaya dan identitas nasional yang dikenakan dalam wisuda, pernikahan, upacara adat, hingga perayaan kenegaraan. Kini, kebaya bukan hanya sekadar pakaian seremonial, melainkan sarana untuk mengekspresikan kebebasan. Akan tetapi, di balik makna dan tujuannya yang kini sangat beragam, kebaya pernah menjadi alat represi negara yang mereduksi peran dan perjuangan perempuan.
Kebaya, Perjuangan Emansipasi Kartini, dan Makna Kebaya pada Era Kemerdekaan
Jauh sebelum negara modern membingkai identitasnya lewat seragam nasional, kebaya telah hidup dalam keberagaman budaya Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan, kebaya menjadi pakaian sehari-hari perempuan dari berbagai kalangan dan kelas sosial, mulai dari pribumi, priyayi, sampai Belanda dengan variasi bentuk, motif, dan cara pakai yang merefleksikan kompleksitas etnis dan kelas sosial. Menurut Taylor (dalam Nordholt, 2005), penanda perbedaan kelas dan status sosial antara perempuan dari kalangan priyayi dan kalangan biasa terletak pada bahan tekstil kebaya beserta kain bawahannya. Sementara itu, pembeda antara perempuan Belanda dan pribumi terletak pada model kebayanya.

Salah satu tokoh pada era tersebut yang identik dengan kebaya adalah Raden Ajeng Kartini, priyayi yang terkenal atas perjuangannya terhadap emansipasi perempuan. Beberapa dokumentasi lawas Kartini beserta adik-adiknya menunjukkan kesamaan berupa kebaya yang mereka kenakan. Dari sana, kebaya mulai dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap budaya patriarki yang pada saat itu membelenggu pergerakan perempuan. Penggunaan kebaya sebagai simbol perlawanan pun diperkuat ketika Indonesia mulai mendeklarasikan kemerdekaan. Pada saat itu, Presiden Soekarno merasa memerlukan pakaian yang dapat dijadikan identitas nasional Indonesia. Pilihannya pun jatuh kepada kebaya yang menjadi simbol perlawanan. Salah satu pionir dari penggunaan kebaya sebagai identitas politik bangsa adalah jurnalis perempuan S.K. Trimurti. Pada salah satu dokumentasi legendaris proklamasi kemerdekaan, S.K. Trimurti berdiri di samping ibu negara saat itu, Fatmawati, dalam balutan kebaya. Semenjak itu, kebaya menjadi salah satu simbol politik dan perlawanan bangsa Indonesia. Bahkan, Fatmawati selalu mengenakan kebaya dalam setiap kunjungan kenegaraan.
Ibuisme dan Rekonstruksi Makna Kebaya pada Era Orde Baru
Memasuki Orde Baru, kebaya pun mengalami pergeseran makna. Pada saat itu, Soeharto menyebarkan paham ibuisme sebagai bentuk domestikasi perempuan. Dikutip dari buku Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011) karya Julia Suryakusuma, ibuisme adalah ideologi gender yang menciptakan stereotipe gender kaku-baku dan bertujuan untuk membatasi peran perempuan sekaligus mengontrol serta menciptakan tatanan yang hierarkis. Ibuisme mereduksi peran perempuan menjadi sebatas “ibu” dan “istri”, bukan entitas yang memiliki otonom tersendiri. Ibuisme yang memandang bahwa kedudukan utama perempuan hanya sebagai seorang istri pun melahirkan budaya “ikut suami”, sebuah kultur yang terealisasi pada berbagai organisasi istri pegawai negeri sipil cetusan negara seperti Dharma Wanita. Dengan begitu, negara dapat mengontrol laki-laki yang kemudian mengontrol istri masing-masing. Sebaliknya, istri juga mengontrol suami mereka dan para istri pegawai sipil yang lebih muda dalam Dharma Wanita.
Ibuisme adalah cara negara memanipulasi dan memperalat perempuan untuk memperkuat kekuasaan negara. Dalam paham ibuisme, perempuan harus melayani anak-anak, keluarga, masyarakat, dan negara. Melalui organisasi istri pegawai negeri sipil, negara memanipulasi perempuan dengan cara memberikan status, jabatan, dan kegiatan yang seolah memberdayakan perempuan, padahal sebenarnya mereduksi peran perempuan. Ibuisme yang menjadi propaganda negara bahkan tercantum dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam laporan Pelita IV yang mencakup periode 1984–1989, dinyatakan bahwa perempuan memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, sejalan dengan ibuisme, pemerintah juga menekankan bahwa kesetaraan hak bagi perempuan dalam proses pembangunan bukan berarti perempuan harus meninggalkan kodrat mereka sebagai ibu dan istri (Suyakusuma, 2011). Jadi, walau pemerintah secara resmi mendukung kesetaraan gender bagi perempuan dalam tataran hukum, pada hakikatnya, kebijakan tersebut dipenuhi oleh subordinasi tersirat.
Singkatnya, ibuisme adalah ideologi yang mereduksi peran perempuan menjadi sebatas ibu dan istri yang hanya berkutat pada urusan domestik. Selain melalui organisasi istri pegawai negeri sipil yang melestarikan upaya domestikasi, kebaya juga menjadi alat yang digunakan oleh pemerintah dalam menyebarkan ideologi ibuisme. Kebaya yang pada awalnya menjadi simbol perlawanan pun bertransformasi menjadi alat domestikasi perempuan. Pada akhirnya, fungsi dan pemaknaan kebaya dipersempit oleh kelompok Dharma Wanita dan PKK, serta melalui pemakaian kebaya pada acara-acara resmi dan kenegaraan dengan model yang dipakemkan. Ibu negara pada saat itu, Tien Soeharto, menjadi patron bagi perempuan Indonesia yang berkebaya sekaligus menjadi wajah dari ibuisme (Trismaya, 2021).
Kala itu, perjuangan Kartini dalam emansipasi perempuan Indonesia mengalami reduksi hingga tingkat paling rendah. Perlawanan Kartini terhadap patriarki dan sistem feodal disederhanakan menjadi “Kebaya Kartini”, seolah-olah warisan perjuangannya hanya terletak pada bentuk busana, bukan pada gagasan radikal tentang pendidikan, kebebasan berpikir, dan kemerdekaan perempuan. Perayaan Hari Kartini pun dimeriahkan oleh lomba busana dan kegiatan simbolik yang menegaskan peran domestik perempuan, seperti kompetisi memasak dan merias diri. Kebaya pun ditarik sepenuhnya ke ranah seremonial yang steril dari kritik. Dalam kondisi itu, kelompok-kelompok perempuan progresif dan feminis menolak kebaya dengan seluruh tafsir negara. Bagi mereka, kebaya versi negara hanyalah simbol pembodohan dan penjinakan, bukan pemberdayaan. Ketika pakaian dijadikan alat kontrol dan pelabelan identitas yang kaku, maka ia kehilangan daya politisnya dan justru menjadi sarana represi.
Makna Kebaya Pasca Reformasi
Reformasi membuka ruang baru bagi perempuan untuk menegosiasikan kembali relasi kuasa yang sebelumnya dikontrol negara. Seiring dengan runtuhnya Orde Baru, kebaya perlahan dilepaskan dari tafsir tunggal yang mengekangnya. Dalam dua dekade terakhir, kebaya tidak lagi sepenuhnya diasosiasikan dengan domestikasi atau simbol kepatuhan. Berbagai kampanye daring yang mempromosikan penggunaan kebaya pada kehidupan sehari-hari pun mulai bermunculan di media sosial, seperti akun @kebayadaily di Instagram beserta tren berkebaya di TikTok yang mengajak perempuan Indonesia untuk melestarikan kebaya sebagai pakaian sehari-hari atau daily wear. Kebaya yang tadinya hanya dikenakan pada perayaan tertentu mulai bertransformasi menjadi pakaian sehari-hari yang dapat dikombinasikan dengan fashion item lain, seperti jeans, celana bahan, bahkan sepatu boots. Perlahan, para perempuan kembali menghidupkan budaya penggunaan kebaya dalam keseharian sebagai bentuk kebebasan berekspresi, bukan sebagai alat untuk melestarikan budaya patriarki. Kebaya kini lebih banyak dipahami sebagai warisan budaya yang bisa dirayakan, dirawat, sekaligus ditafsirkan ulang sesuai dengan pengalaman personal masing-masing pemakainya.
Rekonstruksi makna kebaya dari masa ke masa menjadi pengingat bahwa pakaian dapat menjadi alat politik yang merefleksikan dinamika kuasa, identitas, dan perlawanan. Di tangan rezim, kebaya bisa dijadikan seragam yang menundukkan. Akan tetapi di tangan perempuan hari ini, kebaya dapat kembali hidup sebagai simbol kebebasan. Dari ruang publik hingga dunia digital, kebaya menandai bahwa warisan budaya tidak pernah statis, melainkan selalu bergerak mengikuti arah zaman. Pada akhirnya, kebaya bukan sekadar pakaian, melainkan ruang perlawanan simbolik: cara perempuan menulis ulang sejarah tubuhnya sendiri dan menolak reduksi peran yang diwariskan masa lalu.
Penulis: Alya Fitri Ramadhani
Editor: Natalia Daniella Carla Sitorus
Desainer: Kendra Luvena Cintanayla