Di bawah langit kolonial Hindia Belanda, perempuan pribumi hidup dalam kungkungan norma yang membatasi gerak dan suara mereka. Sistem sosial yang kental dengan feodalisme menempatkan perempuan pada posisi subordinat, di mana ruang hidup mereka dibatasi oleh tiga hal: dapur, sumur, dan kasur. Sejak lahir, mereka dididik untuk menjadi istri yang patuh dan ibu yang setia, dengan tugas utama merawat rumah tangga dan mengabdi kepada suami. Pendidikan, jika pun diperbolehkan, hanya sebatas keterampilan domestik yang tidak mengancam dominasi laki-laki.
Dalam tatanan yang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk berpikir dan berpendapat, pers perempuan hadir sebagai suara perlawanan. Pada masa ini, pers tidak hanya berperan sebagai corong informasi, tetapi juga sebagai alat perjuangan untuk meruntuhkan dinding patriarki yang membelenggu. Kelahiran surat kabar perempuan di era Hindia Belanda bukanlah sekadar peristiwa sejarah, melainkan bukti bahwa perempuan pribumi memiliki kesadaran untuk melawan penindasan dan menuntut hak mereka atas pendidikan, pekerjaan, serta kebebasan berpendapat.
Sejarah mencatat bahwa perjalanan pers perempuan di Hindia Belanda dimulai dari keberanian sekelompok perempuan yang menolak diam. Poetri Hindia, surat kabar perempuan pertama di Indonesia, menjadi tonggak awal pergerakan ini. Didirikan oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers dan kebangkitan nasional yang juga dikenal sebagai Bapak Pers Nasional, surat kabar ini lahir pada 1 Juli 1908 dengan visi yang jelas: memajukan kecerdasan perempuan pribumi. Kelahiran Poetri Hindia dilatarbelakangi oleh posisi subordinat kaum perempuan di bawah belenggu budaya feodal yang menarik empati Tirto Adhi Soerjo. Berbeda dengan surat kabar lain yang pada saat itu jarang melibatkan perempuan, Poetri Hindia hadir sebagai wadah bagi perempuan untuk berbicara tentang kehidupan mereka, menyampaikan keluh kesah, dan menuntut hak-hak yang selama ini terpinggirkan.
Poetri Hindia berkomitmen penuh untuk merealisasikan kesetaraan pendidikan bagi kaum perempuan agar dapat membebaskan mereka dari tradisi dan adat yang mengekang. Poetri Hindia juga menjadi wadah bagi perempuan pribumi untuk menuangkan aspirasi dan gagasan mereka dalam menghapuskan diskriminasi gender yang saat itu menimpa seluruh perempuan di Hindia Belanda. Bersama Poetri Hindia, Tirto Adhi Soerjo berusaha untuk menegaskan bahwa norma-norma feodal yang selama ini mengekang perempuan harus ditinggalkan dan emansipasi perempuan adalah hal yang harus diperjuangkan.
Komitmen Poetri Hindia dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan juga dapat dilihat melalui susunan redaksi yang sepenuhnya diisi oleh perempuan, mulai dari kepala redaktur hingga anggota. Setelah Tirto Adhi Soerjo turun dari jabatannya sebagai kepala redaktur pertama Poetri Hindia, posisi tersebut selanjutnya diisi oleh R.A. Hendraningrat yang menjadi kepala redaktur perempuan pertama dalam sejarah pers Indonesia. Selain R.A. Hendraningrat, perempuan pribumi turut mengisi jajaran redaksi Poetri Hindia, seperti R.A. Mangkoedimedjo dari Yogyakarta, S.N. Norhar Salim dari Bukittinggi, R.A. Tjokroadikoesoemo dari Cianjur, R.A. Hendraningrat dari Tangerang, serta Raden Fatimah dan Siti Habiba dari Bogor. Sementara itu, posisi jurnalis diisi oleh R.A. Arsad dari Batavia, Raden Sinta Mariana dari Cilegon, M. Loro Nasiah Rogoatmodjo dari Bogor, R.A. Soetanandika dari Ciamis, R.A. Pringgowinoto dari Rembang, R.A. Tirtoadiwinoto dari Ponorogo, Soeida dari Makassar, dan Toean Poetri Radja Fatimah dari Maluku. Susunan redaksi Poetri Hindia yang sepenuhnya diisi oleh perempuan pribumi membuktikan visi utamanya dalam memajukan kecerdasan perempuan pribumi dengan memberikan ruang bagi mereka untuk menyuarakan aspirasinya.
Konsistensi Poetri Hindia sebagai wadah bersuara perempuan berhasil mendobrak stigma terkait pers yang kental dengan maskulinitas. Dedikasi Poetri Hindia dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi perempuan pribumi juga berhasil meraih banyak apresiasi dari dalam dan luar negeri. Bahkan, Poetri Hindia berhasil mendapatkan apresiasi dalam bentuk hadiah dari Ratu Emma dari Belanda, ibunda Ratu Wilhelmina, sebagai tanda dukungan terhadap visi Poetri Hindia dalam memajukan kecerdasan perempuan pribumi.
Empat tahun setelah kelahiran Poetri Hindia, Tirto Adhi Soerjo diburu oleh pemerintah Hindia Belanda atas tulisan-tulisan progresifnya yang banyak menargetkan pemerintah. Akibatnya, Poetri Hindia terpaksa menghentikan aktivitasnya pada tahun 1911 setelah menerbitkan 40 edisi.
Jejak perjuangan Poetri Hindia dalam sejarah pers perempuan Indonesia membuktikan bahwa suara perempuan tidak bisa selamanya dibungkam. Meskipun umurnya singkat, pengaruh Poetri Hindia melampaui batas waktu dan menginspirasi lahirnya berbagai surat kabar perempuan lain yang meneruskan semangat emansipasi. Keberanian Poetri Hindia dalam menantang norma yang mengekang perempuan menjadi bukti bahwa pers bukan sekadar alat penyebaran informasi, tetapi juga ruang perlawanan dan perubahan. Di tengah tantangan zaman yang terus berkembang, semangat yang diwariskan oleh Poetri Hindia tetap relevan—bahwa perempuan berhak bersuara, berpikir, dan menentukan masa depannya sendiri.