Sekilas ada yang menepuk bahu seorang lelaki dan bertanya, “Siapa itu Marsinah?” Lelaki itu seketika diam, memandang mata sang penanya dan bertanya, “Kamu lahir tahun berapa, dik?” “Aku lahir tahun 96’,” katanya. Untuk sejarah yang seharusnya tidak tersegmentasi oleh umur, kemalangan Marsinah terangkat menjadi cerita yang diilustrasikan pada monolog “Membangkitkan Marsinah”.
“Medium untuk menyampaikan pesan adalah melalui seni. Maka, saya putuskan untuk mengangkat kisah Marsinah melalui monolog,” kata Reggi Kayong selaku Pemimpin Produksi. Monolog ini diprakarsai oleh Studi Teater Universitas Islam Bandung (STUBA) juga Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) pada Minggu, 15 Mei 2016.
Belum lama ini, ada banyak kabar beberapa acara yang dibubarkan dengan alasan yang tidak jelas. Seperti Wanggi Hoed, seniman yang belum lama ini ditangkap. Lain halnya dengan represi yang diterima Wanggi, ia turut mengapresiasi apa yang dilakukan STUBA.
“Sudah 23 tahun tanpa keadilan untuk Marsinah. Padahal yang dia tuntut hanya kenaikan upah sebesar 550 rupiah. Bagi saya, Marsinah adalah perempuan yang berani untuk menyuarakan keresahan atau hak dari kaum buruh. Berbeda dengan tuntutan upah yang disuarakan oleh kaum buruh saat ini. Hak-haknya juga harus disuarakan. Maka, menurut saya, ini penting untuk diangkat,” tutur Wanggi.
Masuk pada pertunjukan waktu menujukan pukul 18.30, pengunjung mulai berdatangan. Ilustrasi Marsinah terpampang pada halaman depan Kampus Unisba. “Monolog Marsinah segera dimulai, silahkan masuk,” tiba-tiba seorang lelaki berteriak.
Ketika mereka sampai di hadap panggung, tersorot sebuah lukisan di latar panggung dengan lampu yang menguning. Mendadak semua hening. Sedikit demi sedikit, tubuh seseorang bergerak dari balik kain bewarna merah. Bermula dari rambut, muka, hingga setengah badannya. Marsinah, buruh kecil yang melawan kesewenang-wenangan memperlihatkan sosoknya. Matanya bertemu dengan penonton. “Demokrasi, demokrasi, demokrasi! Aku kira negara ini sudah memilikinya?” teriaknya. Teriakan itu membungkam penonton. Mereka tersadar bahwa monolog sudah dimulai.
Tidak hanya kasusnya yang ia bahas, Salim Kancil dan Munir juga dibawa dalam cerita. Marsinah berdiri, menahan tangis, hingga mual ingin memuntahkan kekalutan peristiwa yang diderita korban aniaya Kritik itu terus mengalir bersama teriakannya. Berulang kali penonton menyambutnya dengan tepuk tangan. Ditambah kedekatannya membahas media sosial yang mewakili zaman saat ini.
Tetap skeptis, Marsinah menyuarakan siapa yang bergerak secara langsung atau hanya menggunakan media sosial sebagai alat pergerakan saja. Kalimat beraksen jawa kian terlontar dari mulutnya. Sesekali ia menyelipkan kata “jancuk” untuk memerangi para penguasa secara lisan.
Ada yang tertawa ada pula yang diam. Tepuk tangan penonton semakin menggetarkan panggung monolog. Lampu kuning tiba-tiba memerah. Sayup terdengar suara hentakan kaki.
“Bubar, bubar!,” Seketika penonton memalingkan wajah mereka. Dua orang itu datang dari hadap panggung. Marsinah membisu kaku. Rupanya, dua orang yang berseragam itu naik ke atas panggung. Baju dan rok buruh itu dilucuti seperti orang tak berdaya. Hanya menatap ke langit, menahan tangis. “Komunis!,” teriak mereka yang berseragam.
Lampu meredup dan penonton bersorak diiringi tepuk tangan yang hangat. Tak terasa, itulah akhir dari monolog Membangunkan Marsinah. Begitu pula akhir dari Shella Karina sebagai pemeran Marsinah. Setelah menempa dirinya selama satu bulan meresapi sosok Marsinah, Shella mengaku telah melewati tantangan yang besar.
“Aku ternyata butuh waktu untuk “membangunkan” Marsinah dalam diri. Untuk menghafal naskah, aku cuma punya lima hari, waktu itu. Sebelum dan setelah tidur pasti aku baca naskah. Sampai satu kampus ini manggil aku ,’Mar’. Sekarang rasanya lega sudah bisa memerankan Marsinah,” ujarnya
Shella juga menyuarakan kekagumannya terhadap semangat yang dimiliki Marsinah. “Dia, perempuan, berani ngontrog Kodim dan menanyakan, ‘temen-temen urang pada di mana?’” tuturnya mengeluarkan logat Sunda, seolah medok Marsinah tiada lagi.
Arief Ramadhan selaku ketua KMJ juga menyuarakan harapannya. Setelah 23 tahun berselang, kasus Marsinah tidak kunjung diadili. Itulah urgensi yang diangkat dari monolog ini sehingga bisa menularkan semangat kesejahteraan dan keadilan yang dimiliki Marsinah.
Paralel dengan itu, lampu panggung seketika menyala. Seorang perempuan naik ke atas panggung. Suaranya agak serak saat bertutur. Ia adalah Ani Herningsih, rekan sekaligus sahabat dari Marsinah.
“Saya baru tahu keadaan Marsinah itu satu tahun setelah ia ditemukan tewas,” tuturnya.
Ani mengisahkan hal tersebut di depan wajah ahistoris maupun historis. Mereka diam, sesekali ada yang mengusap air mata. Latar lukisan itu seolah bernyawa disorot lampu yang menguning. Ani masih ingat saat ia mendapat kabar bahwa Marsinah telah tiada. Sambil memegang mikrofon, diiringi isak tangisnya, ia berkata, “Sampai saat ini, saya selalu menganggap Marsinah masih ada. Itulah yang selalu menjadi motivasi saya untuk memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh.”