Kemanakah Punk Berlabuh/Bertaruh?

Punk? Orang-orang dengan rambut mohawk? Yang suka pake kaos Misfits atau The Bollocks? Jaket kulit? Sepatu Docmart? Sex Pistols atau Ramones? Aa nge-punk juga? Sebenarnya, apa sih punk itu?

Apa itu Punk?! 

Punk merupakan abreviasi dari bahasa Inggris, yaitu Public United Not Kingdom. Punk lahir sekitar awal 70-an, sebagai bentuk perlawanan terhadap genre musik rock yang pada saat itu membutuhkan skill mumpuni dalam musikalitas–fuck skill let’s rock lah kalo kata Sir Dandy mah. Tidak hanya sebatas musik, pada masa awal tersebut para musisi menyuarakan perlawanan sosial dan politik melalui musik. Saat itu, kenaikan tingkat pengangguran dan kriminalitas melesat tinggi tercipta berkat para kaum politis. Hal tersebutlah yang memicu kaum muda kelas pekerja–yang memiliki kesulitan ekonomi–untuk menjadikan punk sebagai bentuk perlawanan yang baru. Distorsi keras, beat drum dengan tempo cepat, aksi panggung yang atraktif, dan syair-syair perlawanan menjadi api yang membara bagi para pemuda.

Bila ditelisik lebih jauh, pionir punk bisa ditelusuri melalui dua band dari dua negara berbeda. Di Inggris, Sex Pistols menjadi pengemuka di benua Eropa. Mereka bermusik untuk melawan otoritas kerajaan Inggris. Lihat saja dari salah dua lagu mereka, “Anarchy In The U.K” dan “God Save The Queen”. Berkat dua lagu tersebut Sex Pistols jadi public enemy di Inggris.

Di Amerika, hadirnya CBGB melahirkan Ramones. “Blietzkrieg Bop”-nya berhasil menarik kaum muda untuk menyalurkan emosi mereka. Para pemuda menjadikan Hey! Ho! Let’s Go!–penggalan lirik “Blitzkrieg Bop”–sebagai anthem. Bagi Ramones tiga chord saja sudah cukup untuk membentuk semangat perlawanan bagi para pemuda.

Punk Sebagai Jalan Hidup 

Namun seiring dengan perkembangannya punk tidak hanya sebagai sebuah genre musik yang menyuarakan perlawanan saja. Lebih dari itu, punk kini telah menjadi sebuah subculture bagi para pengikutnya. Tentu saja, sebuah subculture memiliki ideologi, kepercayaan, serta perilaku yang berbeda dengan yang lainnya.

  1. Etos Do It Yourself (D.I.Y)
    Komunitas punk melakukan segala sesuatunya dengan sendiri. Mereka lebih percaya melakukan segala sesuatu secara sauyunan akan lebih bebas dan mudah. Ideologi ini terbentuk akibat sifat mereka yang anti sosial.
  2. Anti Kemapanan
    Komunitas punk tidak menganggap bahwa “business is no. 1”. Mereka tidak berorientasi pada benefit. Kebanyakan dari mereka tidak meng-komersialisasikan apa yang telah dibuatnya.
  3. Counter Culture
    Punk yang telah berkembang menjadi subculture melawan hegemoni kultur-kultur yang mainstream dan dominan. Punk tidak akan patuh pada standar umum yang telah ada. Dalam urusan gaya berpakaian misalnya, para pemeluk subculture punk tidak menyukai mereka yang bergaya teratur dan rapi. Para pemeluk subculture punk lebih menyukai gaya yang bebas, urakan, serampangan, dan rebel.
  4. Equality
    Semua adalah sama tidak ada yang beda. Tidak ada si kaya dan si miskin. Tidak ada laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan dalam hal latar belakang. Semua hak dan kewajiban dimiliki oleh siapapun di mata para pemeluk punk.
  5. Bergerak di Bawah Tanah
    Dengan bergerak di bawah tanah, para penganut punk menjadi lebih tahu realitas sosial yang ada. Dengan begitu, pemberontakan dan perlawanan lebih cepat terjadi karena respons penganut punk yang sangat peka dalam melihat realitas sosial. Jon Savage lewat bukunya, England’s Dreaming: Anarchy, Sex Pistols, Punk Rock, and Beyond (1992), menjelaskan bahwa punk sangat melekat pada pemberontakan — hidup dan berkembang di jalanan serta menjunjung tinggi individualitas.
  6. Anarkis
    Anarkis tidak selalu berarti huru-hara atau lebih jelasnya kekerasan. Anarkisme disini maksudnya adalah kebencian kepada hierarki dan otoritas. Punk tidak percaya pada pemerintahan, aturan, dan undang-undang. Punk sangat “jijik” terhadap penguasa, karena merekalah yang menjadikan para penganut punk tidak bebas.

    “Semua orang takkan patuh, Semua cinta takkan runtuh, Oleh kuasa (ah-ah), Suara kita. Takkan menyerah di bawah tanah, Kabar baik menunggumu, Datang hari tanpa batas, Tanpa negara…”

    Penggalan lirik “Bertaruh Pada Api” dari Dongker menjelaskan apa itu anarkis. Walaupun, akhir-akhir ini lagu tersebut agak tidak relevan, kenapa? simak selengkapnya di website Gilanada.

Warning! Sebelum membaca lebih lanjut, ada baiknya membaca part 1 dulu di media Sibiru.



Punk Hari Ini!

Bila disimpulkan dari ideologi-ideologinya, punk sejatinya melawan penguasa serta tidak tunduk pada pemerintah dan aturan. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir semangat musisi punk yang begitu menggelora itu perlahan-lahan mulai kehilangan arah, tergoyahkan oleh berbagai macam ‘godaan’ yang berusaha menutup rapat mulutnya untuk bersuara. Bahkan, mereka yang dulunya begitu menyampahi omong kosong politik, kini justru seperti menunjukkan pesonanya sebagai bestie dari politik itu sendiri.

Belum lama ini dunia punk tanah air diguncang isu politik. Salah satu personil band Dongker yang beraliran punk, Delpi, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, pada Pemilihan Umum 2024 mendatang. Lebih lagi, setelah ditelusuri lebih lanjut, Delpi menjabat sebagai ketua partai di Kota Blitar. Pencalonan ini tentu saja mencederai hati seluruh penggemar Dongker dan pastinya musik punk di Tanah Air. Bahkan, showcase perilisan single baru Dongker bertajuk “Tuhan di Reruntuhan Kota” yang seharusnya digelar 5 Maret 2023 dibatalkan.

Pergerakan Delpi untuk nyebur ke dalam ajang pesta demokrasi lima tahunan tersebut sangat senyap–mungkin Delpi mengimplementasikan ideologi bergerak di bawah tanah. Keputusan yang dibuat Delpi–entah itu sudah final atau masih mikir dua kali–telah melawan apa yang sudah dipegang teguh oleh penganut punk itu sendiri. Ibarat pepatah lama “menelan ludah sendiri”, sikap kritis dan kebebasan yang sudah lama diwariskan secara turun-temurun, bahkan menolak keras bantuan pihak lain (utamanya mengandung unsur politis), nyatanya justru diterima dengan penuh sukacita oleh pihak terkait. Huft, sungguh miris!

Akan tetapi jauh sebelum Delpi “Dongker,” mungkin kita pernah mendengar pengangkatan Abdi Negara Nurdin a.k.a. Abdee “Slank” sebagai Komisaris Independen PT. Telkom Indonesia (Telkom) Tbk, pada Mei 2021 silam. Pengangkatan Abdee menjadi bagian dari keluarga anak usaha BUMN itu jelas menimbulkan kontroversi, sebab Menteri BUMN – Erick Thohir maupun pihak Telkom sekalipun tak membeberkan alasan mengapa Abdee dipilih.

Apakah Punk Telah Mati?

Nyatanya, Sumbu api ‘punk sebagai perlawanan’ masih menyala. Coba lihatlah ke sekitar, bahan bakar kemarahan tak kunjung habis. Selagi penindasan dan ketidakadilan masih ada di muka bumi, mereka akan terus “bertaruh kepada api” dan menjaganya agar tidak padam. Semangat tersebutlah yang menjadikan punk masih ada sampai hari ini.

Selain itu, bilamana ketidakbebasan juga mengikuti penindasan dan ketidakadilan untuk menciptakan sistem, maka punk akan terus hadir melawan. Gairah perlawanan yang dinamakan membebaskan kebebasan akan terus digaungkan oleh para penganut punk. Sekali lagi, “api perlawanan punk masih ada dan akan terus menyala!” karena seorang punk menolak untuk menjadi individu yang dijerat rantai bernama sistem. Seorang punk bergerak mewakili dirinya sendiri secara bebas.

Penulis : David Kristian dan Rizki Ardirachman Fadillah
Desainer : Bethari Damara Setia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *