*Tulisan ini mengandung spoiler Film SORE
Pendapat Warganet Tentang Aurora dan Isu Climate Crisis di Film SORE
Dalam film Sore: Istri dari Masa Depan, banyak warganet yang berpendapat bahwa film ini tidak hanya membawa tema romansa dan fiksi ilmiah, tapi juga isu tentang perubahan dan krisis iklim yang diselipkan tipis-tipis. Sore digambarkan sebagai sosok dari masa depan yang datang membawa peringatan tentang perubahan iklim yang berubah menjadi krisis iklim. Sementara Jonathan kemungkinan adalah representasi orang-orang keras kepala yang susah untuk berubah meskipun dampak isu perubahan iklim sudah di depan mata.
Salah satu pengguna X menyebut bahwa masa depan dalam film SORE diperkirakan terjadi di rentang tahun 2023–2025. Sedangkan waktu nol Jonathan dan Sore dimulai sekitar tahun 2015–2017, di mana kala itu isu perubahan iklim atau climate change sedang gencar disuarakan. Hal ini diperkuat dengan salah satu kalimat milik Karlo yang menyebut Jonathan mirip dengan anak 13 tahun yang terlalu peduli soal isu perubahan iklim. Warganet meyakini sosok yang dimaksud merujuk pada Greta Thunberg, aktivis muda yang dikenal luas karena kepeduliannya terhadap isu lingkungan pada rentang masa tersebut.

Menjelang akhir film, Jonathan mengatakan bahwa krisis iklim tidak hanya akan merusak dan mengganggu kehidupan, tapi juga akan menutupi keindahan alam, salah satunya aurora. Kalimat ini menjadi renungan untuk kita. Seperti yang dikatakan Greenpeace Indonesia dalam postingannya di Instagram mengenai isu krisis iklim dari film SORE, kita sering lupa kalau alam sudah memberkati kita dengan keindahan. Sudah seharusnya kita menjaga mereka agar generasi di masa depan bisa tetap melihat keindahan tersebut, termasuk aurora.
Di dalam film, aurora sendiri memiliki peran penting. Cahaya hijau dan merah yang terlukis di langit tidak hanya mempercantik sinematografi film. Sejumlah warganet meyakini aurora adalah “sosok” penjaga waktu yang menjaga batas antara masa lalu dan masa depan.
Kembali ke dialog Jonathan, jadi apakah benar krisis iklim bisa memengaruhi aurora? Bagaimana fenomena langit itu sebenarnya terbentuk? Dan, apa saja dampak dari krisis iklim? Apakah hanya lingkungan yang terpengaruh, atau lebih dari itu?
Mengenal Cahaya Cantik di Belahan Bumi Utara dan Selatan
Dilansir dari National Geographic, aurora muncul akibat aktivitas matahari. Matahari memancarkan partikel bermuatan listrik yang disebut ion. Ion-ion ini akan mengalir terus menerus keluar dari matahari, dan membentuk angin yang disebut angin matahari (solar wind).
Saat angin matahari mencapai bumi, ia bertemu dengan medan magnet bumi, terutama di wilayah kutub. Sebagian besar angin akan dibelokkan oleh magnetosfer, dan sebagian kecil masuk ke ionosfer. Nah, di sanalah ion bertabrakan dengan molekul oksigen dan nitrogen. Tabrakan ini melepaskan energi berbentuk cahaya berwarna-warni yang kita kenal dengan aurora. Fenomena ini biasanya terjadi di ketinggian 97–1.000 km dari permukaan bumi.
Meskipun angin matahari umumnya stabil, aktivitas matahari dapat berubah-ubah tergantung kondisi area gelap dan dingin di permukaan matahari bernama bintik matahari (sunspots). Ketika jumlahnya banyak, biasanya muncul suar matahari (solar flares) dan lontaran massa koronal (coronal mass ejections) yang memperkuat angin matahari. Aktivitas ini mengikuti siklus 11 tahunan. Saat puncaknya, aurora biasanya tampak sering muncul dan lebih terang. Bahkan, setiap ekuinoks (posisi matahari berada tepat di garis khatulistiwa) terjadi peningkatan aktivitas angin matahari yang menyebabkan badai magnetik. Badai ini membuat aurora bisa terlihat sampai ke wilayah yang jauh dari kutub.
Menariknya, aurora tidak hanya terjadi di Bumi. Planet lain seperti Jupiter dan Saturnus juga memiliki aurora sendiri, bahkan dalam skala yang jauh lebih besar.
Aurora dianggap sebagai salah satu fenomena langit paling menakjubkan yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Secara umum, ada dua jenis aurora: Aurora Borealis (northern lights) yang muncul di bumi belahan utara seperti Arktik, negara-negara Skandinavia, Kanada, dan Rusia; dan Aurora Australis (southern lights) yang bisa dilihat di bumi belahan selatan seperti Antartika, Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara di Amerika Selatan. Meski berbeda lokasi, umumnya kedua fenomena tersebut memiliki bentuk visual yang sama.
Aurora tercatat sudah disaksikan oleh masyarakat lokal jauh ribuan tahun yang lalu. Dalam legenda Finlandia, aurora adalah percikan seekor revontulet (rubah api) yang melintasi langit. Sementara legenda dari Suku Maori meyakini aurora adalah cahaya dari obor leluhur mereka yang berlayar.
Menurut penelitian, bukti tertua Aurora Borealis diduga tercatat dalam lukisan gua dari Zaman Batu yang berusia sekitar 30.000 tahun di Prancis. Aristoteles juga mencatat hal ini sekitar 2.300 tahun yang lalu dan menyebutnya sebagai chasmata. Di dalam bukunya “Meteorologi” ia mengatakan “terkadang pada malam yang cerah, kita melihat berbagai penampakan yang terbentuk di langit: misalnya ‘jurang’ dan ‘parit’ serta warna merah darah.” Selain itu, sejarah juga mencatat prasasti dari bangsa Asiria mencatat adanya sinar merah mencolok yang kemungkinan besar merupakan penampakan aurora.
Tidak hanya itu, catatan sejarah lain yang dilansir dari Astronomy.com mengatakan bahwa pada 2022 peneliti menemukan dokumen sejarah yang menggambarkan “cahaya lima warna” di langit utara. Dokumen ini diyakini muncul pada akhir masa pemerintahan Raja Zhao dari Dinasti Zhou. Meskipun para peneliti tidak bisa menentukan tanggal pasti, mereka menyimpulkan bahwa orang Tiongkok dahulu melihat fenomena tersebut sekitar tahun 977–957 SM.
Saat itu, aurora masih disebut sebagai Cahaya Utara dan Cahaya Selatan. Barulah pada 1621 M, Galileo Galilei menamai cahaya utara sebagai Aurora Borealis, yang menggabungkan nama Dewi Fajar dalam mitologi Romawi, Aurora, dan Dewa Angin Utara dalam mitologi Yunani, Boreas. Sementara di bagian selatan, pada 1770 M, Kapten James Cook mencatat penampakan Cahaya Selatan yang diberi nama sebagai Aurora Australis saat pelayarannya ke Australia.
Kalau Begitu, Apa Hubungannya dengan Climate Crisis?
Seperti yang sudah dibahas di atas, aurora terbentuk dari interaksi angin matahari dengan medan magnet bumi, yang artinya secara umum hal ini tidak dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Namun, sejak beberapa tahun yang lalu, istilah perubahan iklim atau climate change bergeser menjadi climate crisis. Dalam artikel ilmiah milik Maipas & Kavantzas (2024), hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, istilah “climate change” memiliki dua definisi berbeda antara IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), yang mengatakan climate change mencakup perubahan iklim alami dan antropogenik (buatan manusia); dan definisi milik UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang hanya merujuk pada perubahan akibat aktivitas manusia. Hal ini dikhawatirkan dapat membingungkan masyarakat umum dalam memahami seberapa besar peran manusia pada perubahan iklim. Selain itu, ada alasan yang lebih kuat. Perubahan iklim dirasa sudah semakin parah sehingga istilah “climate crisis” dianggap lebih akurat untuk menunjukkan bahwa kita berada dalam situasi darurat yang membutuhkan aksi yang cepat dan tepat.
Lalu, bagaimana krisis iklim bisa memengaruhi aurora? Dilansir dari website The Nature Network, salah satu dampaknya adalah penyusutan atmosfer bagian atas, seperti ionosfer akibat pemanasan global. Lapisan ini akan mendingin dan menjadi lebih padat karena peningkatan kadar karbon dioksida. Perubahan ini berpotensi mengurangi interaksi partikel angin matahari dengan atmosfer. Interaksi yang lebih sedikit dapat mengubah tampilan visual aurora. Kemudian, pemanasan global juga menyebabkan langit di wilayah khusus untuk mengamati aurora menjadi lebih sering tertutup awan. Semakin sering langit ditutupi oleh awan, semakin sedikit pula kesempatan untuk melihat aurora dengan jelas.
Selain berdampak pada aurora, seperti yang kita tahu, krisis iklim juga memiliki dampak negatif yang besar bagi lingkungan. Contohnya, suhu rata-rata global terus meningkat dan memicu gelombang panas yang lebih sering dan intens, perubahan pola curah hujan, kekeringan, serta cuaca ekstrem lainnya. Es di laut dan gletser pun diperkirakan akan mencair dan menyebabkan kenaikan permukaan laut hingga dua meter di akhir abad ini. Tidak hanya itu, lautan juga ikut memanas hingga mengganggu ekosistem laut dan menyebabkan pemutihan terumbu karang. Menurut NASA, lapisan es di Arktik bahkan diprediksi bisa hilang sepenuhnya saat musim panas sebelum pertengahan abad 21.
Jadi, Apakah Climate Crisis Hanya Memengaruhi Lingkungan Saja?
Menurut Klinenberg dan Koslov (2020), dalam perspektif sosiologi, krisis iklim bisa dikaitkan sebagai hasil dari kebijakan sistem ekonomi dan politik. Contohnya, negara-negara maju dengan aktivitas industri yang besar, biasanya menyumbang emisi dalam jumlah masif yang memperburuk krisis iklim. Namun ironisnya, kelompok yang paling terkena dampak buruknya justru masyarakat negara berkembang terutama kelompok rentan, seperti masyarakat adat, perempuan, anak-anak, hingga orang miskin.
Dari sisi perekonomian global, krisis iklim sangat mengganggu keberlanjutan program SDGs (pembangunan berkelanjutan). Pada 2023, dikutip dari Kompas, tercatat kerugian perekonomian mencapai 60 persen. Selain itu, cuaca ekstrem merusak sektor pangan yang menyebabkan harga pangan melambung naik dan menyebabkan inflasi yang memengaruhi ekonomi rumah tangga.
Sementara berdasarkan artikel milik Maipas & Kavantzas (2024), krisis iklim bahkan memicu krisis kesehatan dengan munculnya penyakit menular baru, penyebaran penyakit seperti nyamuk Aedes aegypti yang menyebar di mana-mana, hingga terganggunya akses terhadap air bersih dan makanan sehat bergizi. Selain itu, kualitas udara akan menurun akibat kebakaran hutan atau emisi yang memperparah penyakit pernapasan. Perpindahan penduduk akibat bencana krisis iklim juga memperbesar resiko penularan penyakit dan infeksi. Tidak hanya itu, tekanan hidup dari dampak negatif krisis iklim turut memicu gangguan kesehatan mental.
Melihat dari penjelasan sebelumnya, maka sudah jelas jawaban untuk pertanyaan di atas adalah: tidak. Krisis iklim tidak hanya memengaruhi lingkungan saja. Ia juga berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, dan keseharian kita.
Penulis: Diandra Wafiyatunnisa
Editor: Raismawati Alifah Sanda
Desainer: Muhammad Haeron