Budi, nama yang paling sering kita temui dalam buku mata pelajaran Bahasa Indonesia atau Kewarganegaraan. Budi biasanya dikisahkan sebagai anak laki-laki yang baik. Ia anak yang cerdas, pandai, dan baik hati. Biasanya dalam buku-buku tersebut, Budi berkawan dengan Ani, Tono, dll. Budi sering kali diceritakan selalu ingin membantu orang lain, meski tanpa derma. Kemudian, ada pertanyaan yang selalu muncul dalam benak saya yang sudah menamatkan pendidikan sekolah dasar sejak 9 tahun lalu, bagaimana sosok budi yang sebenarnya? Siapa dia?
Pertanyaan ini mengantarkan saya mencari siapa itu ‘Budi’. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia ‘Budi’ berarti alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Istilah ‘Budi’ dalam bahasa Inggris juga memiliki pemaknaan yang tak jauh berbeda. ‘Budi’ dalam bahasa Inggris berarti ‘Mind’, yang menurut Webster Dictionary berarti kecakapan intelektual atau rasional dalam diri manusia. Dari kedua pengertian secara harfiah itu bisa kita diartikan bahwa ‘Budi’ adalah paduan akal, perasaan, intelektual, dan rasionalitas dalam diri manusia.
Penelusuran saya soal ‘Budi’ tak berhenti sampai di situ. Saya menggunakan mesin pencari Google untuk menelusuri ‘Budi’. Saat ‘Budi’ diketik di Google, anjuran pencarian yang muncul secara berurutan adalah Budi Gunawan, Budi Waseso, Budidaya Kroto, dan Budidaya Jamur. Agak menggelitik memang, bagaimana niatan saya mencari ‘Budi’, malah berjumpa dengan kroto, telur yang dihasilkan semut. Tapi siapa Budi Gunawan dan Budi Waseso? Kedua Budi itu adalah dua pria berseragam coklat yang santer dibicarakan di media belakangan ini.
Budi Gunawan adalah nama yang sempat menjadi calon tunggal Kapolri namun gagal karena status tersangka yang dicantolkan padanya oleh KPK pada Januari lalu. ‘Beruntung’ Budi bisa lolos dari status tersangka lewat putusan hakim Sarpin Rizal yang memutuskan penetapan tersangka terhadapnya oleh KPK tidak sah, tapi mimipi menjadi Kapolri pupus sudah. Budi Gunawan memang sudah lolos dari kasus korupsi, tapi justru malah KPK kemudian menempati posisi kriminal. Perkara kriminalisasi KPK ini tak lepas dari peran Kabareskrim Budi Waseso, setidaknya itu yang dikatakn Ray Rangkuti, Aktivis Lingkar Madani.
Masih soal Polri, KPK, dan Kapolri. Nama Budi Waseso ternyata malah menjadi salah satu nama yang kemudian digadang-gadang menjadi Kapolri, menggantikan nama Budi gunawan. Kecaman dari berbagai pihak pun mulai bermunculan untuk menolak ‘Budi’ lain menjadi seorang Kapolri. Akhirnya, memang yang menjadi Kapolri bukan salah satu dari kedua ‘Budi’ tersebut. Nama Badrodin Haiti, tanpa embel-embel ‘Budi’ didaulat menjadi Kapolri saat ini. Lucunya, meski dilarang dan dikecam menjadi Kapolri, Budi Waseso dan Budi Gunawan saat ini masih punya peluang menjadi pendamping Badrodin. Tampaknya Polri masih butuh sosok ‘Budi’.
Melihat sekelumit kasus yang melibatkan kedua ‘Budi’ tersebut, tentu sangat jauh dari apa yang kita bayangkan saat mendengar nama ‘Budi’ waktu Sekolah Dasar dulu. Budi di sana tidak diceritakan akan berurusan dengan KPK ataupun menjadi Kapolri. Sampai saat ini saya belum pernah melihat lagi buku pelajaran Bahasa Indonesia, mungkin saja buku tersebut sudah mengikuti perkembangan zaman dan mulai mengisahkan banyak ‘Budi’ dari SD Bhayangkara yang sering berkelahi dengan anak dari SD KPK. Mungkin saja.
Penggunan nama ‘Budi’ dalam kedua sosok pewayangan dunia kepolisian tersebut setidaknya mengikis arti dan nama baik ‘Budi’ yang asli. Budi tidak lagi dikenal dengan akal, perasaan, intelektual, dan rasionalitas, tapi ‘Budi’ kini dikenal dengan kriminalisasi, dan korupsi. Mungkin ‘Budi’ memang sudah berubah, tapi ada satu ‘Budi’ yang rasanya tidak akan pernah berubah arti serta semangat juangnya. Budi itu bukan Budi Gunawan, Budi Waseso, ataupun Budi-budi lainnya, dia adalah Budi Utomo. Sebuah organisasi yang lahir dari semangat perjuangan Indonesia.
Budi Utomo
Budi Utomo lahir sebelum orang mengenal Budi-Budi yang sedang terkenal dengan balutan seragam coklat itu. Pada tanggal 20 Mei 1908, Budi Utomo didirikan oleh seorang mahasiswa School tot Opleiding voor Indlandsche Arsten (STOVIA) bernama Sutomo. Sutomo sendiri merupakan murid dari dr. Wahidin Sudirohusodo (1857-1917), seorang tokoh pendidikan di Indonesia yang sangat peduli pada masalah dan status priyayi di Indonesia.
Budi Utomo lahir karena rasa kepedulian para priyayi soal pendidikan di negeri ini. Tak heran jika awalnya organisasi ini memusatkan programnya pada sektor pendidikan, terutama untuk wilayah Jawa dan Madura. Salah satu programnya berbunyi “de harmonische ontwikkeling van land en volk van Jawa en Madura” (kemajuan yang harmonis bagi nusa Jawa dan Madura), menggambarkan betul bagaimana awal berdirinya Budi Utomo memang untuk memajukan Jawa dan Madura.
Tak hanya Jawa dan Madura, Budi Utomo juga mencakup masyarakat Sunda dan budaya sunda yang cukup erat kaitannya dengan Budaya Jawa. Setelah mencakup Jawa dan Madura, dan memliki tujuh cabang di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo Budi Utomo melaksanakan kongres pertamanya di Yogyakarta pada 5 Oktober 1908. Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama
Selain pengangkatan ketua, kongres tersebut juga menghasilkan tujuan organisasi yaitu; Kemajuan yang harmonis antara bangsa dan negara, terutama dalam memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik industri, serta kebudayaan. Pengurus Budi Utomo pada kongres ini merupakan dewan pimpinan yang didominasi oleh para pejabat golongan tua, dan para pemuda sebagai motor atau penggeraka organisasi.
Budi Utomo pada awalnya bukanlah sebuah organisasi politik, namun pada perkembangannya Budi Utomo mendapatkan dorongan untuk menjadi sebuah partai politik. Salah satu tokoh yang menginginkan Budi Utomo menjadi sebuah partai politik adalah dr. Cipto Mangunkusumo. Ia ingin Budi Utomo menjadi partai politik untuk memperjuangkan rakyat Indonesia secara luas, tidak hanya untuk kalangan priyayi dan di Jawa-Madura saja.
Pada tahun 1915, Budi Utomo akhirnya ikut aktif dalam dunia politik. Budi Utomo aktif dalam “Inlandsche Militie” dan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat). Budi Utomo juga tergabung dalam “Radicale Concentratic” yakni persatuan aliran-aliran yang dicap kiri dalam Volksraad. Pergerakan Budi Utomo dalam memperjuangkan bangsa Indonesia, mempelopori berdirinya beberapa organisasi politik lain di Indonesia, seperti Indische Partij dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1927, Budi Utomo bergabung dalam PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang dipelopori oleh Ir. Soekarno, murid dari H.O.S. Tjokroaminoto pendiri Sarekat Islam. Dengan semangat Budi Utomo yang semakin meluas, tidak hanya berpaku pada Jawa dan Madura saja, pada tahun 1935 Budi Utomo memutuskan untuk bergabung dengan PBI (Partai Bangsa Indonesia) pimpinan dr. Sutomo yang sebelumnya juga anggota Budi Utomo menjadi Parindra (Partai Indonesia Rakyat).
Organisasi pemuda pertama di Indonesia ini memang tidak sampai ke hari kemerdekaan Indonesia. Banyak pula yang mengatakan Budi Utomo bahkan tidak pernah mempersatukan bangsa Indonesia di dalamnya, hanya orang Jawa dan Madura saja. Budi Utomo juga dicap sebagai organiasi buatan Belanda sebagai ‘pelicin’ penjajahan Belanda atas Indonesia. Berbagai kegiatan yang dilakukannya juga seolah hanya menunjukkan kepedulian mereka terhadap kaum priyayi saja, bukan bangsa Indonesia secara utuh.
Lalu mengapa hari lahirnya Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Kenapa tidak hari lahirnya Budi Gunawan atau Budi Waseso saja? Bukankah mereka lebih konkret pengabdiannya pada bangsa Indonesia lewat seragam kebanggan bhayangkara mereka?
Hari kebangkitan nasional bukan soal hari kelahiran siapa atau apa. Tanggal 20 Mei akan menjadi tanggal yang biasa saja, kalau kita tidak melabelinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tapi di hari itu, 107 tahun silam, sekumpulan orang Indonesia berkumpul menjadi satu. Mendirikan sebuah organisasi pribumi pertama, mencoba memberikan pemikiran dan kesadaran pada bangsa Indonesia soal nasionalisme. Awalnya memang hanya di sekitaran Jawa dan Madura, tapi akhirnya ia mendorong bangsa Indonesia untuk mengenal nasionalisme.
Kita tidak bisa menilai organisasi ini dari akhir khayatnya, tapi kita bisa mengenang betul bagaimana awal berdirinya organisasi ini. Mungkin saja, bila tidak ada Budi Utomo organisasi politik lain macam Sarekat Islam ataupun Indische Partij tidak akan lahir. Budi Utomo memang bukan sebuah organiasai politik praktis, tapi ia menjadi tanda awal bangsa Indonesia siap melawan melalui sebuah persatuan.
Budi Utomo adalah Budi yang sebenarnya. Berdiri dan lahir dari sebuah paduan akal, perasaan, intelektual, dan rasionalitas dalam diri bangsa Indonesia. Bukan dari sebuah rasa kebanggaan dan kehausan politik dan kekuasaan di balik seragam kebanggan. Hari Kebangkitan Nasional bagi saya adalah hari untuk kembali mengingat satu ‘Budi’ yang berbeda dengan ‘Budi’ lainnya, Budi Utomo.
*artikel dimuat di Pikiran Rakyat, Kamis 7 Mei 2015