Lebih dari setengah tahun 2020 dihabiskan dengan penuh kompleksitas masalah yang menyangkut hidup banyak manusia. Pandemi Covid-19 tampaknya tidak terkesan semenakutkan dulu. Siapa sangka virus yang berasal dari negeri jauh di sana dapat menembus kekuatan doa serta kemujaraban obat-obat yang dikemukakan para pejabat, seperti susu kuda liar, jamu, hingga nasi kucing?
Terhitung sejak Maret 2020, kini sudah hampir 9 bulan Covid-19 mengobrak-abrik kehidupan masyarakat. Dari masalah kesehatan hingga pendidikan dan dari kasus penimbun masker medis hingga masalah psikis.
Menghadapi pergeseran sistem offline menjadi daring ini, Kemendikbud menyediakan program Digitalisasi Sekolah agar setiap siswa di Indonesia tetap dapat menjalankan proses belajar meski tanpa bertemu tatap muka.
Hal tersebut diterapkan dengan memanfaatkan berbagai platform yang memungkinkan pertemuan secara daring antara guru dan murid serta pemanfaatan modul belajar atau sarana teknologi lainnya. Selain memungkinkan anak agar tetap menerima pendidikan yang layak, program ini juga membantu peningkatan proses transformasi digital di Indonesia.
Bagi sebagian anak, kebijakan belajar dari rumah nyatanya tak seindah yang dibayangkan. Hasil survei yang tercantum pada Katadata.co.id menunjukkan bahwa setidaknya 61,5% anak mengaku merasa mengalami kekerasan verbal, bahkan 11,3% merasa mengalami kekerasan fisik. Hal ini tentu saja dapat berakibat buruk pada kondisi psikis anak.
Seakan mempertegas data-data tersebut, media daring Vice mengulas berita tentang kematian tiga siswa sepanjang masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini. Satu anak tewas dibunuh ibunya sendiri dan dua korban lainnya tewas karena bunuh diri dengan dugaan stres akibat tugas sekolah. Lantas, apakah pembelajaran daring ini bisa dinilai efektif?
Pendapat Para Siswa
Nabil Fikry Hasbi, siswa baru MA Istiqlal Jakarta, mengaku kurang nyaman dengan sistem belajar daring karena menurutnya kurang efektif karena pelajaran menjadi sedikit susah akibat materi yang dijelaskan tidak terlalu rinci. Selain itu, tuntutan tugas pun sering menjadi tekanan tersendiri bagi siswa. Menurutnya, pijak sekolah seharusnya lebih memahami kapasitas murid dalam mengerjakan tugas.
“Otak sering udah capek mikir karena saking banyaknya tugas,” tuturnya. Menurutnya, pihak sekolah
Lain cerita dengan Nurul Izzah Muthmainnah, siswi kelas 12 SMA Lazuardi yang terletak di bilangan Sawangan, Depok. Menurutnya, ketidakefektifan belajar juga dipengaruhi oleh faktor internal, yakni sulitnya mengontrol diri agar tetap disiplin selama di rumah. Ia mengaku bahwa sekolahnya tidak membebankan siswa dengan kuantitas tugas yang berlebih.
Meski begitu, ia masih harus beradaptasi dengan format tugas online yang terasa baru. Fakta bahwa ia adalah siswi yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah menambah tekanan tersendiri bagiya. Tekanan itu datang dari kecemasan diri sendiri sebab target kuliah yang ingin ia capai.
Akan tetapi, ia merasa sekolah kurang memberikan bimbingan mengenai hal tersebut. Adapun Menanggapi kasus bunuh diri seorang siswi SMA di Gowa, Nurul berpendapat bahwa ini merupakan tamparan bagi dunia pendidikan di Indonesia, terutama bagi pendidik dan institusi.
“Aku yang sekolah dengan jumlah tugas manusiawi aja bisa stres juga, gimana anak-anak lain yang tugas sekolahnya kayak lagi kejar tayang. Wajar banget stres.” jelasnya.
Dari Sisi Lainnya
Menilai dari sisi pendidikan, ahli pendidikan Ir. Syamril S.T., M. Pd. mengemukakan bahwa jika dibandingkan dengan sistem belajar tatap muka, sistem belajar daring tentu saja tidak efektif. Ia berpendapat bahwa ketidakefektifan ini disebabkan pihak pengajar yang salah kaprah dalam mengimplementasikan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Pemberian tugas yang berlebihan tanpa didukung dengan penyampaian materi secara detail serta tidak adanya interaksi sosial membuat kemungkinan siswa merasa tertekan semakin besar. Oleh karena itu, beliau mengatakan bahwa variasi dalam teknis pembelajaran dan perwalian rutin oleh guru atau orang tua untuk memantau kondisi psikis siswa sangat diperlukan.
Ia juga mengatakan bahwa sistem belajar dan peraturan dari pemerintah sudah maksimal, tetapi mungkin dalam penerapannya masih banyak yang salah. Menurutnya, pengurangan beban pelajaran terhadap siswa dapat dilakukan salah satunya dengan memangkas waktu belajar dan mengurangi jumlah materi yang disampaikan. Hal ini tentu akan berdampak pada keseluruhan jumlah kurikulum yang seharusnya, tetapi terpaksa dilakukan agar siswa tidak tertekan selama PJJ.
Sementara itu, dari segi psikolgis, psikolog klinis Viera Adella, Psi., M. Psi. melihat kasus bunuh diri ini dengan lebih luas. Menurutnya, dalam mengkaji kasus bunuh diri banyak faktor yang harus diperhatikan. Faktor belajar daring tidak dapat berdiri sendiri karena kondisi pandemi, kerumitan hidup korban, latar belakang keluarga, dan faktor lain juga dapat memicu terjadinya bunuh diri. Sistem belajar daring tidak bisa semata-mata disalahkan mengingat perilaku serba daring bukanlah hal baru bagi generasi masa kini.
Masalah yang sering muncul adalah ketika pergeseran sistem ini terus menerus dipandang sebagai hal buruk. Biarpun begitu, digitalisasi sistem belajar harus dilihat sebagai sebuah perubahan yang menantang untuk belajar banyak hal baru.
Jika terus menerus memandang pesimis PJJ, membandingkannya dengan sistem luring, dan menolak untuk beradaptasi, hal ini dapat mengarah pada frustasi karena keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan. Frustasi ini kemudian dapat tumbuh menjadi depresi jika terus dipendam dan ditambah suasana lingkungan rumah yang tidak hangat.
Menurutnya, dalam kasus bunuh diri biasanya yang terjadi adalah korban menarik diri dari keluarga dan keluarga yang tidak mendatangi atau berusaha merangkul. Ketika tidak ada yang berusaha menolongnya, bukan tidak mungkin pikiran untuk bunuh diri akan timbul. Oleh karena itu, orang tua dan guru harus peka terhadap hal-hal kecil pada perilaku anak serta membangun iklim yang hangat untuknya.
Viera berharap agar baik orang tua maupun guru dapat beradaptasi dan berinovasi dengan sistem belajar daring ini. Institusi harus kreatif dalam mengemas kurikulum dan mengatur metode pembelajaran daring agar siswa dapat lebih menikmati proses pembelajaran.
Selain itu, orang tua dan guru harus mau mengikuti perkembangan zaman serta mau membantu anak baik dari segi fasilitas belajar maupun psikis. Hal ini karena orang tua berperan besar dalam membangun suasana hangat di rumah agar keduanya tidak frustasi dan saling menekan.
“Harus peka dengan keadaan sekitar. Jangan pernah menyerah untuk terus ada meskipun anak diam saja. Kita harus beradaptasi dan bersifat proaktif terhadap keadaan karena terus menerus mertapinya pun tak akan membuahkan hasil.” ujar Viera.
Tentunya tidak ada yang tahu dengan pasti kapan pandemi ini berakhir. Maka dari itu, kita harus menciptakan iklim hangat dalam keluarga dan peka terhadap keadaan lingkungan sekitar untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Zaman mau tidak mau akan terus berubah, tetapi beradaptasi dan bereksplorasi agar tidak berakhir frustrasi adalah pilihan kita semua.
Ditulis oleh: Tim Mercusuar, Mahasiswa Jurnalistik 2020
Editor: Indah Evania Putri
Dari Tongkat Pangeran ke Kemerdekaan
Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, nama Pangeran Diponegoro selalu muncul dengan aura yang nyaris “mistis”. Tidak hanya karena keberaniannya dalam…