Bunyi merdu alunan nada-nada diatonis yang berpadu secara harmonis dengan kata-kata penuh ekspresi yang kita kenal denganmusik,bukan sekedar alat hiburan. Lebih dari itu, musik telah berevolusi sebagai medium aspirasi dan katalis bagi perlawanan dan pergerakan sosial. Seiring berjalannya sejarah kehidupan manusia, musik selalu hadir dalam berbagai pergerakan sosial. Bukan tanpa alasan, musik sejatinya adalah media komunikasi dan pengekspresian diri. Maka dari itu, kehadiran protest songs yang mengiringi berbagai dinamika kehidupan sosial manusia bukanlah suatu hal yang baru. Mulai dari isu politik, diskriminasi, rasisme, kesetaraan gender, peperangan, lingkungan, hingga Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi contoh isu-isu yang disuarakan melalui musik. Musisi-musisi seperti John Lennon, Bob Dylan, Billie Holiday, hingga Marvin Gaye menunjukkan bahwa musik sebagai karya seni dapat menjadi ‘senjata’ untuk melawan ketidakadilan.
Sebelum abad ke-20, musik protes bersifat komunal dan lisan. Saat itu, musik digunakan dalam ritual atau pertemuan rakyat sebagai ekspresi kolektif. Musik telah digunakan sebagai pesan perlawanan oleh bangsa Afrika yang diperbudak di Amerika. Lagu rohani seperti Go Down Moses digunakan sebagai bentuk protes terselubung. Masuk ke era awal abad ke-20, musik protes yang didominasi oleh aliran musik folk hadir sebagai kritik sosial terhadap isu kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, serta menjadi sarana penggerak semangat persatuan bagi kelas pekerja. Contohnya lagu Solidarity Forever oleh Ralph Chaplin yang ditulis saat gelombang pergerakan buruh di Amerika Serikat sedang memanas. Saat itu, buruh di Amerika Serikat menghadapi upah rendah, jam kerja yang panjang, kondisi kerja berbahaya, serta ketimpangan kelas sosial. Ralph Chaplin menulis lagu tersebut untuk menyatukan semangat serta menyerukan solidaritas kaum buruh. Musisi-musisi folk lainnya seperti Woody Guthrie dan Pete Seeger menjadi dua contoh musisi yang vokal menyerukan isu sosial di era tersebut.
Pada tahun 1939, musisi jazz dan swing Afrika-Amerika, Billie Holiday merekam sebuah mahakarya musik protes yang berjudul Strange Fruit. Ditulis oleh Abel Meeropol, lagu tersebut memprotes tindakan lynching, suatu tindakan penghakiman massa atau hukuman mati tanpa melalui proses hukum yang saat itu kerap dilakukan oleh orang berkulit putih terhadap orang berkulit hitam di Amerika Serikat. Di awal abad ke-20, tindakan pelanggaran HAM dan rasisme berbasis kekerasan terhadap etnis minoritas khususnya Afrika-Amerika masih sering terjadi. Strange Fruit menggambarkan suasana kelam tindakan diskriminasi di era tersebut melalui kata-kata yang puitis. Suara khas Billie Holiday berhasil dalam memberikan perasaan yang mencekam serta kegelisahan kepada para pendengar. Dalam sebuah daftar khusus yang diterbitkan oleh majalah Rolling Stone yang berjudul The 100 Best Protest Songs Of All Time, lagu ini ditempatkan pada peringkat ketiga lagu protes terbaik sepanjang masa.
Memasuki era pertengahan abad ke-20, kompleksnya dinamika sosial dan politik dunia pasca Perang Dunia Kedua memicu banyaknya kehadiran lagu protes yang mengiringi berbagai pergerakan sosial. Mulai dari Civil Right Movements, Vietnam War, hingga Perang Dingin menjadi salah satu contoh dinamika sosial politik yang mewarnai dekade-dekade penuh ketegangan dan kecemasan di pertengahan abad ke-20. Musisi-musisi seperti Bob Dylan, Joan Baez, John Lennon, Marvin Gaye, hingga Jim Morrison banyak menyuarakan kritik dan aspirasi melalui karya-karyanya pada masa tersebut.
Pada era puncak Perang Vietnam, Marvin Gaye merilis sebuah album studio monumental berjudul What’s Going On pada tahun 1970. Album tersebut berisikan lagu-lagu yang mengekspresikan pesan perdamaian dan protes terhadap keterlibatan Amerika Serikat di Perang Vietnam. Tidak hanya berisikan protes, melalui suaranya yang merdu Marvin Gaye juga menyuarakan isu lingkungan serta doa dan permohonan maaf kepada Tuhan atas kekacauan yang telah disebabkan oleh umat manusia. Album tersebut menjadi salah satu album paling berpengaruh dalam blantika musik internasional serta dinobatkan sebagai salah satu album terbaik sepanjang masa oleh Rolling Stone.
Dua dekade terakhir abad ke-20 menandai kemunculan diversifikasi gaya musik dan isu. Grup musik punk seperti The Clash dan Dead Kennedys bermunculan membawa semangat baru yang secara umum menantang sistem, kapitalisme, peperangan, serta kemapanan. Rage Against The Machine sebagai salah satu grup musik yang paling lantang dalam menyuarakan perlawanan, hadir membawa mahakarya berjudul Killing In The Name yang tercipta sebagai amarah terhadap brutalisme polisi sebagai respon terhadap pemukulan Rodney King oleh petugas kepolisian Los Angeles pada tahun 1991 yang memicu terjadinya Los Angeles Riot pada tahun 1992. Memasuki dekade 90-an musik hip-hop berada pada puncak popularitas dan menghadirkan musisi-musisi seperti Tupac, Public Enemy, dan N.W.A yang secara aktif menyuarakan tentang isu kemiskinan dan realitas kehidupan Afrika-Amerika. Hingga saat ini, musik protes terus hadir dan mengiringi berbagai pergerakan sosial serta lika-liku kehidupan masyarakat dunia.
Musik sebagai media protes memiliki pengaruh yang kuat dalam menggerakan masyarakat untuk memperjuangkan berbagai kepentingannya. Dalam konteks ini, musik lebih dari sekedar sarana hiburan melainkan telah menjadi ekspresi kolektif yang merepresentasikan kepentingan, aspirasi, realitas sosial, protes, serta kelas sosial masyarakat. Kemampuan musik sebagai representasi kolektif tersebut menjadikannya sebagai salah satu infrastruktur penting bagi pergerakan sosial. Melalui musik, ada keterwakilan emosi kolektif yang menciptakan rasa kesamaan bagi pendengarnya sehingga pemikiran dan perasaan sekelompok orang tertentu terhubung melalui musik-musik tersebut. Emosi tidak hanya reaksi, tetapi juga motor utama bagi mobilisasi (Jasper, 2011). Dalam teori gerakan sosial, musik sebagai bagian dari budaya telah menjadi suatu mobilizing structure, yaitu sebagai suatu ‘kendaraan’ yang melaluinya orang-orang dapat tergerak dan tergabung dalam suatu aksi kolektif.
Dalam konteks pergerakan sosial, musik tidak hanya sebagai media refleksi akan tetapi juga sebagai media produksi ideologi. Musik tidak hanya meratapi, akan tetapi secara aktif menyampaikan ide-ide dan pesan terhadap khalayak untuk menyebarkan pemahaman kolektif. Musik yang dapat menjadi representasi kolektif adalah musik yang memiliki kekuatan universalitas.
Tak lama setelah hengkang dari The Beatles, John Lennon hadir dengan salah satu ciptaan terbaiknya berjudul Imagine. Secara musikalitas, lagu ini diaransemen dengan sederhana. Iringan progresi chord dan struktur dari lagu tersebut tidak serumit lagu ciptaan yang lainnya. Meski demikian, pesan yang ia bawa mewakili harapan serta keinginan kolektif manusia untuk terwujudnya kehidupan yang penuh perdamaian, tanpa pertentangan, tanpa perbedaan, tanpa batasan, dan tanpa kepemilikan. Disini, John Lennon tidak hanya berekspresi, akan tetapi juga menyampaikan pemikirannya tentang dunia yang tidak membeda-bedakan manusia kedalam kategori tertentu seperti kelas sosial, agama, hingga ras. Selain itu, ia juga menyampaikan pemikirannya tentang dunia tanpa perbatasan dan tanpa negara. Hingga saat ini, nyanyian sederhana nan lembut dari John Lennon masih bergema nyaring puluhan tahun kemudian. Lagu ini memiliki kemampuan sebagai representasi harapan serta pemikiran kolektif manusia secara universal. Kita tidak perlu sepemahaman dengan ideologinya tentang dunia tanpa batasan, tetapi kita semua memiliki keinginan yang sama yaitu perdamaian di muka bumi.
Musik sebagai suatu karya seni dan wujud ekspresi, telah hadir dalam berbagai dinamika kompleks kehidupan sosial manusia. Bukan hanya sebagai bentuk refleksi, musik telah menjadi infrastruktur atau motor pergerakan sosial yang merepresentasikan aspirasi, amarah, emosi, hingga harapan kolektif.
Ditulis oleh Farrel Aufa Labin Naufan
Diedit oleh Natalia Daniella Carla Sitorus
Didesain oleh Nadia Azzahra Fauzi