Ketika berbicara terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tanpa disadari diskursus yang terbentuk adalah kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri. Tentu saja diskursus tersebut terbentuk bukan tanpa alasan, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) tahun 2024 terdapat 17.494 perempuan menjadi korban KDRT dari 20.677 total korban dari kasus dalam ranah tersebut. Sedangkan korban laki-laki berada di angka 3.183 kasus.
Merujuk dari data di atas, KDRT memang didominasi oleh perempuan. Namun, hal tersebut tidak mengesampingkan fakta bahwa laki-laki dapat menjadi korban. Diperlukan perhatian yang sama karena korban bisa saja anak laki-laki atau dewasa. Hubungan pelaku dengan korban juga tidak berpatok pada suami-istri, tapi bisa saja orang tua-anak atau bahkan sebaliknya.
Patriarki Menjadi Bumerang Bagi Korban Laki-Laki.
Pembahasan terkait kekerasan yang melibatkan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam ranah rumah tangga tidak akan jauh dari belenggu patriarki. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem sosial tersebut menjadi salah satu faktor kasus KDRT tak kunjung padam.
Seperti yang sudah kita ketahui, di beberapa wilayah Indonesia–bahkan beberapa negara–patriarki masih terpatri dalam lingkungan sosialnya. Sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa utama kerap kali menjadi latar belakang dari KDRT. Sehingga, sebagian laki-laki merasa dirinya memiliki kuasa, yang dalam hal ini adalah rumah tangga. Ditambah peran laki-laki sebagai kepala keluarga—sekaligus pencari nafkah—menjadi bumbu pelengkap sistem sosial ini.
Namun, apabila realitas yang terjadi sebaliknya, seperti ekonomi istri lebih mumpuni dibandingkan suami—atauhal lainnya yang membuat laki-laki merasa kecil (insecure) —justru dapat menjadi alasan terjadinya KDRT. Sebut saja kasus KDRT seorang influencer, ketika rasa inferior sang suami menjadi penyebab KDRT yang tanpa sengaja turut melukai anaknya.
Akan tetapi, adanya konstruksi sosial terkait maskulinitas dalam budaya patriarki justru menjadi bumerang bagi laki-laki. Perannya sebagai pemimpin—yangdipandang harus lebih kuat dibanding perempuan—membuat kasus kekerasan yang menyasar laki-laki seringkali dipertanyakan kebenarannya. Hal ini akhirnya menjadi hambatan korban untuk melapor.
Jika ditelusuri lebih lanjut, meragukan kebenaran kasus kekerasan ini tidak hanya terjadi pada laki-laki., Tentunya juga terjadi pada perempuan sebagai pihak yang banyak tertindas. Sudah bukan rahasia lagi pembahasan mengenai pakaian terbuka dan semacamnya kerap menjadi alasan masyarakat menyalahkan korban kekerasan perempuan. Sedangkan, dalam ranah rumah tangga ada pandangan di masyarakat yang menganggap KDRT merupakan masalah pribadi, sehingga tabu untuk diperkarakan.
Sistem Hukum Belum Memihak Korban
Sistem yang tidak tegas dalam menyelesaikan kasus KDRT menjadi penyebab lainnya mengapa korban enggan melapor serta melonjaknya kasus. Penanganan yang lambat, proses hukum yang berbelit-belit, atau kurang kepastian membuat korban tidak merasa aman.Pada akhirnya, korban merasa sia-sia untuk melapor. Ujung-ujungnya, fenomena yang sama justru terjadi kembali, bahkan jauh lebih serius. Seperti kasus pembunuhan yang dilakukan istri kepada suami di Jombang, Jawa Timur. Diduga motif pelaku (istri) dikarenakan korban (suami) melakukan kekerasan kepada pelaku selama bertahun-tahun. Sebelum melakukan aksi tersebut, pelaku sudah lama melaporkan kasus KDRT yang menimpa dirinya. Akan tetapi, progress laporan dari polisi lambat sehingga pelaku merasa frustasi.
Hukum yang seharusnya menjadi benteng perlindungan korban justru menjadi sumber trauma lainnya. Bagaimana tidak, ketika kasus dilaporkan, pihak berwenang sering meragukan atau memberi penyelesaian yang tidak membantu. Seperti halnya damai karena kekerasan terjadi dalam ranah rumah tangga. Akibatnya, banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan atau berhenti di tengah jalan.
Sebenarnya, meningkatnya kasus KDRT setiap tahun bisa menjadi pertanda baik. Dikatakan demikian karena korban atau lingkungan sekitar tempat kejadian sadar dengan kekerasan yang dialami dan berani melapor kepada pihak terkait. Namun, perlu diingat bahwa kasus KDRT adalah fenomena gunung es, artinya masih banyak kasus yang belum diketahui atau terlapor.
Victim Blaming: Hambatan Lainnya Bagi Korban
Victim blaming adalah tindakan menyalahkan atau merendahkan korban tatkala terjadi suatu tindak kejahatan. Tindakan tersebut sering dialami oleh korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Misalnya, masyarakat pertama kali menyalahkan cara berpakaiannya. Kemudian, dalam ranah rumah tangga, korban disalahi karena tidak menjalankan perannya, baik sebagai suami, istri, atau anak.
Padahal, ketika kekerasan terjadi kepada orang terdekat (tetangga/kerabat) penting bagi kita untuk memberi nasihat agarkorban berani melapor atau bahkan melaporkan tindak kekerasan tersebut. Terlebih apabila korban adalah anak-anak yang tidak begitu paham untukmelaporkan kekerasan yang dialaminya. Sehingga, peran orang-orang di sekitar korban menjadi penting untuk mencegah terjadinya kekerasan. Maka, penting untuk melakukan sosialisasi yang pembahasannya tidak berpusatpada penyebab atau dampak dari KDRT. Hal yang dibutuhkan adalah bagaimanaperan lingkungan sekitar serta cara pelaporannya—yang tidak selalu menunggu korban untuk melapor—sebagai usaha preventif kasus KDRT.
Penulis: Raismawati Alifah Sanda
Editor: Maulida Hasna Haniifa
Desainer: Kendra Luvena Cintanayla