Dari Tongkat Pangeran ke Kemerdekaan

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, nama Pangeran Diponegoro selalu muncul dengan aura yang nyaris “mistis”. Tidak hanya karena keberaniannya dalam memimpin Perang Jawa (1825—1830), tetapi juga karena atribut simbolis yang melekat padanya, sebuah tongkat komando yang biasa disebut sebagai cakra. Bukan cakra-cakraan ala anime, ini simbol spiritual karena merujuk pada senjata Dewa Wisnu—penanda kekuasaan sekaligus kewaskitaan. 

Yah, kisah tentang tongkat ini telah menjadi simbol yang membentuk rangkaian sejarah panjang menuju kemerdekaan Indonesia.

Cakra yang Bermakna

Menurut Peter Carey, sejarawan asal Inggris, tongkat itu bernama Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro. Konon, tongkat ini dibuat sekitar abad ke-16 yang ditujukan untuk seorang raja Demak—meskipun tidak ada yang tahu pasti siapa rajanya atau bahkan siapa pembuatnya. Yang jelas, saat Kerajaan Demak runtuh, tongkat ini jatuh ke tangan rakyat biasa dan diwariskan secara turun-temurun. Barulah pada sekitar tahun 1815—sepuluh tahun sebelum meletusnya Perang Jawa—tongkat tersebut dipersembahkan kepada Pangeran Diponegoro oleh seorang warga.

Sejak saat itu, Diponegoro membawa tongkat tersebut dalam setiap perjalanan spiritualnya ke berbagai gua dan tempat keramat di selatan Yogyakarta. Lebih daripada itu, tongkat ini juga menjadi semacam pusaka kepemimpinan, yang digunakan dalam setiap peperangan sebagai penanda kekuatan moral. 

Di kalangan pasukan dan pendukung Diponegoro, tongkat ini adalah simbol keyakinan akan kemenangan—suatu jimat ideologis. Di sisi Belanda, ketika tongkat itu jatuh ke tangan mereka, timbul kepercayaan bahwa mereka telah berhasil melemahkan semangat perlawanan sang Pangeran.

Simbolis memang; tapi dalam dunia politik dan peperangan, simbol seringkali lebih menentukan daripada realitas fisik.

Perjalanan Aneh Cakra

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda pada Maret 1830, tongkat itu tidak ikut ditahan. Ia jatuh ke tangan Raden Mas Papak alias Raden Tumenggung Mengkudirjo, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo—cucu dari panglima pasukan perempuan Diponegoro, Nyi Ageng Serang. Meski awalnya berada di barisan Diponegoro, Notoprojo membelot ke pihak Belanda pada tahun 1827 dan menjadi sekutu politik Hindia Belanda.

Tujuh tahun setelah perang berakhir, tepatnya 1834, Notoprojo menyerahkan tongkat ini kepada Jean Chretien Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1833–1836 yang diduga kuat sebagai bentuk loyalitas kepada penguasa kolonial. Ketika Baud kembali ke Belanda pada 1836, tongkat itu dibawa dan disimpan oleh keluarganya selama hampir dua abad. 

Jadi, ya, setelah keliling Eropa selama 179 tahun, tongkat ini akhirnya pulang. Mungkin agak jet lag, tapi masih sakti secara simbolis.

Perang Diponegoro

Balik lagi ke tahun 1825, Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah salah satu perang terbesar dan paling melelahkan yang pernah dihadapi pemerintah kolonial Belanda. Bagi kita di Jawa, perang ini wajarnya disebut “Perang Belanda”—karena sesungguhnya bukan tentang konflik internal, melainkan penolakan terhadap kolonisasi.

Pecahnya perang ini bukan karena sekadar ambisi kekuasaan. Diponegoro memimpin pemberontakan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang merajalela: penindasan ekonomi, perampasan tanah, pajak yang mencekik, serta kolaborasi antara bangsawan feodal lokal dengan pemerintah kolonial. Perlawanan itu menjadi gerakan rakyat, yang berbeda dengan perang-perang sebelumnya yang cenderung bersifat elite, melibatkan prajurit-prajurit bayaran dan prajurit-prajurit pejuang.

Boleh dibilang, inilah gerakan sosial pertama dalam skala nasional di Nusantara yang benar-benar lahir dari akar rumput. Gelombang protes dan perang gerilya menyebar dari Yogyakarta ke berbagai daerah. Tidak heran, Belanda pun keteteran—baik dalam hal logistik maupun secara finansial.

Bangkrutnya Belanda, Lahirnya Tanam Paksa

Akibat perang tersebut, kas Pemerintah Hindia Belanda tinggal debu. Lima tahun perang tanpa henti mengakibatkan defisit anggaran yang parah. Lalu, muncullah ide “brilian” dari Johannes van den Bosch: sistem tanam paksa alias cultuurstelsel. Diberlakukan mulai 1830, sistem ini memaksa rakyat menanam komoditas ekspor, seperti kopi, tebu, dan nila di atas tanah mereka sendiri, lalu hasilnya dirampas oleh pemerintah kolonial untuk diekspor ke Eropa.

Praktik ini menyebabkan penderitaan luar biasa: kelaparan, kemiskinan ekstrem, penyebaran penyakit, hingga kematian massal. Semua ini jadi harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan dompet penjajah—demi memulihkan ekonominya.

Namun, di balik kegelapan, benih perubahan justru mulai tumbuh.

Max Havelaar dan Ledakan Nalar

Ketidakadilan dan kekejaman dari tragedi tanam paksa ini suatu saat tumpah ruah dalam bentuk novel Max Havelaar (1860) karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker—mantan pegawai Belanda yang muak dengan sistem bangsanya sendiri. 

Buku ini bukan hanya populer, melainkan juga mengguncang opini publik di Belanda. Orang-orang Eropa mulai sadar bahwa selama ini kesejahteraan mereka dibangun dari penderitaan koloni jauh di seberang lautan.

Dari sinilah awal tekanan internal muncul untuk mendesak perubahan besar terhadap sistem kolonial.

Politik Etis: Balas Budi atau Karma Politik?

Sebagai respons dari tekanan moral itu, lahirlah Politik Etis (Ethische Politiek) sekitar awal abad ke-20. Yang intinya, jika Belanda telah mengambil banyak dari Nusantara maka sekarang mereka harus “membalas budi” dengan menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur. Tentu saja, kebijakan ini tidak lahir karena niat tulus membebaskan koloni, tetapi lebih karena tekanan politik dan opini publik di Eropa.

Namun, siapa sangka, dari “balas budi” inilah lahir generasi baru kaum intelektual bumiputra: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Natsir, Sjahrir—nama-nama yang kelak menjadi pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Dari Cakra ke Bendera Pusaka

Bayangkan, betapa panjang dan rumitnya rantai sejarah yang menghubungkan satu peristiwa ke peristiwa lain. Dari tongkat Diponegoro yang diberikan rakyat pada tahun 1815 dan kemudian dirampas Belanda, berlanjut ke kekalahan dan kebangkrutan ekonomi, lalu menelurkan sistem tanam paksa yang brutal, yang pada gilirannya memicu kesadaran moral di negeri penjajah, hingga melahirkan politik etis yang akhirnya memberi akses pendidikan kepada segelintir pribumi—yang kemudian tumbuh sebagai tokoh pergerakan nasional.

Inilah yang disebut sejarawan sebagai path dependence—bahwa setiap peristiwa sejarah tidak berdiri sendiri, tetapi selalu bersandar pada jejak-jejak sebelumnya. Maka, dalam konteks ini, tongkat Diponegoro bukan sekadar kayu sakti mandraguna. Ia adalah metafora dari estafet sejarah, dari perjuangan yang terus menjalar dan mencari bentuk baru.

Kadang sejarah tidak menawarkan ledakan instan. Ia tidak hadir dalam bentuk “eureka” yang dramatis. Namun, ia merambat pelan, menjalar melalui simbol, kesadaran, dan luka. Seperti tongkat itu—seolah hanya benda mati, tetapi sejatinya penanda dari sesuatu yang jauh lebih hidup: perlawanan.

Ditulis oleh Raffael Nadhef Mutawwaf

Diedit oleh Raismawati Alifah Sanda

Didesain oleh Muhammad Haeron

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *