Serba Serbi Aroma ‘Sedap’ Saudara Rayap a.k.a K*COA

Perhatian! Jangan dibaca sambil makan, minum, atau di tempat gelap yang lembab kecuali kalau kalian kuat.

Pernah nggak sih, Sabi dengar ada orang yang bilang “aduh, bau kecoa!”? Atau, misalnya Sabi lagi jalan di jalanan yang sempit dan lembab. Tiba-tiba mencium bau apek, bau tengik, bercampur dengan bau pesing yang bikin hidung kita nggak enak buat napas? Padahal nggak ada makanan basi, sampah, atau kucing buang air sembarangan. Nah, bisa jadi, itu adalah bau kecoa.

Beberapa dari kita—termasuk penulis sendiri—kalau mendengar kata kecoa rasanya bulu kuduk langsung berdiri tegak. Membayangkan tubuhnya yang cuma sebesar jempol kaki dengan antena dan kaki-kaki yang tajam saja sudah bikin ngeri. Apalagi kalau tiba-tiba dia muncul dan pakai airplane-mode. Whoosh! Nggak cuma dia yang melesat, kita pun ikut melesat alias kabur kocar-kacir.

Tapi, Sabi tahu nggak, dari mana sih asalnya bau kecoa itu? Kok bisa gitu ya baunya? Ternyata nih Sabi, bau kecoa—alias si saudara rayap ini—bukan sembarang bau. Beberapa dari mereka kadang mengeluarkan bau yang khas bukan semata karena, “oh, kotor nih. Ikut nambahin bau ah.” Menurut penelitian, bau yang dihasilkan kecoa bisa jadi karena mereka lagi ‘flirting’ satu sama lain, loh. Yap, bau ini dapat disebut sebagai strategi kecoa untuk ngegodain lawan jenisnya! Kecoa sengaja mengeluarkan senyawa kimia untuk menarik perhatian kecoa yang lain. Nggak cuma itu, ternyata, bau si saudara rayap yang masih hidup dan yang sudah mati itu berbeda loh, Sabi!

Eh? Hah? Saudara Rayap?

Sebentar sebentar. Kok kecoa disebut sebagai ‘saudara rayap’? Bukannya mereka dua jenis serangga yang berbeda, ya?

Nah, jadi gini Sabi.

Dulu, ordo Blattodea memang hanya digunakan untuk kecoa. Tapi, dilansir dari website Smithsonian Magazine, sejak tahun 1934 para peneliti memiliki temuan baru bahwa terdapat mikroba khusus yang sama-sama berkembangdi dalam usus rayap dan usus beberapa kecoa. Sampai akhirnya sekitar tahun 2006–2007, sebuah penelitian ilmiah berjudul “Death of an order: a comprehensive molecular phylogenetic study confirms that termites are eusocial cockroaches” menyarankan agar rayap digolongkan bersama kecoa terutama dengan Cryptocercus alias kecoa kayu.

Hal ini juga didukung oleh penelitian lain seperti jurnal berjudul “Hemimetabolous genomes molecular basis of termite eusociality” yang terbit pada tahun 2018 dan mengonfirmasi garis keturunan serta mendefinisikan rayap sebagai “kecoa eusosial”. Selain itu, beberapa peneliti juga sepakat bahwa hasil pengurutan DNA menunjukkan rayap mulai berpisah dari kecoa sekitar 150 juta tahun yang lalu. Tidak seperti kecoa yang umumnya hidup tanpa struktur sosial dan memakan berbagai jenis makanan (omnivora), rayap justru mengembangkan struktur sosial yang sangat terorganisir. Mereka memiliki pemimpin, pekerja, serta prajurit. Selain itu, rayap juga berevolusi untuk bertahan hidup dengan satu sumber makanan utama, yaitu kayu.

Meskipun banyak perdebatan, akhirnya pada tahun 2018, Entomological Society of America (ESA) mengakui bahwa rayap seharusnya masuk ke dalam ordo Blattodea bersama kecoa. Namun, ESA menambah sub-ordo untuk rayap sendiri sesuai dengan nama ordonya dulu, yaitu Isoptera.

Cukup bahas rayapnya. Balik lagi ke kecoa

Karena sudah hadir sejak ratusan tahun yang lalu, kecoa dapat dinobatkan sebagai salah satu serangga tertua di dunia. Untuk berkembang biak, kecoa akan menyimpan telur di dalam kapsul yang biasa disebut dengan Ootheca, yang pada waktunya akan menetas dengan jumlah banyak dan berkembang menjadi nimfa.

Kecoa umumnya berbentuk oval dan pipih. Tubuhnya terbagi menjadi tiga bagian utama. Kepala, toraks (dada), dan abdomen (bagian perut). Kecoa juga memiliki dua pasang sayap serta tiga pasang kaki yang memungkinkan mereka bergerak cepat. Apalagi kalau kita sudah teriak dan bersiap ambil semprotan pembasmi serangga.

Bau khas kecoa biasanya berasal dari kelenjar bau yang terletak di bagian abdomen. Kelenjar ini lah yang bertugas untuk menghasilkan feromon. Beberapa spesies kecoa, seperti kecoa kayu dan kecoa Madagaskar, mengeluarkan bau menyengat dari kelenjar ini untuk mengusir predator.

Sementara itu, kecoa jenis lain, terutama yang sering kita jumpai, seperti kecoa Jerman dan kecoa Amerika juga memiliki kelenjar bau di abdomen. Namun, tidak menghasilkan bau yang menyengat. Mereka lebih sering mengandalkan feromon yang dikeluarkan dari feses atau sekresi tubuh mereka untuk menarik pasangan atau mengumpulkan kelompok. Meskipun bau ini tidak sekuat yang dihasilkan oleh kecoa kayu dan kecoa Madagaskar, feromon tersebut tetap berfungsi dalam menjaga komunikasi antar kecoa.

Omong-omong, feromon itu apa, sih?

Buat Sabi yang belum tau, feromon itu semacam senyawa kimia yang digunakan serangga, nggak cuma kecoa, untuk berkomunikasi.

Sebagai contoh, kecoa Jerman atau Blattella germanica, menghasilkan senyawa 2-nonanone dan 2-undecanone. Dua senyawa tersebut adalah jenis feromon yang berfungsi untuk mengumpulkan kecoa dan memengaruhi perilaku gerombolan kecoa. Senyawa ini membantu kecoa Jerman untuk berkomunikasi dan berkumpul di satu tempat untuk mencari perlindungan atau makanan.

Tidak hanya kecoa Jerman. Kecoa Amerika, atau Periplaneta americana, mengeluarkan feromon bernama periplanon yang merupakan feromon seksual. Feromon ini digunakan untuk menarik perhatian, atau seperti yang penulis singgung, ‘ngegodain’ lawan jenis. Menurut penelitian, ada dua jenis periplanon, yaitu Periplanone-A (PA) dan Periplanone-B (PB). Keduanya adalah dua senyawa utama yang dikeluarkan oleh kecoa betina untuk menarik kecoa jantan. 

Menurut Watanabe (2025), sebelumnya ada dua reseptor pengidentifikasi feromon periplanon yang terletak di antena kecoa jantan. Yaitu PameOR1 yang merespon PA dan PameOR2 yang merespon PB. Namun, pada penelitian terbarunya, Watanabe menjelaskan terdapat gen duplikat PameOR1 (yang di dalam penelitiannya disebut PameOR1-like) dengan ekspresi yang lebih rendah.. Gen ini diduga berfungsi sebagai reseptor odoran (OR) yang mendeteksi PA.

Selain feromon, ada sumber bau lain nggak?

Ada, dong. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, selain feromon, kecoa juga menghasilkan bau dari sumber lain yang lebih … jorok. Contohnya, feses kecoa, beraroma tengik, lengket, dan menempel di permukaan tempat mereka bersembunyi. Huek! Tidak cuma feses, sekresi dari air liur serta muntahan kecoa, juga ikut andil pada bau mereka yang sedap tersebut.

Bau kecoa hidup bisa dibilang belum seberapa. Saat kecoa mati, tubuhnya akan mengalami dekomposisi dan menghasilkan senyawa kimia bernama asam oleat. Asam oleat yang dilepaskan oleh kecoa mati dapat berperan sebagai “sinyal kematian” yang memengaruhi perilaku kecoa lain. 

Beberapa penelitian menunjukkan kalau bau ini dapat menarik kecoa lain untuk mendekati sumbernya, baik untuk ‘menyelidiki’ penyebab kematian bak Sherlock Holmes, hingga untuk mencari makanan. Apalagi jika sumber makanan sedang langka. Iya! Mereka memakan bangkai teman mereka sendiri.

Namun, dalam situasi lain, bau asam oleat dari bangkai kecoa ini dapat berfungsi sebagai sinyal adanya peringatan bahaya bagi kecoa lain untuk menjauhi tempat tersebut. Jadi, kalau ada kecoa mati, kemungkinan kecoa lain menghindari area tersebut untuk mencegah risiko kematian, seperti diserang oleh semprotan pembasmi serangga, atau predator.

Jadi, kecoa nggak boleh diinjek, ya?

Sebaiknya jangan ya, Sabi.

Selain karena menjijikkan, tindakan ini bisa memperluas penyebaran bau. Ketika tubuh kecoa pecah, cairan tubuh dan feromon akan tersebar ke permukaan, dan tentunya malah akan menarik kecoa lain. Duh, kebayang nggak sih niat membasmi satu kecoa, eh tiba-tiba datang lagi satu koloni. Ew!

Belum lagi kalau ternyata kecoa yang kita pukul atau injak adalah kecoa betina yang sedang membawa kantung telur. Saat tubuhnya hancur, kemungkinan telur akan menetas dan memperbanyak kecoa. Geli banget, nggak sih?!

Nggak cuma itu, seperti yang kita tahu, kecoa membawa banyak penyakit berbahaya yang bisa mencemari permukaan rumah dan membuat kita sakit. Jadi, daripada menginjak atau memukul kecoa, lebih baik semprot pakai semprotan pembasmi saja ya, Sabi.

Nah, Sabi. Setelah tahu serba serbi begini, apakah Sabi tertarik untuk diskusi lebih lanjut terkait saudara rayap satu ini? Atau, Sabi mau membahas hewan yang lain, nih?

Ditulis oleh Diandra Wafiyatunnisa

Diedit oleh Maulida Hasna Haniifa

Didesain oleh Muhammad Haeron

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *