Bagi orang berseragam yang biasanya berlindung dengan bualan “halo, Dek”, suka anarkis tapi berlagak macam superhero, sudah pasti mereka tersinggung dengan lagu yang (sebenarnya) adalah fakta yang tak mau mereka akui. Mengapa? Karena, di masa yang cukup kelam ini, para penggiat seni menjadi satu dari banyak list manusia yang harus ‘dimusnahkan’ oleh mereka yang berdasi–– duduk di kursi empuk sambil rapat (itupun kalau dengar). Mereka tahu bahwa para seniman adalah manusia yang terpilih untuk menggemakan suara, aspirasi, bahkan kritik untuk pemerentah di negeri ini.
Di dalam hati mereka tak ada kepuasan
Di dalam cara mereka terpampang kedzaliman
Di dalam harap mereka cahaya kemenangan
Di dalam otak mereka hanyalah kekuasaan
(Gelap Gempita – Sukatani)
Sukatani adalah satu dari banyak penggiat seni yang tidak malu untuk menggaungkan suaranya. Dengan masker yang menutup wajah, genre rock dan secercah harapan, mereka hadir sebagai seniman, musisi yang tidak takut bermain api sudah berbicara tentang kebobrokan yang terjadi di Indonesia ini. Secara perlahan, lagu-lagu mereka mulai diminati oleh banyak kalangan, dari orang biasa hingga ke musisi Indonesia. Pergerakan yang dilakukan memang tidak masif, tapi cukup untuk membuat orang semakin peduli tentang kondisi yang dihadapi negara ini dan apakah lagu mereka terdengar ke target sasaran? Loh iya!, wong sampe harus klarifikasi hingga diintimidasi oleh…ya..You-Know-Who.
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
(Bayar Bayar Bayar – Sukatani)
Dan, yap. Pencabutan lagu “Bayar Bayar Bayar” karya Sukatani ini menjadi saksi bahwa ternyata, sebuah karya seni, was and will be political secara langsung ataupun tidak. Semakin banyak yang mendengar lagu ini, semakin gerah oknum-oknum yang tersembunyi dan secara perlahan mencoba untuk mengintimidasi dua personil band ini. Diikuti sejak selesai manggung hingga membuat keduanya menyerah dan mengunggah permintaan maaf terbuka kepada aparat kepolisian terkait single “Bayar Bayar Bayar”. Permintaan maaf tersebut diunggah lantaran lagu itu mengandung lirik tentang bayar oknum polisi.
Ironi memang, ketika kebebasan untuk berpendapat, mengkritik melalui medium seni, harus dibungkam hanya untuk menjaga hati mungil nan fragile abang berseragam yang tercabik-cabik kalau kena goreng oleh rakyatnya. Tagar #KamiBersamaSukatani semakin naik dan menjadi trending topic untuk beberapa waktu di X (Twitter). Mulai dari akun-akun biasa, fan account hingga musisi kompak memberi dukungan untuk melawan, memberikan semangat, serta kritikan terhadap kasus yang menimpa Sukatani.
Pencabutan lagu juga berlangsung ketika masyarakat mulai melakukan aksi demo untuk #IndoenesiaGelap. What a perfect timing. Tak diduga-duga, setelahnya banyak anak muda berbondong-bondong mengunduh lagu “Bayar Bayar Bayar”. Dengan menggebu-gebu, mereka memutar dan mendendangkan lagu itu tepat di depan aparat kepolisian–yang menjaga keamanan (opsional sih)–saat aksi berlangsung.Tak sampai di situ, banyak juga musisi yang memainkan lagu itu di gig ataupun panggung musik sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap kebebasan bermusik yang direnggut aparat.
Segala bentuk pergerakan yang ada demi Sukatani ini, sebenarnya menjelaskan bahwa pemerintah takut dengan sambungan nada dan melodi—yang tidak selama jabatan mereka itu —yang bisa saja mereka skip dan beralih ke lagu lain. Pemerintah bertindak cepat hanya karena mereka ‘digoreng’ oleh dua musisi lokal—yang hanya berlindung di balik masker, Tuhan dan tekad untuk membuka mata masyarakat.
Panjang umur untuk para penggiat seni dimanapun kalian berada. Perjuangan masih panjang, untuk membangunkan rakyat agar melek matanya dengan sekitar. Masih banyak yang perlu disuarakan dari segala medium seni yang ada di muka bumi ini. Masih banyak rakyat juga yang menunggu hasil karya—hasil pemikiran, perasaan yang sama-sama dirasa. Satu tumbuh seribu, memang, karena dari satu yang dibungkam, seribu pula yang bertambah, menjadi lebih kuat dan besar suaranya. Panjang umur para seniman dan kita yang menikmatinya, jangan sampai ini terjadi lagi dan lagi. Dukung terus mereka yang mewakili kita dengan karyanya, hingga kita bebas dan (lebih) merdeka.
Penulis : Niken Donamor
Editor : Maulida Hasna Haniifa
Desainer : Nadia Azzahra Fauzi