Dalam era digital, pengaruh teknologi telah mempengaruhi ke berbagai aspek kehidupan. Di Indonesia, dengan 213 juta pengguna internet dan 167 juta aktif di media sosial, teknologi menjadi bagian aktif dari keseharian. Perubahan ini tidak hanya terbatas pada perangkat digital tetapi juga mempengaruhi interaksi dengan hewan, dari hiburan hingga konten edukatif. Namun, bersamaan dengan itu, muncul isu baru tentang kesejahteraan hewan, termasuk eksploitasi untuk dijadikan konten dan dokumentasi penyiksaan hewan.
Sayangnya, disini terdapat kekurangan penulis yang tidak menemukan data yang valid terkait kasus kekerasan terhadap hewan dari tahun ke tahun, terutama sebelum dan sesudah era digital. Penulis hanya menemukan pernyataan dari Periset Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fikom Universitas Padjadjaran (Unpad) Herlina Agustin, dia mengatakan bahwa penyiksaan hewan dalam kasus primata sering terjadi dari tahun 2013. Selain itu, penulis juga menemukan data bahwa dari Juli 2020 hingga Agustus 2021 ada 5.480 konten yang menayangkan kekerasan terhadap hewan. Mirisnya, dari jumlah tersebut, sebanyak 1.626 konten penyiksaan adalah berasal dari wilayah Indonesia. Data yang tak kalah mencengangkannya adalah dari 5.480 konten penyiksaan hewan yang diunggah telah ditonton sebanyak 5.347.809.262 kali. Data tersebut didapat ketika penulisan tim Asia For Animals Social Media Animal Cruelty Coalition dalam penelitiannya. Data tersebut juga merupakan data global dengan melihat dari tiga platform media sosial, yakni YouTube, Facebook, dan TikTok. Sebanyak 89,6% video penyiksaan hewan yang ditemukan dalam laporan ini berasal dari YouTube. Jika melihat data bahwa konten penyiksaan hewan telah ditonton oleh banyak orang dan bahwa penyiksaan hewan masih sering terjadi maka masyarakat terlihat kurang adanya kepedulian terhadap isu ini, terutama masyarakat Indonesia yang ‘menyumbang’ konten penyiksaan hewan terbanyak sedunia.
Digitalisasi Derita: Era Baru Penderitaan Hewan
Di era digital sekarang kerap kali kita menemukan konten seseorang bersama hewan peliharaannya. Hal ini telah menjadi sesuatu hal yang lumrah, bahkan ini juga dilakukan oleh beberapa influencer di Indonesia. Sebutlah konten yang menampilkan monyet sebagai bahan hiburan atau hewan liar seperti harimau yang dijadikan ‘teman’ bermain. Data global yang dihimpun oleh tim Asia For Animals Social Media Animal Cruelty menunjukkan bahwa ada 14,3 persen atau 781 diantaranya yang menampilkan hewan sebagai alat hiburan.
Sebetulnya, menjadikan satwa liar untuk dipelihara atau diperjualbelikan telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, meskipun dalam UU ini tidak semua hewan liar tapi hanya hewan yang termasuk pada kategori dilindungi yang tidak boleh dipelihara. Selain itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) juga memberikan aturan tambahan, yakni hewan yang didapat bukan hasil dari alam melainkan dari penangkaran dengan kategori F2. Lalu, ada juga prinsip kebebasan hewan yang dikenal dengan istilah animal welfare. Dari kelima prinsip yang termasuk pada animal welfare, kiranya kondisi yang tidak akan dapat terpenuhi jika satwa liar dipelihara oleh manusia adalah prinsip bebas mengekspresikan perilaku normal. Perilaku normal hewan liar seperti berburu, tentunya sangat dibatasi oleh si pemilik hewan tersebut.
Meskipun jika merujuk pada UU yang telah disebutkan serta ketentuan tambahan dari BKSDA maka memelihara hewan dan mengunggah konten yang memperlihatkan hewan tersebut dipelihara tidak dapat disalahkan. Namun, tetap saja ini berpotensi untuk terjadinya eksploitasi terhadap hewan, setidaknya tidak terpenuhinya kebebasan hidup, yakni perilaku normal si hewan liar. Selain itu, merujuk pada teori jarum hipodermik atau teori peluru menurut Harold Lasswell, maka media memiliki dampak dominan sebab audiens dianggap pasif. Jika perilaku memelihara hewan liar yang kerap diunggah pada media sosial, maka sangat berpotensi bahwa hal ini akan dinormalisasi dan diminati banyak orang. Jika semua golongan masyarakat memelihara hewan liar, maka selanjutnya potensi eksploitasi semakin besar dan tentunya ini merugikan bagi kehidupan satwa.
Dibalik Kesunyian Realitas: Dampak Kelam Konten Penyiksaan Hewan
Perilaku penyiksaan hewan yang diunggah atau di-digitalisasi, baik itu disengaja atau tidak disengaja, akan memiliki dampak besar bagi kehidupan hewan itu sendiri maupun bagi penonton, terutama bagi anak-anak. Hewan yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami rasa sakit fisik, ketakutan, dan trauma yang dapat menimbulkan dampak psikologis jangka panjang (Salsabilah & Maheswara, 2021). Selain itu, menurut Pakar Animal Welfare Kedokteran Hewan Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) Universitas Airlangga (Unair) Prima Ayu Wibawati, khususnya dalam kasus penyiksaan berbentuk kekerasan seksual, hewan akan menimbulkan rasa sakit fisik, yakni membuat organ reproduksi bermasalah serta psikis, yakni hewan mengalami trauma dan stress berkepanjangan. Kemauan seksual hewan akan berkurang sampai trauma hilang akibat terhambatnya hormon rangsangan dan juga membuat perilaku hewan tersebut tidak terkontrol.
Adapun bagi penonton, terutama bagi anak-anak ini juga memiliki dampak yang besar. Sebuah survei yang dilakukan oleh Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) mengungkapkan bahwa 23 persen dari anak berusia 10 hingga 18 tahun telah melihat kekejaman terhadap satwa di media sosial. Seorang ahli psikologi, Mary Lou Randour, yang juga menjadi Penasihat Senior untuk Program Kekejaman terhadap Satwa di Animal Welfare Institute, menyatakan bahwa “Paparan terhadap kekerasan pada usia dini dapat mengubah neuron dan perkembangan otak secara negatif, yang kemudian mempengaruhi kemampuan untuk mengatur emosi, kesehatan fisik, kapasitas kognitif, dan kontrol perilaku.”
Jalan Keluar dari Digitalisasi Penderitaan Hewan
Terkait masalah yang telah dijelaskan, perlu adanya kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, serta penegakan hukum yang tegas (Risnanda, 2023). Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kasus kekerasan terhadap hewan adalah langkah penting. Edukasi menjadi kunci untuk meningkatkan pemahaman bahwa hewan memiliki hak dan ketergantungan pada manusia. Selain upaya organisasi yang sudah giat mengkampanyekan hak-hak hewan, peran aktif individu dalam mensosialisasikan isu ini kepada komunitasnya juga sangat penting. Selain itu, edukasi dini kepada pelaku menjadi salah satu cara untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap hewan (Bagja, 2020).
Kedua, perlu ditingkatkan ketegasan peraturan hukum terkait kekerasan terhadap hewan di Indonesia. Hukum yang berlaku, seperti dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 302, menyatakan bahwa perbuatan kekerasan terhadap hewan dapat dipidana hingga 9 bulan dan denda maksimal Rp 400 ribu. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga menjamin perlindungan terhadap hewan. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan yang melarang kegiatan yang menyebabkan penderitaan pada hewan. Meski regulasi sudah ada, penegak hukum dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menjalankan aturan ini.
Referensi
Salsabilah, E. N. & Maheswara, M. Y. H. (2021). Pandangan Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam Mengenai Penganiayaan Hewan: Studi Kasus Penganiayaan Anjing Di Kabupaten Aceh Singkil Pembukaan Wisata Halal. Journal of Islamic Law Studies, 4 (2).
Risnanda, A.D. (2023). Perlindungan Hukum Dalam Klasifikasi Bentuk Kekerasan Terhadap Hewan Di Indonesia. Res Nullius Law Journal 5(2), 123-134.
Bagja, B. (2020). Penciptaan Motion Graphic Tentang Dampak Kekerasan Terhadap Anak Di Kota Sukabumi. Jurnal Dasarrupa: Desain dan Seni Rupa, 2(3), 6-13.
ABC. (2023, August 2). Ribuan Konten Penyiksaan Hewan Di Media Sosial Yang Meraih Keuntungan Berasal Dari Indonesia. Tempo.co. Diambil dari https://www.tempo.co/abc/6950/ribuan-konten-penyiksaan-binatang-di-media-sosial-yang-meraih-keuntungan-berasal-dari-indonesia
Asia For Animals Social Media Animal Cruelty Coalition. (2021). Monetisasi Penderitaan Satwa: Bagaimana Penyelenggara Media Sosial Terbesar Mengambil Keuntungan Dari Kekejaman Satwa. Diambil dari https://www.smaccoalition.com/2021-report
Cindy Mutia Annur. (24 September, 2021). Indonesia Paling Banyak Unggah Video Penyiksaan Hewan. Databoks. Diambil dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/24/indonesia-paling-banyak-unggah-video-penyiksaan-hewan
Mohammad Ikhsan Shiddieqy. (6 September, 2021). Dua Cara untuk Hentikan Kekerasan Terhadap Hewan. The Conversation. Diambil dari https://theconversation.com/dua-cara-untuk-hentikan-kekerasan-terhadap-hewan-188812
Shilvina Widi. (3 Februari, 2023). Pengguna Media Sosial di Indonesia Sebanyak 167 Juta Pada 2023. Data Indonesia. Diambil dari https://dataindonesia.id/internet/detail/pengguna-media-sosial-di-indonesia-sebanyak-167-juta-pada-2023
Cindy Mutia Annur. (20 September, 2023). Pengguna Internet di Indonesia Tembus 213 Juta Orang Hingga Awal 2023. Katadata. Diambil dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/20/pengguna-internet-di-indonesia-tembus-213-juta-orang-hingga-awal-2023
Sudirman Wamad. (14 September, 2022). Indonesia Penghasil Konten Kekerasan Hewan, Animal Defenders: Memalukan! Detik Jabar. Diambil dari https://www.detik.com/jabar/berita/d-6290609/indonesia-penghasil-konten-kekerasan-hewan-animal-defenders-memalukan
Rosa Folia. (30 Desember, 2021). Penelitian Asia for Animals 2021 Sebut Konten Video Penyiksaan Hewan di Internet Paling Banyak Berasal dari Indonesia. Vice. Diambil dari https://www.vice.com/id/article/5dbej3/penelitian-asia-for-animals-2021-sebut-konten-video-penyiksaan-hewan-di-internet-paling-banyak-berasal-dari-indonesia
Alfiah Hasna. (6 Desember, 2022). Konten Satwa Liar Atau Eksploitasi. News Detik. Diambil dari https://news.detik.com/kolom/d-6445163/konten-satwa-liar-atau-eksploitasi
Renatha Swasty. (18 Mei, 2022). Pakar Animal Welfare Unair Ungkap Dampak Kekerasan Seksual pada Hewan dan Pemulihan Trauma. Medcom.id. Diambil dari https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/yKXqrz7N-pakar-animal-welfare-unair-ungkap-dampak-kekerasan-seksual-pada-hewan-dan-pemulihan-trauma